Profile
Eka Kurniawan Merambah Sastra Dunia

4 Jan 2016


Buku pertamanya yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Beauty is a Wound baru-baru ini terpilih sebagai 100 buku pilihan New York Times 2015. Ia juga digadang-gadang sebagai generasi baru the next Pramoedya Ananta Toer. Hasil karyanya pun telah menjelajah beberapa negara di Asia, seperti Jepang dan Malaysia, kota-kota di Amerika Serikat, hingga penjuru Eropa, Jerman, dan Inggris. Namun, semua itu tak membuat Eka Kurniawan (40) berpuas diri. Ia masih punya sederet ide cerita untuk ia tuliskan.

Ketika Ajo Kawir memilih untuk menjadi ‘tukang duel’ demi melampiaskan  hasratnya, Si Tokek merasa terlalu bersalah untuk tidak mendukung sahabatnya itu. Memang, gara-gara ide gila Si Tokek-lah, bagian terpenting dalam diri Ajo Kawir, yang menandakan keperjakaannya, tiba-tiba saja memilih untuk diam, tak bereaksi. Ibarat beruang kutub yang tengah tidur panjang di musim dingin. Padahal, Ajo Kawir setengah mati jatuh cinta pada si Iteung.

Membaca buku berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas  ini seakan membawa kita masuk dalam ironi kehidupan Ajo Kawir dan Si Tokek. Dua tokoh utama dalam buku ini berhasil dikisahkan Eka dengan begitu lugas, tanpa tedeng aling-aling. Ia dengan detail dan runut menjabarkan   tiap adegan kekerasan fisik dan seksual, tanpa terlihat murah dan serampangan.

Itu memang ciri khas gaya penulisan Eka, penuh analogi namun tetap ringan. Ide-ide cerita dalam   tiap novelnya mengembara bebas. Hasil pengamatannya yang tajam pada kejadian di sekeliling, ia tuangkan dalam cerita tokoh-tokoh yang unik dan penuh permainan.

“Bagi saya, cerita dalam sebuah novel tak pernah berasal dari ruang kosong. Banyak analogi  sejarah dan cerita kehidupan yang melatarinya,” ungkap Eka.
Eka bercerita, suatu waktu ibunya berkisah tentang seorang wanita yang ingin anaknya terlahir tampan. Wanita tersebut menggambar sosok Arjuna di sebuah kelapa, tradisi masyarakat setempat. Setelah lahir, ternyata anaknya benar-benar terwujud seperti Arjuna si tokoh wayang dan tak bertahan hidup.

Dari kisah ini, ia lalu menulis buku pertamanya yang berjudul Cantik itu Luka. Bercerita tentang seorang wanita yang dipaksa menjadi pelacur. Ketika memiliki anak keempat, si wanita berharap anaknya lahir buruk rupa. Itu yang terjadi, meskipun secara ironi  wanita itu memberi nama anaknya Si Cantik. Tapi, Eka harus bersabar. Karya pertamanya ini ditolak banyak penerbit lantaran dinilai kurang komersial.

Beruntung, berkat bantuan teman semasa kuliah yang membuat sebuah penerbitan kecil, akhirnya buku pertamanya ini diterbitkan di Yogyakarta, sebanyak 2.000 eksemplar. Hebatnya, hanya dalam waktu satu tahun buku cetakan pertama itu terjual habis. “Sempat ditawarkan untuk cetak ulang, tapi saya menolak. Lebih baik uangnya dipakai untuk mencetak buku-buku dari penulis lainnya,” ungkap Eka, yang mengaku saat itu hanya menerima royalti dari penjualan bukunya saja.

Pindah ke Jakarta  tahun 2004, Eka bertemu salah satu penerbit besar. Saat itu ia menawarkan novel keduanya yang berjudul Manusia Harimau. Naskah ini bercerita tentang Margio, seorang bocah yang  tiap sore menggiring babi ke dalam perangkap hingga akhirnya terperosok dalam tragedi pembunuhan yang brutal. Bukan ia pelakunya, melainkan harimau  di dalam dirinya. Ternyata, naskah yang dinilai banyak pihak sebagai karya yang gelap dan supranatural ini dilirik pihak penerbit. Bahkan, mereka juga menanyakan novel pertamanya dan menerbitkan ulang. Jadilah di tahun 2004, dua buku Eka beredar di gerai-gerai toko buku besar.
 
Sebagai penulis, Eka merasakan sendiri penulis di Indonesia kecil kemungkinan karyanya bisa dikenal dunia. Menurutnya, faktor bahasa menjadi penghalang utama.
Meski telah memiliki dua buku, pria lulusan Jurusan Filsafat, Universitas Gadjah Mada ini tak pernah bermimpi bukunya akan diterbitkan secara internasional. Hingga seorang wanita asal Amerika Serikat, Annie Tucker, yang tengah mempelajari seni tari di Kota Malang, tertarik untuk menerjemahkan buku Cantik itu Luka ke dalam bahasa Inggris.
Sebenarnya, sebelum Annie, ada beberapa orang yang mencoba untuk menerjemahkan buku ini, tapi entah mengapa Eka merasa belum berjodoh dengan mereka. “Ketika membaca satu sample terjemahan Annie pada karya saya,  saya langsung tertarik. Saya merasa ada ‘suara’ saya di situ,” ungkapnya.

Annie lalu membawa proyek terjemahan buku Eka tersebut ke Amerika dan mencari beasiswa untuk menerbitkannya. Ternyata, Annie berhasil mendapat sokongan dana dari PEN Center, sebuah lembaga di Amerika Serikat yang  tiap tahunnya memilih karya tulis independen untuk mereka danai. Dari sinilah akhirnya terjemahan buku Eka dilirik oleh New Direction, sebuah penerbitan di Kota New York.

Di waktu hampir bersamaan, buku keduanya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Labodalih Sembiring dan diterbitkan oleh Verso. Buku tersebut mampu menembus pasar buku Amerika Serikat yang hanya menyisihkan sekitar 3% untuk buku sastra dari luar negaranya. Tak dipungkiri ini merupakan sebuah kebanggaan bagi Eka. Ia juga mendapatkan banyak ulasan positif yang memuji karyanya itu.

Ini adalah langkah besar dalam perjalanannya sebagai penulis, tapi Eka tak ingin larut dalam semua pujian tersebut. Ia tak ingin semua itu menjadi bumerang bagi karya-karyanya yang akan datang. “Saya menganggap pujian itu sebagai bonus,” ungkapnya.  
Eka juga baru kembali dari tur ke 4 kota di Amerika Serikat (New York, Seatle, San Francisco, dan Boston) dalam rangkaian peluncuran bukunya. Baginya, ini kesempatan yang mahal, karena ia bisa datang ke festival buku sekaligus reading di dua toko buku di New York.  

Sebagai penulis, Eka tak hanya berkutat pada penulisan novel. Ia juga menulis puluhan cerpen yang diterbitkan di media-media nasional. Salah satu kumpulan cerpennya dibukukan dengan judul Corat-Coret di Toilet (2003). Pria kelahiran 28 November 1975 ini tak puas hanya karena bukunya berhasil dicetak dan menembus pasar Amerika serta Eropa. Ia justru ingin membuat pembacanya masuk ke dalam alam novelnya. Ia juga berani bermain dengan topik yang terbilang tabu di masyarakat dan menjadikannya sebagai sebuah bacaan yang ringan, namun menyentil. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?