Travel
Sehangat Matahari Malaga

19 Mar 2016



Costa del Sol yang berarti pantai matahari, adalah sebutan untuk wilayah Spanyol di sepanjang Pantai Mediterania di seberang Teluk Gibraltar. Iklimnya cenderung hangat, memiliki landscape pantai dan perbukitan. Tak kalah unik, kota berusia 2.800 tahun ini memiliki peninggalan bersejarah dari lima peradaban tua yang masih bisa ditemukan, yaitu Phoenicia, Yunani, Romawi, Arab, dan Katolik. Kecantikan purbanya seolah tak lekang oleh zaman.   
 

Kampung kelahiran Picasso

Bus yang membawa saya ke Malaga, tak bisa mengantar saya langsung ke depan pintu hotel. Bus berhenti di Paseo Del Parque, jalan besar di pinggir sungai. Hotel saya masih jauh, tapi tak bisa dimasuki bus besar, sebab bisa menimbulkan kemacetan. Terpaksa, saya pun harus menyeret koper sejauh 1 km. Hotel saya terletak di pusat kota, melewati kawasan Calle Molina Lario, kawasan perbelanjaan.

Brand-brand seperti Bershka, Massimo Duti, Zara, dan brand-brand fashion Spanyol memenuhi sepanjang jalan Calle Molina Lario. “Wah, ini, sih, taman bermainnya shopaholic,” ucap saya, melirik ketiga teman saya yang doyan belanja, yang langsung  bersorak kegirangan karena tak perlu pergi jauh-jauh untuk belanja. Hotel bernama Petit Palace, yang menjadi tempat menginap saya, terletak di Calle Nicasio, tak jauh dari Plaza de la Constitution, alun-alun utama kota.

Hanya sempat memarkir koper sebentar, hari itu saya langsung diajak memulai petualangan di Malaga. Rupanya, tempat-tempat menarik, bisa ditempuh dengan berjalan kaki dari hotel.  Untuk mengenal Malaga lebih jauh, Monique --guide saya yang secantik Monica Belucci-- mengajak saya ke Malaga Cathedral, gereja renaissance yang menjadi ikon kota ini.

Saya kira, saya akan diajak berkeliling di dalam katedral. Nyatanya dugaan saya salah. Monique malah mengajak saya menaiki tangga menara. Menara Katedral Malaga ini adalah bangunan tertinggi kedua di Andalusia, setelah menara Giralda, katedral di Sevilla. Saya harus mendaki tangga dari tembok kastil yang melingkar, setinggi 84 meter itu.


Tidak sampai puncaknya, saya keluar dari lorong dan mendapati bangunan persegi serupa loteng yang luas dan ada jalan kecil di sekelilingnya. Saya berada di atas kubah katedral. Dari sini, saya bisa berjalan di sekelilingnya, memandangi dan mengawasi panorama seluruh Malaga. Dari ketinggian ini, saya juga bisa merasakan angin pantai yang membelai saya.

Gedung-gedung bertingkat berwarna kayu manis, putih dan  maroon, dengan barisan jendela dan balkon, seperti tak ada yang saling menonjolkan diri. Hanya bangunan kastil Alcazaba dan kastil Gibralfaro yang tampak menonjol, karena letak mereka yang di ketinggian. Warna merah bata tuanya mengingatkan saya pada warna Istana Alhambra di Granada. Monique menunjukkan arah letak lapangan sepak bola  Malaga Eye di kejauhan, dan hamparan bibir pantai dengan perahu-perahu yacht yang berlabuh.

“Walaupun kami punya klub bola,  warga Malaga kurang gila bola seperti halnya warga kota-kota lain di Spanyol. Terus terang, kami lebih suka basket,” kata Monique.   
Malaga terletak di bibir Laut Mediterania. Menurut Monique, dibanding kota-kota lain di Eropa, Malaga adalah kota destinasi wisata yang paling menyenangkan. Terbukti,  tiap tahunnya kota ini dikunjungi 12 juta wisatawan.

“Karena dikelilingi gunung yang menahan angin, cuaca Malaga selalu nyaman dan matahari bersinar sepanjang tahun,” tutur Monique, yang mengatakan, di Malaga terdapat lebih dari 60 lapangan golf. Meski sedang musim dingin dan di kota sebelumnya suhu bisa mencapai 8º Celcius, di Malaga saya tak perlu mengenakan jaket sama sekali.

Pelabuhan Malaga terbilang sibuk. Di abad ke-8, di masa pemerintahan Islam, kota ini menjadi kota perdagangan yang amat penting. Petualang muslim Ibnu Battutah, yang pernah singgah di antara tahun 1325, menggambarkan kota ini sebagai kota terbesar dan terindah di Andalusia. Kota dengan pantai dan daratan yang cantik, serta kaya akan bahan pangan, antara lain  anggur, buah ara, delima, dan kacang almond.

Tak jauh dari katedral, di kawasan Plaza de la Merced, saya mengunjungi rumah kelahiran seorang seniman besar dunia, Pablo Ruiz Picasso. Tempat yang sekarang dijadikan Picasso Foundation ini masih menyimpan benda-benda koleksi pribadi Picasso. Adapun karya lukisannya disimpan di  Museo Picasso Malaga yang terletak di Calle San Agustin. Museum ini adalah museum Picasso yang ketiga di dunia, setelah Paris dan Barcelona. Di museum inilah tersimpan 155 lukisan masterpiece pelukis dari aliran kubisme ini. Saya menemukan goresan-goresannya yang menggambarkan Olga Kokhlova, istri pertamanya, dan Paulo, anaknya.

Picasso yang lahir di tahun 1881 berasal dari keluarga kelas menengah yang cukup terpandang. Ayahnya, Jose Ruiz Blasco, adalah pelukis dan dosen di sekolah seni. Keluarga mereka dulu menyewa salah satu flat di bangunan setinggi empat lantai itu, sebelum kemudian pindah ke Barcelona. Kawasan Plaza de la Merced ini sejak dulu sudah menjadi tempat hang out kalangan kelas atas penduduk kota.   

Selain melukis, Picasso juga senang menulis puisi. Beberapa bait puisinya menghiasi tembok rumahnya. Salah satunya, kata-kata ini, “Although I came from far I'm a child and I want to bath and play in salt water from the picture on a white canvas.”

Salah satu koleksi yang berharga dari rumah Picasso ini adalah sketchbook milik Picasso, yang sering digunakannya sebelum menuangkannya ke atas kanvas. Ada pula buku-buku yang ilustrasinya  dibuat oleh Picasso.
 

Teater Peninggalan Romawi
Hal yang istimewa dari Malaga adalah bentuk-bentuk peninggalan arkeologi yang berasal dari bangsa Phoenicia, Romawi, Arab, dan Katolik, membuat kota ini ibarat museum terbuka. Kota dengan 35 museum ini juga disebut-sebut sebagai kandidat kuat ibu kota budaya Eropa.

Bangsa Phoenicia yang berasal dari Persia mendirikan Kota Malaga pada tahun 770 SM. Kata Malaga  dipercaya berasal dari kata Malaka, yang waktu itu berarti garam. Sebab, pada zaman itu, masyarakatnya sudah mengenal teknologi menggarami ikan untuk diawetkan.

Salah satu situs arkeologi saya temukan di jalan utama yang hanya boleh dilewati pejalan kaki, Calle Alcazabilla, tempat kafe dan restoran paling hip kota itu berada. Saya menemukan piramida kaca yang menutupi sebuah cekungan. Di dalamnya --yang saya lihat dari kaca-- hanya berupa gundukan tanah. Cekungan yang disebut juga sebagai Roman Basin itu adalah sisa-sisa peninggalan pabrik pengolahan kecap ikan milik Romawi yang dibangun di abad 4 M. Kecap ikan atau garum sudah jamak dikonsumsi masyarakat bangsa Yunani, Romawi, dan Byzantium pada masa itu, sebagai condiment pada hidangan.

Tepat di depan piramida tersebut terdapat puing-puing amphitheatre, peninggalan dari abad pertama Masehi, yang konon digunakan hingga abad ketiga Masehi. Undakan tempat duduk teater yang masih utuh, menandai tingginya apresiasi bangsa tersebut pada dunia seni dan kebudayaan. Di abad modern, panggung teater ini masih sesekali digunakan untuk pementasan. Aktor Antonio Banderas yang merupakan Malagaean (kelahiran asli Malaga) konon pernah tampil di panggung ini, di awal-awal karier aktingnya.

Selain amphitheatre, yang terletak di dataran tinggi, terdapat bangunan Alcazaba, benteng militer yang dibangun oleh pemerintahan muslim dari abad ke-11. Posisinya berdekatan dengan kastil Gibralfaro, benteng yang dibangun oleh Khalifah Cordoba, Abder Rahman III, di atas puing-puing kastil Phoenicia yang dulunya merupakan bangunan mercusuar.   

Saat makan siang --yang baru dimulai pada pukul 14.00 waktu setempat-- menentukan restoran di Malaga tampaknya adalah pilihan sulit, sebab ada terlalu banyak pilihan tempat makan dan semuanya terlihat elegan dan menggoda. Pemandu saya yang juga Malagaean, memberi kejutan manis dengan memilihkan tempat bernama Bodega El Pimpi. Restoran tua yang amat terkenal di kalangan turis. Perlu reservasi dulu untuk mendapatkan tempat di El Pimpi.

Di salah satu sudut restoran, terdapat gentong-gentong wine, yang sengaja dipajang dan menjadi bagian dari interior resto. Pada dinding resto terpampang pigura berisi foto-foto selebritas yang pernah berkunjung ke sini. Beberapa di antaranya, Melanie Griffith, Sean Connery, Rafael Nadal, keluarga Picasso, dan tentunya, Antonio Banderas. Siang itu, saya menyantap salad Rusia dengan udang, ikan goreng dari pasar lelang ikan Malaga, serta nasi paella dengan cumi dan kerang, ditemani segelas sangria dingin.
 

Sunset
di Desa Putih
Salah satu keunikan Costa del Sol adalah kawasan pedesaannya yang memikat. Sejauh 30 km dari Malaga, saya diajak mengunjungi desa tradisional Andalusia, Mijas. Gambaran desa agraris dengan kehidupan masyarakat yang masih tradisional, sebagaimana desa Asia yang saya tahu, amat berbeda dengan yang saya temukan di Mijas.
Terletak di ketinggian 400 mdpl, desa dengan kontur yang berbukit-bukit ini adalah desa peninggalan prasejarah, yang konon sudah ada sejak abad 2 M.

Begitu menginjakkan kaki di desa ini, sejauh mata memandang adalah hamparan warna putih di mana-mana. Semua bangunan dan rumah-rumah bercat putih. Bentuk bangunannya yang saling berimpitan dan nyaris senada merupakan peninggalan peradaban tua, bangsa Yunani dan Phoenicia, yang masih dipertahankan hingga sekarang. Nama Mijas   berasal dari pemberian bangsa Moor yang beragama Islam. Di abad ke-9, desa ini pernah menjadi bagian dari kekhalifahan Kordoba.

Deretan sado yang dikemudikan oleh keledai, berbaris rapi di area pusat turis. Mereka adalah salah satu transportasi utama pariwisata, yang akan membawa para turis berkeliling. Karena rombongan saya cukup banyak, kami tak menaiki keledai, melainkan tuktuk bermotor.

Rudi, sopir tuktuk, mengajak kami melihat-lihat desa lebih dekat. Rumah-rumah warga yang bercat putih, dengan sedikit aksen biru, mengingatkan saya pada Santorini. Entah kenapa, saya merasa tidak sedang berada di Spanyol, melainkan Yunani.

Pot bunga warna biru dengan tanaman bunga berwarna-warni yang memenuhi tembok-tembok rumah warga, mengingatkan saya pada pekarangan rumah-rumah di Kordoba. Tradisi menanam bunga yang mereka warisi hingga sekarang, dipercaya oleh warga setempat merupakan peninggalan tradisi muslim yang dipopulerkan oleh bangsa Moor. 

Setelah melewati jalanan berupa gang sempit dan naik turun, Rudi berhenti di lokasi yang cukup tinggi, yang menurutnya merupakan spot terbaik untuk melihat panorama desa dari ketinggian yang disebut Mirador de la Sierra. Hamparan kombinasi warna hijau, putih, dan maroon. Hijau warna pepohonan, putih warna bangunan rumah-rumah bertingkat tiga, dan maroon warna atap tembok. Disiram semburat lembayung matahari sore menjelang gelap, sungguh puitis!

Sektor agraris desa ini yang sudah menjadi mata pencaharian utama sejak era prasejarah, masih dipertahankan hingga sekarang, yakni pertanian gandum dan anggur. Lokasinya yang berada di tepi pantai, membuat sektor perikanan di sini juga amat maju. Pantai yang berada persis di seberang Teluk Gibraltar ini, berhadapan dengan negeri Maroko di seberangnya.

Meski kecil, desa ini memiliki beberapa museum, di antaranya, museum anggur, museum etnografi, dan museum kerajinan miniatur. Ada pula arena adu banteng kebanggaan Spanyol, dan sekolah tari flamenco. Kafe dan toko souvenir bertebaran di sepanjang area alun-alun dan jalan utama desa.

Sebuah gereja berdinding batu, yang menurut saya lebih mirip gua daripada gereja, berdiri tegak di atas bukit dengan taman dan air mancur di depannya. Kapel Virgen de la Peña, dibangun di atas kastil peninggalan bangsa Moor. Ada pula gereja putih dengan minaret, gereja Inmaculada Concepción yang dulunya pernah digunakan sebagai masjid.

Petualangan di Mijas kali itu ditutup dengan makan malam di Museo del Vino. Meski namanya museum anggur, tempat ini lebih tepat dibilang restoran dan winery yang menyajikan deretan wine terbaik dari perkebunan anggur Costa del Sol.

Tiga macam wine dari jenis yang berbeda, disajikan secara bergantian; white wine, rose wine, dan red wine. Tuan rumah mengajari kami wine tasting untuk mencari tahu seperti apa wine yang berkualitas. Anggur yang disimpan lama belum tentu bagus, sebab hal itu kembali pada kualitas anggur dan pengolahannya.

Langkah pertama dalam wine tasting, miringkan gelas wine untuk memeriksa kejernihan warna wine yang telah dituangkan di gelas. Jika terlihat sedimen atau serbuk, rasanya menjadi tidak enak. Pada red wine,  makin tua umurnya,  makin pudar warnanya. Hal ini berlaku sebaliknya pada white wine dan rose wine,  makin tua umurnya,  makin gelap warnanya. Kedua, memutar-mutar gelas agar aroma wine lebih keluar. Hirup aroma wine dengan memasukkan hidung ke dalam gelas sebelum menyesapnya. Terakhir, meminumnya secara perlahan.

Saya menyukai rasa manis rose wine, tapi rasa pekat dan fruity pada red wine dari wine bermerek Botani, tak bisa saya lupakan.  
 

Tip
  1. Menuju Malaga, terbang dari Istanbul dengan Turkish Airline, penerbangan  tiap hari ke Bandara Malaga, dengan durasi 4 jam 25 menit.
  2. Kopi adalah minuman favorit Malagaean. Yang perlu diperhatikan, ada beragam cara memesan kopi. Solo: Untuk memesan kopi tanpa susu. Largo: Secangkir kopi dengan sedikit susu. Mitad: Separuh susu dan separuh kopi. Corto: 30% kopi dan sisanya susu. Nube: 10% kopi dan sisanya susu.
  3. Di kota penghasil wine ini jangan lewatkan untuk aktivitas wine tasting. Coba singgahi Wine Museum of Malaga di Plaza de los Viñeros. Cukup membayar 5 Euro (Rp75.000), Anda bisa mencicipi dua macam wine.
  4. Selain Mijas, beberapa desa yang menjadi bagian dari Costa del Sol juga tak kalah indah dan menarik untuk dikunjungi, serta lokasinya tak jauh dari kota Malaga. Di antaranya, Torremolinos, Benalmádena, Fuengirola, Marbella, San Pedro de Alcántara, Estepona, Manilva, Casares, Rincón de la Victoria, Vélez-Málaga, Nerja, Frigiliana, dan Torrox.
 
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?