Profile
Silvia Halim, Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta dan Ribuan Tantangan untuk Membangun MRT Jakarta

19 Nov 2017


Foto: Agustina Selviana
 
Bagi warga Jakarta, kemacetan adalah derita yang tak tertanggungkan. Karena itu, ketika pemerintah DKI dengan dukungan Pemerintah Pusat akhirnya resmi memulai proyek pembangunan MRT Jakarta (saat ini fase 1), menjadi angin segar yang memberikan harapan besar akan transportasi massal yang layak bagi kota yang dihuni 8 juta jiwa ini.

Di balik proyek ikonis ini, Silvia Halim (35) yang bertanggung jawab untuk pembangunannya. Sebagai Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta, ia nyaris tak pernah istirahat, 24/7. Bahkan, hingga proyek yang rencananya akan mulai resmi beroperasi Maret 2019 kelak, ia tidak mengagendakan waktunya untuk liburan!

Menjadi Kerja Bersama
Bulan September yang menjadi puncak musim kemarau, matahari siang pukul 11 sudah sedemikian panas dan menggigit kulit. Mengenakan kemeja putih bergaris merah, celana panjang hitam dan sepasang doc martens hitam membungkus kakinya, Silvia melangkah cepat mengajak femina menuruni tangga besi, menuju tunnel dan stasiun bawah tanah di Bundaran HI. Ini adalah stasiun terakhir MRT Jakarta fase 1, dengan rute Lebak Bulus - HI sepanjang 16 kilometer, yang sekaligus akan menjadi tempat langsir kereta.

Bagi warga Jakarta yang terbiasa melewati rute Jalan Sudirman-Thamrin, sudah pasti mafhum dengan adanya berbagai pekerjaan pembangunan MRT di beberapa titik --yang akan menjadi stasiun bawah tanah-- dipagari oleh seng-seng penutup.

Namun, berada di bawah tanah yang panas dan menyaksikan pembangunan proyek ikonis ini, tidak bisa tidak, harapan besar disematkan untuk segera mendapatkan transportasi modern. Sekaligus membuat Jakarta bisa sejajar dengan kota-kota besar di dunia, memiliki sistem transportasi publik yang baik dan manusiawi.

Di sela-sela pemotretan, beberapa kali Silvia menyapa dan berbicara dengan para mandor. Sebagai direktur konstruksi, ia mengomandani 8 kontraktor, 6 kontraktor mengerjakan konstruksi untuk railway
system
, pemasangan track, persinyalan, serta 1 kontraktor untuk supply kereta.

“Untuk yang supply kereta hanya dikerjakan oleh kontraktor dari Jepang, tapi 6 lainnya merupakan konsorsium lokal dan Jepang. Mengapa Jepang, karena mereka yang memberikan loan untuk proyek ini,” jelasnya.

Per akhir Agustus 2017, menurut Silvia, pekerjaan fisik sudah mencapai 78 persen, yang terdiri atas pekerjaan underground yaitu pembangunan stasiun bawah tanah dan pemasangan tunnel, serta pekerjaan elevated, yang terdiri atas pembangunan stasiun layang dan viaduct jalur keretanya.

Sebagai informasi, untuk MRT Jakarta fase 1, ada 7 stasiun layang, yaitu dari Stasiun Lebak Bulus sampai Stasiun Sisingamangaraja, dan 6 stasiun bawah tanah, yaitu dari Stasiun Senayan sampai Stasiun Bundaran HI.

“Target kami, pertengahan Oktober ini semua viaduct sudah nyambung semua dan struktur stasiun sudah selesai dibuat per akhir tahun ini,” ujar Silvia. Mendengar penjelasan Silvia menerangkan persentase dan target-target kerjanya dengan suara yang renyah dan senyum yang mudah merekah, tampaknya mudah.

Padahal, sebetulnya apa yang dihadapi di lapangan sungguh tidak gampang. Sama seperti proyek-proyek infrastruktur besar lain, tantangan terbesar yang dihadapi adalah masalah pembebasan lahan. “Proses
pembebasan lahan di sini panjang dan lama. It’s a real problem,” katanya, serius.

Sebagai contoh, proyek yang sudah dimulai sejak tahun 2013 ini, baru berhasil membebaskan nyaris semua lahan akhir tahun lalu. Ya, nyaris semua, karena hingga kini masih ada dua titik penting yang lahannya belum terbebaskan. “Jadi, memang ada satu stasiun yang harus kita declare tidak bisa diselesaikan bersamaan dengan beroperasinya MRT pada Maret 2019, yaitu Stasiun Haji Nawi,” katanya.

Pemilik lahan tersebut sampai sekarang belum mau melepaskan tanah mereka karena tidak setuju dengan harga yang ditawarkan oleh Pemprov DKI. “Saat ini prosesnya masih saling menggugat di pengadilan,” kata Silvia, sambil mengatakan bahwa dibutuhkan aturan dan sistem yang jelas untuk mendukung proyek-proyek infrastruktur agar berjalan lancar sekaligus menjaga fairness bagi masyarakat.

Kesemrawutan aturan yang saling tumpang tindih juga dihadapi ketika membuka tanah Jakarta, yang ternyata juga semrawut. Apa lagi kalau bukan utilitas berupa kabel-kabel yang saling centang perentang tanpa diketahui siapa pemiliknya.

“Kalau kita punya banyak utilitas di atas tanah, ternyata di bawah juga banyak, ha… ha… ha…,” katanya. Kalau tertanam dan bisa diidentifikasi lokasinya, ada gambarnya, dan pemiliknya jelas siapa, mungkin tidak terlalu masalah. “Tapi kenyataannya, ketika kami buka, wah, banyak yang tidak ada di gambar. Punya siapa, tidak ada yang mau ngaku. Ini adalah kendala nonteknis yang memengaruhi progress pekerjaan,” katanya.

Untuk utilitas yang tidak langsung bertabrakan dengan MRT, biasanya bisa digeser. Namun, bila utilitas itu bertabrakan langsung, maka harus dipindahkan. Persoalannya, pemindahan tidak bisa dilakukan oleh pihak MRT. Sesuai peraturan pemerintah, memindahkan utilitas proyek pemerintah harus dikerjakan oleh pemilik utilitas.

“Karena itu, kami harus melakukan banyak koordinasi dengan pemilik utilitas tersebut, dan tentu saja ini memakan waktu juga, apalagi kalau tidak ketahuan siapa pemiliknya,” ujarnya, tanpa nada mengeluh.

Semua tantangan yang dihadapi itu, menurut Silvi, demikian panggilannya, menjadi pembelajaran ke depan. Soal utilitas misalnya, dari yang ia alami saat ini, ke depannya, untuk proyek MRT fase selanjutnya, pihaknya perlu berkoordinasi dengan berbagai pihak, agar tidak lagi terjadi saling menunggu yang akhirnya mengganggu kelancaran pekerjaan.

Selanjutnya: Isu keamanan dan budaya masyarakat dalam memelihara fasilitas umum.
 


Topic

#wanitahebat, #profil, #MRTJakarta

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?