Reviews
Menyoroti Stereotip Dalam Film

30 Dec 2018


Foto : Pexels

Film sedikit banyak menjadi gambaran kecil tentang apa yang terjadi di dunia nyata, walau cerita dan tokohnya hanyalah rekaan. Di dalamnya, sebuah etnis dan gender biasanya direpresentasikan dengan karakter tertentu, tapi tidak sedikit pula sineas yang berusaha mengatakan, stereotip terhadap etnis atau golongan itu tidak menyenangkan.
 
Stereotip yang Mendunia
 
Apakah Anda menyadari bahwa film sering merepresentasikan sebuah golongan, ras, atau gender secara khas? Menurut situs www.watchmojo.com, stereotip ras yang paling sering ditampilkan dalam film Hollywood antara lain orang Asia adalah orang yang cerdas, tapi di sisi lain digambarkan tidak dapat berbahasa Inggris dengan baik.

Orang Yahudi hanya peduli soal uang, orang berambut pirang sebagai orang yang tidak cerdas, penduduk asli Amerika memiliki kekuatan supranatural, orang Amerika Latin cenderung kriminal, anggota geng, penyelundup narkoba. Orang Asia Timur lihai bela diri, orang berkulit hitam akrab dengan musik R&B, sementara orang Timur Tengah yang miskin teroris, yangkaya keluarga kerajaan yang gemar foya-foya.

Dalam masyarakat Indonesia, dan kemudian kerap diadaptasi dalam film, etnis Jawa kerap digambarkan sebagai orang yang lamban, orang Sumatra Utara bersuara lantang dan hobi menyetir mobil dengan cepat dan ugal-ugalan, orang Sumatra Barat dan Tionghoa jago berdagang, dan lain sebagainya.

Menurut Novi Kurnia, M.Si, M.A, pengajar mata kuliah Kajian Film dari Fakultas Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gajah Mada, film adalah elemen sentral dalam kehidupan masyarakat modern yang mempunyai ‘ruang’ untuk merepresentasikan berbagai identitas.

“Film memiliki peluang mengukuhkan stereotip berbagai identitas seperti gender dan ras/etnis, maupun menantangnya dengan memberikan narasi alternatif yang berbeda dengan narasi stereotip yang ada. Pilihan bagi pembuat film sangatlah terbuka, apakah akan mengulang atau mereproduksi representasi gender atau ras/etnis yang ada (representasi dominan) atau mau memberikan representasi alternatif,” jelasnya lagi.

Sebagai ilustrasi, Novi mencontohkan film Berbagi Suami (2006) karya Nia Dinata yang memberikan tawaran representasi gender yang berbeda dan tidak stereotip. Dalam salah satu kisah poligami di film tersebut merepresentasikan kekuatan wanita untuk memutuskan mata rantai perkawinan poligami yang heteroseksual dan didominasi laki-laki, dengan hubungan monogami sesama jenis melalui karakter Siti dan Dwi.

Tawaran yang menggunakan sudut pandang feminis ini menantang representasi poligami di beberapa film Indonesia lainnya yang cenderung memenangkan karakter laki-laki dengan sudut pandang yang patriarkat, seperti terdapat dalam Ayat-Ayat Cinta (2008).

“Film yang bagus --dan semoga bisa memberi ‘pengaruh’ yang baik untuk khalayak/masyarakat– adalah film yang dibuat secara jujur, teliti dan open-minded. Jujur dalam membuat film penting untuk bisa menyampaikan narasi yang jernih dari pemikiran yang matang atas gagasan yang ingin disampaikan melalui film," lanjut Novi.

Teliti diperlukan karena tanpa riset yang matang dan tanpa membuat perencanaan produksi yang detail, film kurang bisa hadir secara utuh. Bersikap dan berpikir terbuka  sangat penting agar film tidak jatuh pada narasi ‘sempit’ tentang identitas (baik gender maupun ras/etnis) yang cenderung stereotip,” jelas wanita yang mengangkat topik wanita sutradara Indonesia setelah Orde Baru dalam disertasinya pada tahun 2014 ini.

Ketiga hal tersebut, menurutnya, sangat penting dalam produksi film. Khususnya film Indonesia, terutama pada masa kini, ketika masyarakat Indonesia cenderung terpecah belah akibat perpecahan politik elitis yang membawa pengaruh pada masyarakat luas yang lebih terkotak-kotak, baik secara agama maupun etnis.
 


Topic

#review, #film

 


MORE ARTICLE
polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?