Trending Topic
Arsitektur Masa Depan: Desain Ekologis untuk Kota Ekologis

28 May 2016


Foto: 123RF

Arsitektur punya peran heroik dalam pembentukan kota. Artinya, ada masa depan yang mengacu pada sebuah kota yang tertata dan berkesinambungan antara makhluk hidup dan lingkungan. Sayang, kota ekologis yang diharapkan terjadi di Indonesia belum terealisasi sempurna. Pasalnya, banyak faktor yang harus dipertimbangkan secara matang, bukan dari segi desain dan penghijauan semata.
           
Pemikiran tajam ini dikemukakan Avianti Armand, arsitek dari Rujak Center, dalam diskusi bertema Arsitektur Masa Depan: Desain Ekologis untuk Kota Ekologis.  Lebih lanjut dosen tamu di Jurusan Arsitektur, Universitas Indonesia, ini menambahkan bahwa kriteria untuk menuju eco city sangat kompleks dan peran arsitek bahkan  sangat kecil.
          
“Saya pesimistis bisa mendapatkan kota ramah lingkungan dan berkelanjutan di Indonesia. Apalagi melihat kemauan politik dari para pengambil kebijakan yang kurang memperhatikan kebutuhan publik,” ucapnya, di auditorium Institute Français Indonesia, Jakarta, pertengahan Mei lalu.
Namun, ia menghargai upaya sektor swasta yang mengupayakan kota berkonsep ekologis, seperti mengurangi penggunaan energi berlebih ke dalam proyek-proyek desain yang mengadopsi iklim tropis.
           
“Memang tantangan menciptakan kota ekologis kerap membuat kita pesimistis.  Tetapi, saya optimistis kreativitas dapat mengalahkan tantangan,” ujar arsitek merangkap direktur Rujak Center untuk Urban Studies, Marco Kusumawijaya. Ia berpendapat, arsitektur dengan aliran metabolisme yang menekankan kesatuan antar-ruang bisa jadi inovasi yang akan mengubah wajah kota.

Marco tidak menampik akan ada upaya besar yang dibutuhkan. Apalagi di kota yang  makin padat penduduk.  “Aliran metabolisme memandang fungsi bangunan bukan hanya dari sisi teknis, tetapi menyangkut korelasi kehidupan manusia dan alam sekitar. Sehingga, antara bangunan dan alam ada timbal balik,” tegasnya.
Pertimbangan memilih material, salah satunya, menjadi perhatian Marco, jika ingin menciptakan kota ekologis.           

Namun, bukan berarti material yang dipilih semua datang dari alam. “Mustahil membangun kota seutuhnya dari kayu, batu, atau bambu. Karena, sebuah bentuk itu tidak tergantung dari bahan, juga tidak berbatas ukurannya,” jelasnya. Meski harus menggabungkan dengan material yang tidak ‘bersahabat’, Marco optimistis untuk menumbuhkan pembangunan berwawasan lingkungan yang memanfaatkan potensi alam semaksimal mungkin.

Persoalan arsitektur metabolisme ini ternyata mendapat reaksi positif dari Ludovic Malbet yang hadir dalam diskusi. Arsitek Prancis yang memenangkan kompetisi Albums de Juenes Architects et des Paysagistes (AJAP) tahun 2011 ini mengatakan bahwa di Eropa, proyek rancang bangun harus menyesuaikan diri dengan alam.
“Metabolisme itu bisa terjadi pada ruang-ruang yang dibuat terkoneksi satu sama lain. Secara mikro, misalnya pada rumah sendiri. Secara makro, pada kota yang pembangunannya tidak hanya gedung bertingkat, namun perlu ada ruang publik untuk masyarakat. Arsitektur harus dibangun sebijak mungkin,” papar pemilik proyek La Maison Fertile (Rumah Nan Subur) ini. 

Tantangan dalam penataan ruang publik ini juga membuat arsitek Andesh Tomo berpikir bahwa pembangunan kota sering kali menjauhkan manusia dari kotanya sendiri. Ia memberi contoh, yang terjadi di ibu kota sebagai gambaran nyata akibat kurang peka terhadap sistem ekologis kota.  “Jakarta masih menerapkan pembangunan dinding beton pembatas sungai yang justru merenggangkan ikatan sosial dan fungsional antara warga pesisir sungai dengan sungainya,” ujar Andesh, sambil menegaskan pentingnya memperhatikan sosial budaya dalam pembangunan infrastruktur dan desain kota.

Seperti kebanyakan masyarakat, para arsitek juga berharap  hasil diskusi ini tak berhenti di ujung acara, tapi bisa diterapkan dalam pembangunan kota untuk menciptakan lingkungan yang lebih nyaman. (f)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?