Travel
Bucaramanga, Kota Cantik di Kolombia

23 Apr 2016


Foto: PSS

Bulan Agustus-November 2015, Redaktur Senior femina, Primarita S. Smita, mengikuti ELE FOCALAE, program beasiswa untuk belajar bahasa Spanyol dari pemerintah Kolombia. Tinggal bersama keluarga lokal dan menganggap Bucaramanga sebagai rumah kedua, berikut ini adalah rangkuman pengalamannya.
 
Bucaramanga bukan kota terpopuler di Kolombia, semata karena tidak sebesar Medellín atau Bogotá. Tapi meski kecil, kota ini sebaiknya jangan dipandang sebelah mata. Sebab, julukannya sebagai Ciudad Bonita (Kota Cantik) dan Ciudad de Los Parques (Kota Taman) memang sesuai dengan kenyataan. Penduduknya yang sekitar 1,2 juta tinggal di antara ratusan taman hijau yang tersebar di seluruh penjuru kota. Bucaramanga dan orang-orangnya menyambut saya dengan kehangatan khas Amerika Latin dan keingintahuan yang istimewa akan budaya lain.
 
Kota 220 Taman
“Di mana pula itu Bucaramanga?” Pertanyaan saya itu terjawab setelah sekitar total 40 jam waktu terbang dan transit dari Jakarta ke Amsterdam, Lima, sampai Bogotá, di mana saya mengikuti acara penyambutan, setelah mandi dan tidur sekadarnya. Rupanya, kalau kita tarik garis lurus dari Jakarta menembus bola dunia, kurang lebih kita akan sampai di Bucaramanga. Ya, Kolombia memang tepat berada di belahan dunia lain dari Indonesia. Jetlag yang tak terkira pun membuat saya jadi kelewat peka terhadap panas matahari ekuator dan kebisingan lalu lintas, ketika saya keluar dari bandara internasional Palo Negro di ibu kota Departamento de Santander ini. Lanskap Bucaramanga yang terletak di lembah segera saja terhampar di depan mata dalam perjalanan saya ke tengah kota.

Bienvenidos a Bucaramanga, selamat datang di Bucaramanga….
Sekitar 40 menit kemudian, tibalah saya di Cabecera del Llano--daerah tempat tinggal saya dan ketujuh teman saya dari Indonesia--yang merupakan daerah kelas menengah atas yang tertata rapi, namun tetap sibuk dan ramai layaknya pusat kota. Deretan perumahan cantik, apartemen modern, resto dan kelab malam, serta kampus kami, Universidad Autonóma de Bucaramanga (UNAB),  bisa diakses dengan jalan kaki. Di daerah ini trotoarnya bersih dan lebar-lebar. Bus umum beroperasi dengan baik, tepat waktu, dan pengemudinya gemar menyetel musik. Taksi pun terhitung murah, terlebih lagi kalau dibagi 2-3 penumpang. Tapi, yang paling saya nikmati selama tinggal di Bucaramanga memang jalan kaki, terutama saat harus ngampus di daerah El Jardin atau Terrazas yang rimbun. Jalanannya lumayan menanjak, tapi di sepanjang jalan ada beberapa warung empanada (pastel isi dengan aneka saus cocol) atau penjual jus dan salpicon (minuman buah pepaya yang ditaburi parutan keju) yang bisa dihampiri. Dengan cuaca yang sering cerah dengan suhu 18-25 derajat Celsius, sinar matahari yang panas jadi terasa adem berkat angin sepoi-sepoi.


Foto: PSS

Tinggal dengan keluarga Luz Stella, David, dan Paula bersama 2 kucing dan 1 anjingnya di apartemen lantai 7 yang menghadap Parque San Pío, rupanya pilihan yang tepat. Selain memiliki berbagai alat olahraga gratis, taman besar ini populer sebagai venue aneka acara, mulai dari kumpul-kumpul anjing peliharaan, panggung hiburan, festival kuliner, sampai kampanye pemilihan wali kota. Jangan harap bisa tidur sampai siang di kala weekend. Suara klakson serta lagu-lagu reggaeton dan vallenato meriah yang berkumandang lewat stereo mobil  adalah soundtrack saya sehari-hari, yang terdengar makin klimaks di akhir pekan.

Orang Bucaramanga memang banyak beraktivitas di taman. Bagaimana tidak, kota ini memiliki 220 taman yang tertata apik lengkap dengan fasilitas olahraga, bahkan booth perpustakaan mini. Selain San Pío, ada Parque Santander di daerah centro atau downtown yang dijuluki taman pensiunan, karena banyak lansia yang menghabiskan waktunya di sana, untuk main catur atau membaca koran, sambil minum tinto atau kopi hitam. Ada sejumlah taman besar dan kecil lainnya yang juga saya singgahi. Seperti Parque de los Niños yang penuh sesak ketika sedang ada festival kuliner, atau Parque Las Palmas yang di salah satu sudutnya terdapat kedai gelato langganan saya. Tapi, yang paling menjadi favorit saya adalah Parque de los Leones yang memiliki tangga-tangga tinggi dan lampu-lampu klasik, seperti di Montmartre, Paris. Di malam hari taman ini terlihat begitu romantis.

Selain taman, gaya hidup yang cenderung santai, karakter geografi yang beragam, serta berbagai objek sejarah, budaya, agama, dan arsitektur yang terawat baik membuat Bucaramanga menarik untuk disinggahi. Sebutlah Casa Bolívar (museum yang menyimpan koleksi arkeologi dan sejarah paling penting di Santander), La Sagrada Familia (katedral putih yang selesai dibangun tahun 1921), atau Capilla de los Dolores (kapel sederhana yang berdiri tahun 1701 di salah satu sudut Parque García Rovira di tengah kota).
 
Menari Hujan-hujanan
Seperti kota-kota lain di Amerika Selatan, Bucaramanga juga punya festival tahunan yang bernama Feria Bonita. Sepanjang minggu di awal September, berbagai pertunjukan seni digelar di berbagai venue di seluruh penjuru kota. Tentunya acara ini menjadi kesempatan emas buat saya menyaksikan langsung musik dan tari Kolombia dengan gratis. Salah satu yang saya datangi adalah konser salsa di Concha Acústica. Panggung kesenian luar ruang ini tempatnya tidak terlalu luas, tapi sepertinya menari salsa dengan pasangan justru jadi lebih intim dan sensual di sana. Yang menjadi highlight dari Feria Bonita adalah Carnaval del Oriente, yaitu pawai yang berlangsung di sepanjang Carrera 27, salah satu jalan protokol. Menyaksikan karnaval warna-warni di tengah keramaian penonton, saya merasa seperti berada di dalam acara travel Amerika Latin yang sering saya tonton di televisi. Kostum yang meriah, musik yang menggoyang, dan tarian yang menghipnotis, semuanya ada di depan mata.

Saya pun beruntung melewati Halloween di Bucaramanga. Bahkan, sejak sehari sebelum tanggal 31 Oktober, orang dewasa dan anak-anak sudah keluar rumah dengan kostum dan make up yang serius dan mengerikan bukan main! Di malam Halloween, saya terdampar di Cacique. Salah satu mal terbesar di Bucaramanga itu begitu sesak dengan hantu, monster, vampir, dan aneka makhluk gaib lainnya, sampai-sampai pihak mal mematikan semua eskalator demi keselamatan bersama.


Foto: PSS

Saya juga melihat jiwa Latin yang sesungguhnya dari bumangueses (orang-orang Bucaramanga) ketika menonton konser akbar Carlos Vives dan teman-temannya, yaitu Maluma, Wisin, dan Choquibtown. Keempat penyanyi dan band Kolombia paling terkenal se-Amerika Selatan ini tampil bersama di sebuah stadion olahraga tanpa atap. Hal pertama yang saya perhatikan begitu tiba di Estadio Alfonso Lopez malam itu adalah, betapa penonton konser ini didominasi oleh wanita cantik!

Bumanguesa dan santandereana (wanita Santander) rupanya memiliki reputasi sebagai yang paling menawan dibandingkan wanita di kota-kota lain di Kolombia. Ini hanya kata orang, jadi saya tidak bisa membuktikannya secara ilmiah. Tapi, saya melihat mereka memiliki karakter yang kuat, mandiri, percaya diri, dan vokal. Seorang teman pria bertutur bahwa santandereana memang tangguh, tapi mereka juga cariñosa alias penyayang.

Konser yang dimulai pada pukul 9 itu belum ada tanda-tanda selesai menjelang tengah malam. Di tengah konser rupanya banyak yang kelaparan, sementara makanan yang dijajakan hanya pincho atau satai daging dan kentang ukuran jumbo. Minumannya hanya ada air, bir, aguardiente, dan berbagai jenis minuman alkohol lainnya. Sepanjang pertunjukan, hampir semua orang di podium berdiri. Semua asyik bergoyang dan menyanyi lantang mengikuti instruksi dari panggung. Bahkan, semangat mereka justru  makin membara ketika hujan --yang paling deras yang pernah saya alami-- tiba-tiba saja mengguyur seisi stadion. Bisa ditebak, malam itu kami terpaksa pulang jalan kaki karena tidak ada taksi yang mau mengangkut kami yang basah kuyup.
 
Hangat & Kekeluargaan
Gairah bersenang-senang bukan hanya milik bumangueses. Ada yang mengatakan, di mana saja di Kolombia,  tiap hari selalu ada pesta. Kenyataannya, sepanjang minggu di restoran dan kelab malam selalu terdengar sedang memutar vallenato--musik akordeon khas Kolombia--dan reggaeton–hip-hop-nya Amerika Selatan--Bumangueses tampaknya lebih senang bailar dengan musik Latin. Menari adalah cara mereka, dan orang Latin pada umumnya, untuk melepas kepenatan. Tapi, kebanyakan dari mereka memang seakan dari sananya terlahir untuk berdansa. Seperti dosen kesayangan kami, Dilma Becerra. Selain mendaftarkan kami dalam clase de baile seminggu sekali dengan instruktur profesional, Dilma juga mengajak kami ke kelab, untuk praktik langsung gerakan-gerakan yang dipelajari di kelas, seperti salsa, merengue, dan bachata.

Salah satu tempat yang kami datangi adalah Maria Casquitos dan Calison, yang termasuk kelab salsa tertua di Bucaramanga, dengan koleksi lagu-lagu yang begitu komprehensif. Rasanya sungguh ‘ajaib’ pergi clubbing dengan dosen kami sendiri. Tapi, melihat Dilma dan beberapa guru wanita lain bergoyang di lantai dansa hingga dini hari tanpa terlihat lelah, saya langsung memiliki kekaguman tersendiri terhadap wanita Latin.

Di sisi lain, budaya dan agama Katolik justru sangat kental di Bucaramanga dan daerah sekitarnya. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya gereja, kapel, dan patung religius yang tersebar di banyak tempat. Ada yang mengatakan bahwa mungkin 99% orang Bucaramanga adalah penganut Katolik. Namun, beberapa  teman saya yang mahasiswa usia 20 tahunan mengaku sudah meninggalkan kepercayaan dan ritual religius yang dilakukan keluarga mereka.

Selain itu, seperti orang Indonesia, orang Kolombia juga memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi dan senang kumpul-kumpul di rumahnya. Berisiknya pun sama! Ada dua momen hangat yang paling saya ingat. Yang pertama adalah ketika saya diundang ke ulang tahun sepupu dari Sebastian Vesga, mahasiswa UNAB yang menjadi padrino atau ‘ayah angkat’ saya selama di Bucaramanga. Program plan padrino ini memasangkan tiap mahasiswa asing dengan mahasiswa lokal supaya mereka lebih mudah beradaptasi dan belajar bahasa Spanyol sehari-hari dengan lebih cepat.

Keluarga Vesga menyambut saya dengan hangat di sebuah apartemen kecil yang penuh sesak dengan tamu. Tidak banyak orang Bucaramanga yang bisa berbahasa Inggris. Namun, saat mendapati tamu asingnya tidak bisa berbahasa Spanyol, keluarga ini tetap berusaha berkomunikasi lewat berbagai cara dan isyarat tubuh. Mereka terus saja bercerita panjang lebar, barangkali berharap ada 1-2 kata yang familiar di telinga saya. Namun, ketika sedang seru-serunya mendengar cerita heboh dari seorang tante, tiba-tiba saja salah satu sepupu muncul membawa panci berisi nasi ayam. Lalu dengan memegang satu sendok dan sambil berkelakar, ia pun menyuapi semua orang, termasuk saya. Rasanya antara khawatir sekaligus terharu, ternyata saya sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga mereka.

Yang kedua adalah rumah Carmen Carreño, wanita pensiunan perawat yang apartemennya ditinggali 3 teman saya dan sering dijadikan basecamp untuk mengerjakan PR. Hampir  tiap minggu, bersama anaknya, Daniel, dan teman-teman keluarga Carmen, kami makan bersama masakan Kolombia dan Indonesia. ‘Ibu angkat’ dan suaminya, Alvarro, yang sesekali pulang kerja dari luar kota itu berbagi banyak cerita mengenai kehidupan di Bucaramanga. Tentunya dalam bahasa Spanyol, yang di bulan kedua kami di Bucaramanga, mulai terdengar make sense.

Pertukaran budaya antara Indonesia dan Kolombia sebagian besar terjadi di luar kampus, dan banyak di antaranya terjadi di ruang makan Carmen. Misalnya, saat kami mengenalkan jus avokad, yang bagi orang Amerika Latin begitu aneh. Pasalnya, buat mereka avokad dimakan asin sebagai teman makan (seperti untuk salad atau guacamole), bukan sebagai minuman manis.

Yang menarik, ketika mencicipi aneka sambal dari Indonesia, Carmen bercerita bahwa meski Kolombia punya banyak cabai dan paprika, tidak banyak masakan pedas di sana. Kalau ada pun, makanan pedas lebih sering dikonsumsi oleh pria daripada wanita. Rupanya, di sana ada anggapan bahwa makanan pedas terkesan lebih menantang dan maskulin.

Di akhir program, saya bersiap pulang ke Indonesia dengan berbekal teman baru, bahasa baru, pengalaman baru, dan segudang cerita. Setelah berkunjung ke kota-kota lain, seperti Bogotá, Medellín, dan Cartagena, saya bersyukur bisa tinggal di Bucaramanga, sebuah kota yang temperamennya cenderung lebih kalem dan easy going. Agaknya, slogan pariwisata Visit Colombia berlaku juga di Bucaramanga: ‘El riesgo es que te quieras quedar’. The only risk is wanting to stay. Kalau sudah datang, pasti tak ingin pulang. (f)
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?