Profile
Dituduh Menduakan Tuhan, Dedi Mulyadi SH Membangkitkan Kejayaan Budaya Sunda

4 Apr 2016


Sosok Dedi Mulyadi, SH tengah diperbincangkan, karena keberaniannya mengangkat nilai-nilai tradisional dalam membangun kabupaten Purwakarta, karena penghargaan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, juga karena sebuah ormas menuduhnya menduakan tuhan. Pada suatu siang Femina sengaja berkunjung ke sang Bupati yang serba bernuansa hitam putih di Purwakarta. Berbincang di tengah kesibukannya menerima pebisnis yang akan meresmikan pabrik di kawasan industri, rapat dengan jajaran pemerintah daerah, dialog santai dengan seniman, dan media yang mengantre untuk mewawancarainya.

Kearifan Lokal dan Toleransi
Patung Gatot Kaca berdiri gagah menyambut pengunjung di depan stasiun kereta Purwakarta. Tak hanya itu, tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna, Nakula, dan Sadewa, bertebaran di berbagai ruas jalan kota Purwakarta, yang berjarak dua jam perjalanan dari Jakarta. Lampu jalan berhias gambar Arjuna memanah tampak di ruas jalan utama kota yang bersih. Ucapan selamat datang dan selamat jalan di gerbang kota pun ditulis dalam bahasa Sunda, membuat rasa tradisional sangat terasa.

Melihat penampilan Dedi sehari-hari yang mengenakan baju tradisional Sunda yang disebut pangsi berwarna hitam dan putih, semakin menegaskan prinsip pembangunan yang kukuh dipegangnya. “Bangsa-bangsa yang maju adalah bangsa yang maju dengan keyakinan akan masa lalu, seperti Inggris, Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat. Mereka maju karena keyakinan akan masa lalu dan kepintaran untuk membaca masa depan,” ujar pria kelahiran 11 April 1971 ini.

Ia ingin meyakinkan semua orang bahwa memimpin dengan ideologi, dalam hal ini mengangkat kearifan Sunda, itu tidak ketinggalan zaman, justru kekinian. Salah satu yang menarik adalah sistem pengumpulan beras perelek, yang diusung dari tradisi kuno masyarakat Sunda. Setiap rumah warga yang mampu diminta mengumpulkan 1/2 gelas beras setiap hari pada sebuah alat dari bambu yang diletakkan di depan rumah. Gerakan yang diedarkan lewat surat edaran bupati dan disebut gerakan empati penggunaan bahan pangan ini, sangat berguna untuk membantu warga yang kekurangan bahan pangan sehingga menciptakan solidaritas sosial yang tinggi di antara warga. Dari beras yang terkumpul, ada yang dibagikan ada juga yang dijual dahulu lalu uang hasil penjualannya digunakan untuk kegiatan sosial seperti bangun mesjid dan santunan anak yatim. Untuk pengendaliannya, semua dicatat secara digital sehingga bisa dipantau.

“Banyak orang yang tidak menduga dengan apa yang saya lakukan. Kalau melihat penampilan, saya pasti dikira jadul. Tapi sistem IT pemerintah Purwakarta relatif baik, dan sistem komunikasi sosial saya relatif bicara, artinya, ternyata gagasan original itu masih mendapat tempat yang kuat di masyarakat,” ujarnya.

Perpaduan antara tradisional dan kekinian bisa dibilang terwujud sempurna dalam taman air mancur Sri Baduga yang diresmikan awal tahun ini. Gagasan membuat taman air mancur ini muncul di kepala Dedi saat bersantai di tepi Situ Buleud, tempat taman Sri Baduga kini. Dalam waktu eman bulan ide ini diwujudkan oleh perancang asli Purwakarta, Hery Sugihardi. Air mancur yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara itu, memiliki teknologi canggih hingga bisa menari dan berubah-ubah warna mengikuti irama lagu. Saat berada di situ, mau tidak mau pengunjung akan terpikat untuk mencari tahu tentang Sri Baduga atau Prabu Siliwangi berwujud patung dengan empat harimau putih. “Nama-nama taman dalam bahasa lama seperti panca warna, sri baduga, maya datar, citra resmi, ternyata bisa diterima, sementara orang bisa selfie sekaligus terpancing untuk mengenal sejarah,”ujar suami dari Anne Ratna Mustika ini.

Kini ia juga sedang berusaha mengajak para penulis untuk mengumpulkan filsafat-filsafat asli Indonesia. “Jangan hanya ngomong Aristoteles, kita harus merumuskan filsafat dari nenek moyang kita sendiri,”ujar pria yang selalu mengenakan ikat kepala yang ia sebut sebagai iket monotheism, yaitu ikat yang mengarah pada satu Tuhan yang Maha Tunggal.

Namun bukan berarti usaha bupati yang mulai memimpin Purwakarta sejak tahun 2008 ini mulus. Ia pernah mengalami trauma saat baru menjabat. Rumah dinasnya diserang dan dikepung oleh orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Patung Arjuna yang ia bangun dibakar oleh oknum karena dianggap menduakan Tuhan. Ia pun sempat diancam dan dikecam oleh sebuah ormas. Semua itu tidak membuatnya gentar.

“Orang Sunda itu toleran terhadap intoleransi. Orang Sunda itu kalem, tidak mau ngotot, tidak suka ribut, apalagi sampai menggunakan kekerasan. Dari 1,5 juta penduduk Purwakarta, paling cuma 200 yang intoleran. Sayangnya yang sedikit itu malah sangat vokal, sehingga kesannya lebih terdengar. Masyarakat kini perlu diajarkan untuk mengkampanyekan toleransi, minimal lewat media sosial. Saya yakin, ini akan berhasil,” jelasnya optimis.
Ia sendiri tak habis pikir dengan sikap intoleransi. Baginya, agama atau dalam bahasa sunda ageman, itu adanya di dalam hati. Karena keimanan kita terhadap tuhan, hanya Tuhan yang paham, dan karena adanya di getaran batin, sifatnya privasi, merupakan hak individu, yang tidakk boleh diintervensi oleh orang lain.
Melihat popularitasnya saat ini, tak pelak banyak yang menduga Dedi akan mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Barat, setelah masa jabatannya sebagai bupati berakhir tahun 2018. “Saya dari dulu tidak pernah berencana. Bagi saya yang penting hari ini adalah bekerja dengan baik. Walau belum pernah mengukur diri sendiri, sedikit-sedikit saya juga mungkin populer. Dengan itu semua, saya yakin besok saya akan mendapat yang terbaik apapun dan di mana pun, “ ujarnya politis.

Peraturan Hasil Kontemplasi
“Orang Indonesia itu perlu diatur,” tukasnya saat ditanya soal beberapa peraturan bupati yang ia keluarkan dan mengundang kontroversi. Saat berkeliling kota atau berolahraga di sekitar Pemda 3 – 5 kali seminggu, ia sering gemas melihat kondisi sosial di masyarakat, seperti orang seenaknya saja buang sampah, anak kecil membawa motor, dan sebagainya. Menurutnya, harus ada pemimpin yang menata peradaban masyarakat. Ia tak takut menampakkan sosok yang terlihat galak. “Kalau benar tujuannya, konsisten dilakukan, dan terlihat hasilnya, pemimpin yang galak juga bisa jadi favorit, kok,” ujarnya sambil menyebut nama Pak Ahok, Gubernur DKI Jakarta.

Salah satu yang menarik adalah peraturan tentang desa berbudaya yang diatur dengan Peraturan Bupati Nomor 70 Tahun 2015. Salah satu isinya mengatur soal pacaran anak-anak muda. Usia di bawah 17 tahun dan di waktu kunjung pacar dibatasi hingga pukul 21.00 malam. Peraturan Bupati No 71 Tahun 2015 yang melarang pelajar dan anak di bawah umur merokok serta melarang warung, toko, minimarket, serta supermarket menjual rokok kepada pelajar dan anak di bawah umur. Aturan ini juga melarang orangtua untuk menyuruh anaknya membelikan rokok. Peraturan ini dikatakan sebagian pihak melanggar kebebasan masyarakat, namun Dedi bergeming.

“Ini adalah masalah budaya. Sekarang banyak orangtua kalah dari anak mereka dari segi pendidikan dan pengetahuan digitalnya, sehingga sulit menasehati anaknya. Padahal anak-anak di bawah umur merokok, berkeliaran malam, atau naik motor tanpa SIM. Kalau orang tua tidak berdaya dan masyarakat tidak peduli siapa, apa kita mau mengorbankan anak-anak itu? Di luar negeri aturannya sangat keras, sementara di sini begitu longgar,” jelasnya memberi alasan membuat peraturan itu.
Ia tak keberatan menjadi tidak populer, demi menurunkan problem sosial yang besar. Mengacu pada ancaman pada pasangan yang akan dikawinkan jika melanggar peraturan itu, ia mengaku punya tujuan besar, yaitu untuk menyelamatkan wanita dari beban ekonomi dan sosial jika sampai terjadi kehamilan di luar nikah. “Saya tidak bicara mengekang kebebasan, tapi saya ingin menyelamatkan perempuan dari beban ekonomi yang disebabkan karena pelanggaran sosial. Saat banyak aktivis yang menyoroti saya, saya hanya bisa tersenyum,” ujarnya kalem.

Uniknya, ide-ide untuk merumuskan peraturan bupati itu selalu muncul tiba-tiba saat ia melihat berbagai kejadian, seperti menemukan seorang remaja yang tengah malam keluyuran dan kencan padahal orangtuanya sedang menunggui adiknya yang dirawat di rumah sakit. Suatu saat ketika ia menemukan seorang tua yang disia-siakan anaknya di rumah yang tak terurus, Dedi mengeluarkan gerakan untuk mengangkat orangtua asuh dan aturan pencabutan subsidi berobat bagi warga yang menelantarkan orangtuanya.

“Kalau pemimpin lain memikirkan infrastruktur dan bagaimana agar terpilih lagi, saya ingiin mengeluarkan aturan yang mendidik demi kepentingan masa depan. Dengan menjadikannya peraturan bupati, maka bupati selanjutnya punya kewajiban untuk meneruskan kebijakan ini,” ujar pria yang sigap menanggapi akun pribadinya @DediMuyadi71 ini.

Karakter yang luwes dalam bergaul namun kuat memegang prinsip-prinsip adalah hasil dari didikan kedua orangtuanya yang mantan tentara dan beralih menjadi petani, Sahlin Ahmad Suryana dan Karsiti. Sejak kecil ia terbiasa bekerja keras membantu orantuanya dan demi membiayai kuliah dengan menggembala itik, menjual gorengan, hingga berdagang beras. Karena itulah ia mudah berempati dengan rakyat.

Ia juga ingin kedua anaknya Maulana Akbar Ahmad Habibie (15) dan Yudistira Manunggaling Rahmaning Hurip (12) untuk tetap rendah hati. “Saya selalu mengajarkan pada mereka, kalian bukan siapa-siapa dan harus luwes bergaul dengan siapapun,”ujarnya. Ia dan Anne, juga berusaha menularkan kecintaan pada budaya Sunda pada anak-anaknya lewat bahasa daerah. “Mereka bisa bahasa Indonesia saat masuk SD. Kecintaan terhadap budaya Sunda terutama wayang, kini turun kepada si bungsu. Kini Maulana sudah menjadi dalang,” ujarnya bangga.

Nuri Fajriati
Foto: Icha
 


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?