Food Trend
Perantauan Rasa di Batavia dan Medan

12 Apr 2013

Lain cerita peranakan Semarang, lain pula kisah perjalanan peranakan di wilayah lain di Indonesia. Datang bergelombang seawal jaman Majapahit, ada sebagian imigran Cina (umumnya dari provinsi Fujian/Hokkian) yang mendarat dan menyambung hidup hingga ke wilayah Tangerang, Banten. Keturunannya berkulit gelap, hasil kawin campur dengan orang Betawi, Sunda, dan Jawa. Mengacu pada benteng VOC yang melindungi tanah Batavia di muara Cisadane, berkembang istilah Cina Benteng untuk keturunannya. Mereka kembali mengandalkan alam sebagai buruh tani, meneruskan kebiasaan bertanam padi di kampung halaman.

Walau berhasil berbaur luwes dengan orang lokal, tradisi Imlek Cina Benteng tetap dipertahankan, meski termasuk rumit dan tanpa pakem yang jelas. Mereka setia meneruskan ritual, meski tak lagi bisa membaca tulisan mandarin. “Orang Cina Benteng masih memegang teguh sikap xiao atau berbakti,” pandang pemerhati kuliner peranakan Aji K. Bromokusumo, alias Baba Joseph ‘Aji’ Chen.

Apa saja yang terhidang di meja jamuan Imlek ala Cina Benteng ini? Dahulu, saat terhimpit kesulitan ekonomi, warga keturunan Cina Benteng merayakan Imlek dengan sukacita, tiada lepas dari sajian babi kecap/babi cin. Dibanding versi Semarang yang sangat manis,  ‘babi kecap versi Cina Benteng lebih gurih lewat sapuan rasa unik khas Kecap Benteng  (jintan dan kencur digunakan dalam resep babi cin versi Jawa Tengah dan Jawa Timur).  Ada juga ayam masak tauco. Semua warna kecokelatan pada masakan ini perlambang tanah. Kue (wajik, kue mangkok, kue ku) dan lauk samseng/sam sheng misalnya, tersaji di meja abu, bersama papan nama leluhur selengkap-lengkapnya.

Karena banyak beternak ikan, seperti orang Betawi umumnya, maka lahirlah masakan peranakan seperti ikan ceng cuan. Masakan dari ikan harus ada karena mengandung arti nian nian you yu – setiap tahun ada lebih (rejeki, tabungan, karir, dan lainnya), pengharapan baik. Ikan ceng cuan kebanyakan diracik dari ikan belanak, kalau bandeng biasa dimasak pindang bandeng. Kala Imlek, banyak juga yang bikin kue keranjang.

“Semuanya ngaku racikannya nomor satu, seperti kecap saja!” sambung Chen, tergelak.
Melihat keberhasilan kerabatnya di Nusantara, orang Tiongkok asli juga merantau hingga ke Medan, Sumatera Utara, membentuk komunitas baru. Gelombang imigrasi lainnya didatangkan oleh Belanda dari Jawa (bukan datang bersama Belanda), dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan kopi, teh atau karet.

Setelah berasimilasi dengan pendatang lain di Medan, terbentuklah masakan peranakan yang dipengaruhi gagrak Melayu, Tamil, hingga Selat Malaka. Tak heran jika masakan Cina Medan banyak yang mirip dengan masakan Penang dan Singapura.

Sebagaimana ungkapan Chen di The Peranakan Magazine Singapore, keluak menjadi salah satu bahan makanan khas Peranakan. Begitu pula dengan peranakan Cina Medan. Para nyonya takkan terlewat berbelanja keluak di Pajak Rame (pasar), untuk juga diolah menjadi ayam buah keluak. Selain itu ada pula hidangan bernama samseng, tiga kurban mewakili udara, darat, laut. Darat diwakili ayam, atau telur bagi yang kurang mampu, laut diwakili babi, dan air diwakili ikan atau kepiting. Semuanya mutlak direbus, tanpa bumbu berlebih.

“Sebagian besar masakan peranakan Medan mengandung babi. Kalau ada yang berkecap, pakainya merek Hati Angsa,” ujar pria yang juga aktif sebagai dewan pakar di Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia (ASPERTINA) ini. Kue keranjang tak ketinggalan pula, tanpa perbedaan rasa kecuali penyebutan kue dodol cina atau kue bakul yang dipandang lebih akrab. Semua tersaji di meja jamuan Imlek, seiring aroma hio yang mengalir dari dalam rumah. (TN)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?