Trending Topic
Begini Proses Menciptakan Buku Anak yang Menarik dan Menjadi Tren

26 Feb 2017


Foto: 123RF

Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mencatat, nyaris seperempat isi rak toko buku di tanah air dikuasai oleh buku-buku anak, baik dari penerbit lokal maupun penerbit asing. Lucunya, minat baca anak Indonesia masih memprihatinkan. Bahkan, Progress in International Reading Literacy Study 2016 mengategorikan anak Indonesia dengan nilai terendah di dunia. Bagaimana produsen buku anak mengejar ketertinggalan ini?
 
TREN VISUAL
“Plop!” Seekor gurita besar warna merah menyala seolah melompat dari tengah halaman buku yang menjelma menjadi laut biru. Tentakelnya terjulur ke sana kemari, seolah menari.  “Syalala… syalala… Aku pandai menari dan lenganku lentur sekali!” kata si gurita yang tertulis di buku itu. Si kecil, yang sedang memegang buku itu, tertawa. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia menjabat tentakel-tentakel itu seperti hendak mengajak berkenalan.

“Yang penting, anak tertarik dulu dengan bukunya,” ungkap Sulistyawati, penulis buku anak pop-up, Laut Rumahku. Bersama sang suami, Hafez Achda, seniman pop up, kini mereka telah menghasilkan sekitar delapan buku anak. Rangsangan visual tiga dimensi dengan warna-warna menarik ini menjadi stimulus yang menggugah rasa ingin tahu dan daya imajinasi anak-anak.

Wanita yang akrab disapa Lis ini  sengaja tidak banyak membebani anak dengan materi tulisan, tapi lebih pada visual untuk menarik perhatian anak. Setelah anak tertarik, orang tua bisa ikut terlibat untuk mengeksplorasi materi  bacaan tersebut. “Buku itu harus fun dan bisa menjadi teman yang menyenangkan untuk bermain. Orang tua juga harus terlibat secara kreatif,” lanjut wanita yang memang menyasarkan buku-bukunya bagi para pembaca pemula ini.
 
Konsep buku yang fun juga membuat anak-anak tidak merasa seperti sedang dicekoki ilmu, seperti sedang bermain saja, walaupun ada sisipan ilmu pengetahuan. Pemilik penerbitan buku Impian Studio ini percaya, ketika anak sudah dibuat jatuh cinta pada buku, seiring usia, ia akan mencari buku-buku lainnya yang memuaskan rasa ingin tahunya. Dengan sendirinya, minat baca anak pun akan meningkat.  

Pemerhati buku dan literasi anak yang mengelola situs referensi buku anak karya penulis tanah air di sikancil.org, Herdiana Hakim, sangat setuju dengan pendekatan yang dilakukan oleh Liz dan Hafez lewat buku-buku mereka. Terutama  di era digital, saat anak-anak telah begitu dimanjakan oleh visual yang begitu interaktif.

Saat ini, peran visual atau ilustrasi dalam buku-buku anak di Indonesia belum menjadi perhatian utama yang nilainya sejajar dengan teks bacaan itu sendiri. Ilustrasi masih dilihat sebagai hiasan. Sehingga, tidak heran jika buku-buku anak di pasaran masih bersifat computer generated, lebih banyak teks, yang sangat standar dan kurang menggairahkan imajinasi anak.

“Ilustrasi harus menjadi bagian penting dari cerita, tidak hanya berfungsi mirroring, atau mengulang cerita ke dalam bentuk gambar. Sehingga, ketika ilustrasi itu dihilangkan, tidak akan memberikan perbedaan. Ilustrasi dan teks harus berada di posisi yang sama-sama kuat,” ungkap penulis dan pendongeng lulusan program master dari University of Glasgow yang mengambil konsentrasi studi Children’s Literature and Literacies ini.

“Ilustrasi menjadi media interaksi yang merangsang anak untuk ikut aktif membangun cerita. Proses menebak jalan cerita yang terlihat sederhana ini sebenarnya menjadi proses penting dalam membangun confidence atau keyakinan diri anak terhadap kemampuannya dalam menganalisis sesuatu,” lanjut Herdiana, yang juga mendalami psikologi pertumbuhan dalam studi masternya di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Tidak hanya itu, ilustrasi melatih kepekaan anak dalam menyimak detail. Mata awas anak-anak bisa mengapresiasi seni dan menangkap hal-hal kecil dari ilustrasi yang ikut memperkuat jalan cerita. “Makanya, sayang sekali jika hanya karena urusan biaya produksi, penerbit buku anak kembali memilih cara standar lewat penggunaan color block yang masih bersifat hiasan, bukan sebagai bagian penting yang melengkapi cerita,” ujar Herdiana, berharap bahwa tren ini akan membaik ke depannya.
 
SENTUH EMOSINYA
Buku-buku anak juga tidak seharusnya dibuat ‘steril’ dari topik-topik terkait emosi. Meski masih berusia dini, anak telah memiliki berbagai emosi. Mereka hanya belum bisa memahami atau sulit menerjemahkan berbagai bentuk emosi itu. “Mereka membutuhkan sesuatu yang sifatnya konkret. Sehingga, berbagai bentuk emosi ini diandaikan melalui kehadiran benda-benda,” ungkap Devi Raissa Rahmawati, psikolog klinik anak, sekaligus penulis dan pemilik penerbitan buku anak Rabbit Hole ID.

Tidak heran jika buku-buku terbitannya memiliki fitur unik, pop up yang bisa diraba dan disentuh. Seperti eksplorasi rasa senang yang divisualkan lewat bunga warna-warni dari kain halus yang bisa disentuh oleh anak. Anak-anak bisa memahami kelembutan lewat kemunculan awan yang saat diraba memberikan sensasi lembut di jemari.

“Pengenalan emosi ini penting agar anak tidak gampang tantrum ketika keinginannya tidak dituruti. Saat sekolah, mereka bisa bertahan dan tidak gampang mogok,” jelas Devi, yang menargetkan bukunya untuk anak-anak usia 6 bulan hingga 7 tahun.

Sayangnya, lagi-lagi masih belum banyak  buku anak yang mengeksplorasi emosi. Menurut Herdiana, kebanyakan buku anak di Indonesia masih meromantisasi masa kecil. Semuanya serba indah, dan seolah-olah steril dari isu-isu emosional, seperti kematian, perceraian, atau penyakit berat.

“Padahal, bukan tentang ‘apa’, tapi tentang ‘bagaimana’. Jangan memusingkan diri dengan apa-apa saja tema yang boleh dan yang tidak, tapi fokuslah pada bagaimana cara menyampaikannya sesuai dengan perkembangan kognitif dan emosi anak di masing-masing usia,” papar Herdiana.

Meski masih langka, beberapa buku anak seperti ini mulai bisa ditemukan di pasaran. Salah satunya, Bagai Bumi Berhenti Berputar karya Clara Ng dan Emte (ilustrator) yang memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI 2007. Melalui kumpulan cerita di dalamnya, anak diajak mengeksplorasi berbagai emosi negatif, seperti duka, shock, sedih, malu. Misal, lewat cerita berjudul Apakah Arti Mati?, Mengapa Kakak Tidak Dapat Berjalan?, Mengapa Mama berpisah dengan Papa?

“Apabila dikemas dengan baik, sastra justru memiliki kekuatan untuk menyembuhkan,” ungkap Herdiana. Sebab, pada kenyataannya, masih banyak anak-anak di Indonesia yang hidupnya terpapar oleh peristiwa-peristiwa yang sulit. Apabila yang disajikan dalam buku anak hanya cerita dalam kondisi ideal dan indah, maka kehidupan mereka tidak terwakili. Jangan heran, jika kemudian mereka memiliki kecenderungan tumbuh menjadi orang dewasa yang penuh penyangkalan, karena sulit berdamai dengan kenyataan hidup yang tidak mudah.
 
ANAK SEBAGAI AGEN PERUBAHAN
Sudah saatnya penerbit buku anak lokal dan para orang tua beralih dari tema princess syndrome yang lebih banyak mengeksplorasi fantasi anak lewat gambaran sempurna kecantikan, ketampanan, kekayaan, dan kemewahan. Sebab, tren materi cerita anak di dunia kini tengah bergerak ke arah yang berbeda. Bukan mengeksplorasi budaya asing, kini muatan lokal dan kekayaan negeri sendirilah yang menjadi fokus. Di sini, penokohan anak sebagai agen perubahan lewat beragam tema sosial, menjadi yang utama.

Gerakan ini pula yang sedang gencar dirintis oleh Litara, organisasi nonprofit yang bergerak di dunia pendidikan dan literasi anak. Beranggotakan para penulis buku anak, ilustrator, dan akademisi, Litara telah mencetak sekitar 16 judul buku anak yang memiliki muatan lokal,  mengangkat tema-tema sosial dan multikultural. Di antaranya, Barong Kecil (mengangkat budaya reog di Ponorogo), Di Mana Songket Kakak (Palembang), Cap Gomeh (budaya Tionghoa), dan Jangan Sedih, Bujang (Jambi).

Kisah-kisah itu tidak hanya membuat anak belajar menghadapi krisis, tetapi juga mengajarkan kecintaan terhadap alam, dan memperkenalkan budaya Indonesia yang beragam. “Bukan hal yang mudah. Penggalian cerita dan detail dalam cerita muatan lokal lebih menantang,” ungkap Sophie Dewayani, Ketua Yayasan Litara. Sebab, akses untuk melakukan riset secara langsung tentunya akan sangat mahal, sementara dokumentasi mengenai budaya lokal tersebut belum tertata dengan baik. Sehingga, tim penyusun lebih sering mengandalkan jejaring kenalan yang tahu tentang budaya tersebut dan sumber internet.

“Jangan sampai kami merepresentasikan kekayaan budaya itu dengan salah. Oleh sebab itu, kami juga meminta ilustrator untuk melakukan riset sedalam mungkin untuk mendapatkan gambaran yang mewakili,” jelas wanita pemegang gelar doktor di bidang New Literacy Studies & Children’s Writing dari University of Illinois, Amerika Serikat. Untungnya, pada kasus Bujang, pembuat ilustrasinya pernah bertugas mengembangkan pendidikan di Jambi dan berinteraksi langsung dengan suku Anak Dalam, atau suku Kubu.

“Dalam buku itu, tidak semua anak hanya mengenakan cawat dan bertelanjang dada, tapi sebagian sudah mengenakan pakaian,” lanjut Sophie, yang bersama Litara, Juli nanti akan hadir dalam pameran buku anak Bologna Book Fair di Italia.

Menurut Herdiana, penokohan anak yang hidup di situasi sulit, tapi bisa membawa perubahan sesuai kapasitas mereka, ini menjadi poin penting yang perlu lebih banyak dieksplorasi dalam buku anak. “Mereka tidak perlu tiba-tiba berubah menjadi superhero, tapi hal-hal seperti ini bisa direpresentasikan dengan cara sederhana,” ungkapnya. Misi ini pula yang juga dibawa oleh Sophie bersama Litara, yang saat ini tengah dipercaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mengembangkan tren buku cerita anak sebagai materi dalam pengajaran di kelas.

“Di luar negeri, seperti di Skotlandia dan Amerika, buku cerita anak masuk dalam kurikulum,” ungkap Herdiana. Paparan terhadap buku-buku anak kontemporer ini tidak serta-merta mengabaikan pengenalan anak terhadap karya sastra klasik Indonesia. Sebaliknya, buku-buku dengan tokoh anak yang modern ini justru memberi pengayaan. Di antaranya, buku Misteri Kota Tua dan Misteri Kota Topeng Angker karya Yovita Siswanti. Buku-buku ini mengisahkan sekelompok anak yang berusaha menyelamatkan artefak budaya. Dalam petualangan para tokoh anak inilah pembaca anak dikenalkan pada fakta-fakta sejarah yang disajikan secara fun.

“Sudah saatnya buku anak digarap secara serius. Sebab, sama seperti orang tua yang menjaga asupan gizi anaknya lewat makanan yang masuk, maka buku adalah asupan otak dan olah rasa bagi anak. Jangan dianggap remeh,” pesan Herdiana.
 
Ini dua hal yang perlu diketahui orangtua saat memilihkan buku untuk anak:
1/ Bebaskan anak untuk memilih buku bacaannya sendiri  
Pengalaman membaca buku, ketertarikan, dan paparan pengalaman hidup anak akan mengarahkan anak pada buku-buku tertentu. 

2/ Jadikan anak sebagai pembaca aktif
Di sini peran orang tua sangat vital. Berikan pengalaman membaca buku bersama anak dengan memasukkan unsur kreatif: memakai suara berbeda, mengikutsertakan boneka, mengakhirinya dengan membuat kreasi kerajinan tangan, menggambar, atau berdiskusi. Langkah ini akan memancing kreativitas anak, memindahkan imajinasinya dari perspektif dua dimensi ke tiga dimensi. (f)

Baca juga:
Mirta Kartohadiprodjo, Dari Hobi Lahir Bacaan Bermanfaat untuk Kaum Wanita
Nursyda Syam, Menebarkan Budaya Membaca Melalui Klub Baca Perempuan
Indonesia Minim Minat Baca
Gerakan Independen untuk Meningkatkan Minat Baca


Topic

#bukuanak

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?