Mengintip Rumah Aktivis Lingkungan, Agus Sari

16 May 2016


Foto: NF

Kepedulian lingkungan sudah mendarah daging bagi Agus Sari yang bekerja di REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Ia pun membuat sebuah hunian yang dekat dengan alam. ”Saya sering traveling ke luar kota atau luar negeri. Tiap  kali bepergian, saya selalu rindu pulang ke rumah, ke tempat yang mencitrakan karakter saya, tempat yang membuat nyaman.”

Agus Sari memiliki rumus tersendiri untuk sebuah rumah: tidak besar. Karena, menurutnya, rumah besar membuat dirinya tidak nyaman, mengintimidasi, dan membuat sombong. ”Saya juga nggak suka pilar karena memberi kesan tidak ramah.”

Ia pun memulai dengan membeli tanah seluas 1.000 meter persegi, pada tahun 1998. ”Saya pilih Sentul, karena daerah ini bukan daerah tangkapan air seperti Puncak. Kompleks ini juga mengharuskan  tiap rumah untuk menyisakan sebagian tanahnya tidak tertutup bangunan untuk  resapan air hujan,” terangnya.
Tiap elemen rumahnya memang mengutamakan aspek ramah lingkungan. Dibantu temannya, arsitek Wicaksono Sarosa, dengan sabar, sedikit demi sedikit rumahnya dibangun selama 5 tahun. ”Dananya juga terkumpul sedikit demi sedikit,” katanya, tersenyum.

Lama pembangunan itu tak hanya karena dana, tapi juga disebabkan oleh idealisme Agus untuk memakai kayu-kayu ramah lingkungan. Yang ia maksud adalah kayu bersertifikasi. ”Mendapatkan kayu semacam ini cukup repot karena biasanya untuk pasar ekspor. Tapi, meski harganya dua kali lipat dari harga kayu biasa,   saya senang,” ujar Agus, yang berburu sampai ke Cepu dan Jawa Timur untuk mendapatkan kayu-kayu trembesi, damar laut, dan jati.

Seluruh dinding beton sengaja dibungkus dengan lempengan batu alam yang dipotong dan disusun. Tujuannya, untuk menghindari cat dinding. ”Cat hanya saya gunakan untuk langit-langit bangunan utama saja. Batu juga membuat suasana lebih alami.” Batu juga ia gunakan untuk menutup lantai di bangunan utama. Menurutnya, perawatan material batu jauh lebih mudah, apalagi ia justru suka pada lumut yang tumbuh pada batu. ”Lumut itu secara alami mendinginkan suhu. Selain itu, memberi kesan artistik,” katanya.

Rumah ini memang sejuk, meski tanpa pendingin ruangan. Soalnya, tiap ruangan didominasi jendela-jendela besar. Dinding sisi yang menghadap barat, yang cenderung panas, sengaja dijalari tanaman untuk meredam panas.

Satu lagi konsep hijau yang ia terapkan, yaitu semua keperluan air dipenuhi dengan menampung air hujan. ”Keuntungan daerah Bogor adalah sering hujan, jadi tidak pernah kehabisan air,” paparnya. Hasil tampungan itu digunakan untuk minum setelah disaring dengan alat khusus, untuk kamar mandi, mencuci, dan membersihkan rumah. ”Air hujan itu pada dasarnya kan bersih,” imbuhnya.

Kini, setelah 9 tahun berdiri, ia merasakan kemudahan perawatan rumahnya. Namun, sejak kesibukannya belakangan ini, ia jadi sangat jarang pulang. Kemacetan Jakarta memaksanya tinggal di apartemen di pusat kota. ”Tapi,  tiap kali pulang, rasanya benar-benar nyaman. Nggak ingin ke mana-mana lagi,” katanya. Apalagi kalau sudah di teras di depan kamarnya di lantai dua. Dari teras itu ia bisa memandangi danau alami berwarna kehijauan di tengah lapangan golf yang berada tepat di seberang rumahnya. ”Saya senang memandang air karena memberi efek menenangkan. Untuk menuju ke teras ini juga unik karena harus melewati dan sedikit menyibak ranting-ranting pohon mangga yang menjuntai sampai ke teras. Memang ini salah satu cita-cita saya. Serasa berjalan di hutan rimbun.”


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?