Trending Topic
Wanita Akan Tersisih

2 Feb 2015

Awal Desember 2014 lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat melontarkan wacana untuk mengurangi jam kerja wanita yang sudah memiliki anak, sebanyak 2 jam. Harapannya, agar ibu yang bekerja memiliki lebih banyak waktu di rumah untuk mendidik anak-anaknya. “Supaya bangsa ini ke depan tetap punya masa depan, merasa cinta terhadap keluarga dan sebagainya. Jangan sampai anak dilupakan,” ujar JK dalam sebuah wawancara.    Terlepas dari kontroversi pengurangan jam kerja ini, apa sebetulnya yang dibutuhkan wanita?

Wanita akan tersisih
Ketika JK melontarkan wacana ini, banyak pendapat pro dan kontra yang muncul. Kelompok yang kontra khawatir, jika wacana ini diwujudkan menjadi peraturan resmi, semua upaya pemerintah, kelompok pro perjuangan wanita, serta mereka yang memperjuangkan kesetaraan gender akan sia-sia.
Yuniyanti Chuzaifah, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Perempuan, menduga bahwa wacana ini mungkin muncul akibat keprihatinan negara terhadap isu wanita dan anak-anak, seperti masih tingginya angka kematian ibu, semakin banyak wanita yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), semakin tingginya angka perceraian, serta semakin banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual atau terjerumus ke dalam kasus narkoba.
Kasus-kasus tersebut memunculkan anggapan bahwa pilar-pilar keluarga di Indonesia sudah mulai goyah. “Sebenarnya, mungkin niatnya baik. Namun sayangnya, keprihatinan itu muncul tanpa didasari pemikiran yang sensitif terhadap isu kajian gender,” ujar Yuni.
    Yuni mengkhawatirkan, jika diimplementasikan, niat baik tersebut cepat atau lambat akan ‘melahirkan’ diskriminasi yang sistemik dan kultural. “Ada kemungkinan, di masa depan perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga akan lebih memilih mempekerjakan pria ketimbang wanita karena jam kerja wanita lebih pendek,” ungkapnya.
    Cara berpikir korporat dan kapitalis adalah keuntungan dan efisiensi. Dengan jam kerja yang lebih pendek, tentu produktivitas karyawati akan lebih rendah dibandingkan pria. “Saya khawatir ini akan memengaruhi posisi wanita dalam dunia ketenagakerjaan, karier, dan hak politik,” ungkap Yuni, prihatin.
    Apalagi, saat ini kita masih berjuang untuk menumbuhkan kepedulian nyata terhadap gender diversity di perusahaan-perusahaan di Indonesia. Dra. Sri Danti Anwar, MA, Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan, memang pemerintah memiliki kebijakan untuk memberikan hak yang sama terhadap karyawan pria maupun wanita. Namun pada praktiknya, di budaya masyarakat yang patriarkat ini, masih ada pembedaan untuk gaji maupun tunjangan antara karyawan pria dan wanita. “Mungkin pekerja kerah putih atau PNS tidak mengalami itu, tapi wanita buruh-buruh pabrik masih mendapatkan diskriminasi itu. Bahkan, ada juga yang hak cuti melahirkan dan haidnya tidak diberikan sesuai aturannya,” ujar Sri.
    Kekhawatiran Yuni juga dirasakan oleh Neneng Gunadi, Direktur Accenture Indonesia, perusahaan konsultan manajemen dan sumber daya manusia. “Ketika perusahaan merekrut karyawan, seharusnya tidak boleh melihat gender, agama, maupun ras. Yang terpenting adalah prestasinya. Namun, jika aturan pengurangan jam bekerja karyawan wanita menjadi 6 jam diberlakukan, tentu hal ini akan memengaruhi perusahaan karena mereka kan, sudah ada standar tanggung jawab dan gaji, yang mungkin sudah sesuai dengan tanggung jawab kerja 8 jam sehari,” papar Neneng, logis.
    Di sisi lain, hal ini juga akan merugikan pihak pria dan berdampak pada persaingan di dunia kerja. “Persaingan di dunia kerja antara karyawan wanita dan pria bisa berubah menjadi negatif atau tidak sehat. Karena, biar bagaimanapun juga setiap orang yang bekerja tentu memiliki tujuan finansial,” lanjut Neneng.
    Namun, jika kemudian gajinya disesuaikan dengan jam kerjanya, ada kerugian ekonomi yang akan dialami karyawan wanita. Pasalnya, tidak sedikit wanita yang bekerja untuk mendukung perekonomian atau bahkan menjadi pencari nafkah utama keluarga (bread winner).
“Saat ini di Indonesia juga banyak wanita pencari nafkah utama. Tak sedikit pula mereka yang single parent. Jadi, jangan sampai hal ini mengurangi hak ekonominya,” tutur Yuni.
    Memang, di perusahaan, untuk pekerja kerah putih, standar kompensasi diberikan berdasarkan kompetensi dan perannya di perusahaan, bukan jam kerjanya. Meskipun ada juga beberapa posisi tertentu yang dihitung berdasarkan jam kerja.  
Pada akhirnya, kesempatan wanita untuk meningkatkan kompetensi dan berkompetisi juga bisa terhambat. “Misalnya, jika ada rapat yang diadakan di sore atau malam hari, wanita akan kehilangan kesempatan untuk terlibat dalam pengambilan keputusan sehingga ia akan tersisih dan kehilangan kesempatan untuk dipromosikan. Akibatnya, jumlah wanita pengangguran terancam tinggi,” ujar Sri.
Saat ini saja, jika dibandingkan dengan pria, menurut data Profil Perempuan Indonesia Tahun 2013 yang dibuat KPPPA dan Badan Pusat Statistik, jumlah wanita usia produktif yang bekerja hanyalah 37,7%. Sebanyak 70% di antaranya bekerja di sektor informal, seperti asisten rumah tangga, pekerja industri rumahan, pedagang atau buruh di pasar.
Data survei Unleashing Women Leadership sendiri juga menunjukkan, dari total wanita yang lulus kuliah, hanya 47% yang berhasil memasuki dunia kerja. Jumlah ini bisa dibilang minoritas, karena mayoritas anak perempuan atau wanita di Indonesia hanya bisa mengecap pendidikan formal rata-rata 7,2 tahun. Angka ini tak jauh berbeda dari pria atau anak laki-lakinya yang hanya bisa bersekolah rata-rata 8,3 tahun (Profil Perempuan Indonesia 2013, KPPPA dan BPS).  
Padahal, perbandingan jumlah penduduk usia kerja wanita dan pria adalah 50,1% (wanita) dan 49,9% (pria). “Sepuluh tahun lagi akan ada bonus demografi. Populasi wanita akan lebih besar karena harapan hidupnya lebih tinggi. Ini aset yang potensinya harus dimaksimalkan. Jika potensi SDM wanitanya tidak dioptimalkan, posisi-posisi yang seharusnya bisa diisi oleh SDM wanita Indonesia akan diisi oleh tenaga kerja asing. Jadi dampaknya terhadap daya saing dan produktivitas negara akan sangat signifikan,” jelas Sri, lugas.
Penjelasan Sri menegaskan, dampak dari ketidaksensitifan terhadap isu kesetaraan gender ini bukan hanya pada urusan domestik saja, tapi otomatis juga pada perekonomian dan daya saing SDM negara ini. Jadi, ini bukan sekadar gerakan feminisme yang seringkali dipandang dengan persepsi negatif dan pemikiran sempit sebagai gerakan untuk memposisikan wanita lebih superior daripada pria. Namun, ini sangat erat terkait dengan posisi dan perkembangan perekonomian Indonesia di masa depan.
(EKA JANUWATI)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?