Travel
Jelajah Kuliner Melbourne, Australia

4 Jun 2016


Foto: Trifitra S. Nuragustina

Tidak salah jika ibu kota Victoria ini adalah pusat tren kuliner di Australia. Orang Sydney pun bela-belain jajan di Melbourne. Dunia kulinernya memang dinamis, hasil dari pertemuan warna antarbangsa. Melbourne memang lebih diminati oleh para imigran ketimbang kota lainnya di Australia. Gold rush masa lalu  di Victoria menggoda para imigran untuk menjajaki tempat ini.  

Dengan sendirinya warga keturunan mengobati homesick dengan berusaha sebaik mungkin menghadirkan kembali kehangatan kampung halaman. Orang Italia membuka deli dan memperkenalkan ritual minum kopi. Pengusaha keturunan Prancis membawa kursi-kursi kafenya ke luar ruang dan menghadirkan suasana santap alfresco. Imigran Cina membuka kedainya hingga larut malam untuk para pekerja yang sibuk.

Saya, Trifitria S. Nuragustina, mencoba memahami awal dari terbentuknya ruang-ruang santap yang begitu ‘hidup’ di kota ini.
 
Ladang Emas Victoria
Guy Grossi menjadi chef terpilih untuk Bank of Melbourne-World’s Longest Lunch, Maret lalu. Sebanyak 1.600-an kursi terjual cepat beberapa hari sebelum festival dimulai. Panitia sampai menaikkan kapasitasnya hingga 1.800 kursi. Publik berbondong-bondong memenuhi lokasi, menanti set menu yang terinspirasi dari dapur Italia kreasi Grossi. Grossi adalah salah satu dari banyak sosok yang mempromosikan hidangan Italia di industri restoran di Melbourne. Sang ayah, Pietro Grossi, bermigrasi dari Milan pada tahun 1960. Sebagaimana imigran Italia di masa itu, Pietro menggantungkan hidupnya sebagai koki.

Victoria memiliki tingkat populasi warga keturunan Italia tertinggi di Australia. Di Melbourne, komunitasnya berada di peringkat empat terbesar. Migrasinya  dimulai sejak akhir abad ke-18. Sebagian adalah misionaris, seniman peran, pemusik, dan pebisnis yang berujung di Melbourne. Melalui perjalanan laut hingga tiga bulan yang meletihkan, mereka meninggalkan kampung halaman yang dikuasai Austria. Australia adalah tempat pelarian yang disukai berkat berkembangnya permukiman etnis tertentu di sana.

Masa kejayaan penambangan emas di Victoria pada tahun 1850-an juga mengundang kedatangan orang dari penjuru dunia. Hal ini membuat Melbourne cepat berkembang pesat dan menjadi salah satu kota terkaya yang ada dalam koloni Inggris Raya.
 
Menyatukan Suasana ‘Roma dan Milan’
Saya ‘berkeliling dunia’ dalam sehari di Melbourne dengan mengikuti MELTours-Walking Tours of Melbourne. Tur ini mengajak saya mengitari distrik bisnis dan sekitarnya untuk melihat tempat makan berbagai tradisi. Pemandu tur, Kathy, mengajak bertemu di sebuah deli tersohor, Spring Street Grocer. Di lima menit pertama, saya melihatnya sebatas deli kebanyakan. Hingga kemudian ia memperlihatkan apa yang tersembunyi di lantai basement: sebuah cheese cave!

Cheese cave ini bernama Spring Street Cheese Cellar, satu-satunya cheese cave di Melbourne. Restaurateur Con Christopoulos membangunnya untuk membuat replika cheese cave di Prancis. Ruangan berkelembapan khusus ini disebutkan Victor, sang cheesemonger (pengurus keju), sebagai cara seharusnya untuk menyimpan keju.  

Sambil berbicara dalam aksen Prancis yang kental, ia menunjukkan sebuah ruang pemeraman yang digunakan untuk mengoptimalkan rasa dan tekstur keju. Artinya, tiap keju yang dijual di sini sudah berada di usia yang tepat. Bersantap di cheese cave ini mengalahkan sensasi menghadiri cheese tasting yang sudah-sudah! Di luar cheese room adalah ruang cheese tasting sambil minum wine. Di era prohibition, pelanggan minum grappa diam-diam di sini. Sebagai kode, mereka mengucapkan, “Ingin minum kopi.”

Walau Melbourne sedang sejuk, saya tak menolak sodoran Gelateria Primavera yang dibeli Kathy di depan deli. Kristal-kristal es yang mencoreng tekstur gelato  tidak saya temukan. Teksturnya padat, tapi berubah lembut saat dikulum. Ini salah satunya karena gelato disimpan di dalam pozzetti, yakni container beku yang ditanam di bawah meja. Sebagaimana di Bologna, Italia, gelato sejati tidak ditaruh di dalam display es krim yang menampilkan gelato menggunung. Sebuah toko bunga dibangun di samping deli. “Con memang berusaha untuk menghadirkan potret kehidupan Roma dan Milan di area ini,” ucap Kathy.

Turis-turis Asia yang tidak tahu-menahu tentang sejarah deli ini,  melewatinya begitu saja. Di Singapura dan Hong Kong misalnya, deli dibangun sebagai tempat trendi untuk berbelanja bahan gourmet. Padahal, di kampung-kampung Italia di negara melting pot, deli justru menua bersama lingkungannya. Local produce ditempatkan saling berdesakan tanpa keterlibatan visual merchandiser.
 
Restoran Italia Jadi yang Pertama
Restoran pertama di kota ini adalah Florentino, yang awalnya sebagai wine shop lalu berubah menjadi Café Denat. Pemilik kedua membelinya pada tahun 1928 dan mengubahnya menjadi restoran yang menyediakan menu Italia. Keluarga chef Grossi membelinya pada tahun 1999 dan menamainya Grossi Florentino.

Cassata pertama di Melbourne disajikan di sini. Belakangan diketahui bahan bakunya ilegal. Olimpiade musim panas di Melbourne tahun 1956 juga menyelundupkan mesin-mesin kopi ilegal dari Italia. Mesin-mesin ini dibutuhkan oleh 150 chef yang menangani perhelatan. Tak heran bila kini banyak kafe di Melbourne mengaku memiliki mesin kopi yang pertama! “Kedatangan para chef juga memberi warna pada kuliner Inggris yang terasa membosankan, seperti fish and chips dan bangers and mash,” ujar Dan, pemandu Fitzroy Localing Tour.

Kedatangan orang Prancis tidak terlalu signifikan. Namun, mereka menciptakan suasana makan di teras kafe  pada akhir abad ke-19.

Lain lagi cerita orang Yunani. Didorong krisis ekonomi, hingga tahun 2015  kedatangan  imigran dari Yunani tak berhenti. Dulu, mereka umumnya pelaut yang meninggalkan kapal-kapal Inggris karena tertarik emas.  Setelah demam emas mereda, mereka menetap sebagai pekerja di bidang restoran dan perhotelan. Komunitas yang menguat menjadikan Melbourne sebagai tujuan migrasi yang menggoda.

George Morphesis adalah satu dari pelaut yang tiba di Melbourne pada tahun 1848 dan membuka kafe. Diikuti oleh Andreas Lekatsas tak lama kemudian. Kekayaan karena emas menginspirasi kerabat Lekatsas untuk melaut ke Victoria. Keturunan Lekatsas  terkenal sebagai pencetak restoran premium di kota ini. Termasuk Town Hall Café yang historiis di Swanston Street dan beberapa outdoor café. Banyak restoran Yunani berdiri di Lonsdale Street, tak jauh dari Pellegrini's Espresso Bar di Bourke Street. Biasanya tempat ini diisi dengan alunan musik jaz ditemani whisky.
 
Diawali Masakan Kanton
“Melbourne has a love affair with dumplings right now,” ujar Kathy, sambil menunjuk ke HuTong Dumpling Bar. Nama restoran ini diambil dari nama sebuah jalan di Beijing. Warga lokal menyukai xiao long bao-nya. Sebelum jam operasional, para koki yang tangkas melipat kulit xiao long bao yang njelimet. Kesibukan yang menciptakan suasana ‘hidup’ ala kedai dim sum di Hong Kong.   

Demam emas juga mendatangkan banyak pekerja tambang dari Cina. Di masa Perang Dunia II, restoran Cina tumbuh untuk melayani mekarnya jumlah konsumen. Mereka umumnya tentara Australia dan aliansinya. Restoran Cina yang sukses perlahan dipandang sebagai ancaman terhadap restoran Eropa. Karena itulah, dicanangkan Immigration Restriction Act 1901 yang membatasi masuknya imigran Asia. Pebisnis Cina yang umumnya cerdik satu per satu mendatangkan saudara lelaki untuk menggantikan tenaga kasar yang tak bisa sembarangan masuk.

Warga mengawali adaptasinya dengan hidangan Kanton yang dibawa imigran dari Guangzhou, kota terbesar di Tiongkok Selatan. Cita rasanya yang cenderung hambar mudah beradaptasi dengan lidah orang Anglo-saxon. Pada tahun 1975, nama Gilbert Lau berkibar sebagai salah satu yang menyebarkan pengaruh kuliner ini. Ia mengelola restoran Flower Drum di Little Bourke Street, area padat warga keturunan Cina. Awal  tahun 1880-an, toko-toko teh Cina telah berdiri di area ini.

Di Flower Drum, mereka adalah dua hal baru: pramusaji yang melayani tamu bak raja dan tingginya standardisasi bahan. Inilah kombinasi yang membuat Flower Drum populer. Setelah pensiun, Gilbert menjual Flower Drum kepada tiga karyawannya, termasuk koki kepercayaan, Anthony Pui Liu. Padahal, pebisnis Singapura dan Hong Kong sudah antre untuk membeli tempat ini dengan harga tinggi.

Ada sushi bar di mana-mana
Di era yang sama, masakan Jepang juga memengaruhi kuliner lokal. Cita rasa makanan Jepang tampaknya mudah disukai. Penggemarnya tak serta-merta warga keturunan Jepang, komunitas yang jumlahnya jelas tak berbanding dengan komunitas Yunani dan Italia. Warga kelahiran Jepang di Melbourne juga hanya setengah dari jumlah warga di Sydney.

Meninggalkan negeri sendiri sempat dipandang sebagai tindakan yang ofensif bagi rakyat Jepang. Maka, hanya segelintir dari mereka yang memasuki Australia pada tahun 1880-an dan 1890-an. Mereka diserap sebagai pekerja tambang mutiara, industri gula, dan jasa. Bahkan, hingga tahun 1891 hanya tercatat 30 imigrannya di Victoria.
Lebih dari 500 wanita Jepang menetap di Australia setelah masa Perang Dunia II. Mereka istri para tentara sukarelawan Australia yang bertugas di Jepang.

“Dibandingkan dulu, kini nyaris tak mungkin Anda berada di suatu tempat tanpa menemui sushi bar,” kata Kathy. Sekarang, Melbournian sedang tergila-gila pada handmade soba di restoran Simbashi di Liverpool Street. Taka Kumayama, lulusan sekolah kuliner di Jepang yang berpengalaman kerja di Sydney, pindah ke perusahaan ini. Untuk soba, ia membuat tepungnya sendiri, hal langka di Tokyo sekalipun. Penyajiannya klasik, sebatas ditemani miso soup.
 
Hidangan Indocina di Satu Atap
Hidangan Vietnam dan Thailand secara mayoritas merupakan gabungan menu di sebuah restoran. Long Grain dari Sydney membuka cabangnya di sini dan menjadi salah satu yang disukai. Warga diajak merasakan suasana kekeluargaan Asia lewat meja santap bergaya komunal.

Masakan Vietnam laku, asalkan murah. Penikmatnya adalah veteran yang ingin bernostalgia makanan Vietnam. Perspektif ini perlahan berubah seiring warga muda keturunan yang mengemasnya ke dalam bentuk restoran gaya hidup. Pendatang baru yang diperhitungkan adalah Hochi Mama. Salah satu konseptor dari tempat edgy ini adalah cucu dari wanita pebisnis kedai di Saigon pada tahun 1950-an.

Generasi awal Vietnam yang mendatangi Australia umumnya pengungsi perang. Mereka tiba dalam beberapa gelombang berkat kebijakan imigrasi. Di negeri ini, mereka mempertahankan kesukaannya pada hidangan bergaya salad, minim minyak, minim daging, dan tidak melibatkan rempah pedas. Hal yang mudah disukai masyarakat Barat.

Thailand justru tidak meninggalkan pengaruh yang cukup kuat di kuliner Melbourne. Dulu, Australia didatangi kalangan Kerajaan Thailand untuk pembelian kuda-kuda mahal. Terbang ke sini untuk melakukan transaksi serupa berkembang sebagai hal bergengsi di kalangan orang kaya Thailand. Mereka juga mempelajari agrikultura di sini.

Saya berpindah menuju Curry Corner, toko bumbu milik Michael Sharman. Sebelum tahun 1970-an, pengetahuan warga tentang masakan India sangat minim. Apa pun yang dibubuhi merek bumbu Kings Curry Powder, ‘sah’ disebut masakan India. Toko Michael mengubah lanskap ini.

Toko ini mengimpor merek-merek bahan kalengan dan bumbu terkenal dari India, juga memproduksi curry paste segar. Ini semua membuat toko ini disesaki bumbu-bumbu. Hampir tak ada sudut yang disia-siakan Michael. Anda takkan bisa membedakan apakah sedang berada di Melbourne atau di sebuah toko bumbu di Jaipur.

Michael dan istri melakukan ‘diplomasi kuliner’ dengan menjalankan kelas memasak sejak dulu. Ia bercerita, sambil meminta sang istri untuk menggorengkan samosa untuk kami. Hmm… bumbu karinya pekat, bercampur dengan daging kambing. Kathy berbisik bahwa ini samosa terenak di kota ini. 
 
Hidangan Peru Naik Daun
Kuliner Meksiko masuk dalam kategori makanan terjangkau di Melbourne, bersama makanan India dan Cina. Prinsip makanannya adalah sesuatu yang serba dibungkus dengan corn tortilla atau wheat tortilla. Namun, kepraktisan bukan alasan diterimanya makanan Meksiko. Masyarakat Melbourne bukan kalangan yang senang makan sambil bergegas.  Taco, burrito, hingga salsa memiliki aroma eksotis dan sedikit pedas. Ini disukai warga yang selalu terpapar rasa-rasa baru.

Kuliner Amerika Selatan baru diakrabi 15 tahun terakhir ini. Kathy menyebutnya ‘efek dari warga yang mulai senang traveling’. Akhirnya, San Telmo yang menyajikan menu Argentina difavoritkan. Begitu pula hidangan tapas.

Di dalam program Crawl n’ Bite milik Melbourne Food and Wine Festival 2016, saya diajak melakukan restaurant-hopping. Salah satu dari tiga tempat ini adalah Pastuso, penyaji ceviche dan pisco cocktail paling trendi. Pisco adalah brandy dari Amerika Selatan. Letak Pastuso hanya sekian meter dari restoran Asia Tenggara modern, Chin Chin di Flinders Lane. Satu hal tentang Chin Chin: jangan mencoba peruntungan mendatanginya di lain waktu karena malas antre. Pengunjung Chin Chin selalu antre!

Foto: Trifitra S. Nuragustina

Di distrik bisnis, gang-gang sempit diisi kafe. Gang yang diapit gedung-gedung ini disebut laneways. Karena tak mampu menyewa lahan di jalan utama, pengusaha  makanan berbisnis di sini. Laneways justru menjadi rebutan karena membuat kafe terlihat lebih berkarakter. “Orang Melbourne menyukai sensasi bersantap di tengah ambience yang nyempil,” ujar Dan.

Di jam kerja, kafe-kafe di laneways tidak pernah sepi oleh kalangan muda yang bersantai dan makan-makan. Tidak ke kantor? “Mereka umumnya adalah pebisnis daring produk impor. Mencari uang tak perlu di kantor,” sambung Dan.

Selepas jam kerja, restoran besar tak kalah dipadati penggemar. Orang  Melbourne senang datang beramai-ramai dan makan secara komunal di restoran. Namun, saat melakukan brunch di kafe misalnya, mereka datang bersama karib dan melepas obrolan seperti tidak bertemu bertahun-tahun.

Seperti di Eropa, dan tentunya tidak seperti di Jakarta, mereka tidak disibukkan oleh gawai (gadget) selama bersantap. Tawa mereka berderai di antara makanan, wine, kue, dan kopi. Dengan kemeriahan ini semua, pantas bila Dan menyebut bahwa sebagian besar uang orang Melbourne habis untuk makanan! (f)

Trifitria Nuragustina


Topic

#TravelingAustralia

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?