Trending Topic
Untuk Anakku Sayang

1 Jan 2014



KECELAKAAN MAUT yang menimpa anak seorang artis membuat orang bertanya-tanya, “Kok, bisa anak di bawah umur mengendarai mobil? Kenapa dibolehkan oleh orang tuanya? Apalagi itu terjadi saat dini hari, di mana anak di bawah usia 17 seharusnya sudah istirahat."

Tak hanya itu, dari kasus tadi terungkap pula banyak fakta menyedihkan yang menunjukkan betapa bebasnya anak sekarang mendapatkan fasilitas yang mungkin belum saatnya mereka terima.

DARI GADGET HINGGA MOBIL MEWAH


Maraknya kasus kecelakaan yang melibatkan pengemudi cilik diperkuat dengan data yang dilansir oleh kepolisian. Di Jakarta misalnya, sepanjang tahun 2012 lalu, setidaknya tercatat 104 kasus kecelakaan lalu lintas dengan pelaku utama anak-anak di bawah 16 tahun. Angka itu melonjak 160% dibanding tahun sebelumnya, 2011, yang hanya mencatat 40 kasus.

Memang, kini banyak pengendara mobil atau sepeda motor yang masih di bawah 17 tahun. Seharusnya sebagian besar dari mereka sama sekali belum boleh mengendarai kendaraan. Sayang, masyarakat dan aparat membiarkannya. Padahal, jelas mereka melanggar aturan, karena belum cukup umur untuk memiliki SIM. Jangankan ditilang, ditegur pun tidak.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 81 ayat 1 dan 2 jelas mengatur tentang kepemilikan SIM hanya untuk anak usia 17 tahun. Anehnya, meski mengetahui aturan ini, kenyataannya tak sedikit orang tua yang longgar dengan aturan tersebut. Akhirnya, karena berbagai alasan, izin yang akhirnya  malah membahayakan anak ini pun diberikan.

Mudahnya orang tua memberikan fasilitas kepada anak sebenarnya tak hanya urusan kendaraan bermotor. Gaya hidup anak juga jadi sorotan. Dari memiliki gadget canggih, uang saku ratusan ribu hingga jutaan rupiah per bulan, sampai pergaulan   bebas.
Sekarang, mari kita bicara soal gadget untuk anak. Sebagian orang tua di perkotaan seakan memiliki kewajiban memberikan ponsel kepada anaknya. Alasannya, untuk memudahkan komunikasi dan mengecek keberadaan sang anak. Tapi, seiring dengan makin canggihnya teknologi, ponsel untuk anak yang tadinya hanya dipakai telepon dan sms, kini beralih menjadi smartphone terbaru dengan teknologi terbaru dan akses internet. Maka, tak mengherankan jika kini sudah jadi pemandangan umum di mal atau restoran, anak-anak asyik bermain dengan gadget-nya.

Gambaran tentang gaya hidup anak ini, bisa dilihat dari hasil survei Indonesia Hottest Insight (IHI) 2013 dari Kompas-Gramedia dan IPSOS, pada 3.000 anak Indonesia, berusia di bawah 17.  Ketika ditanya tentang hadiah apa yang diinginkan saat naik kelas, 35% anak menjawab ingin smartphone atau handphone terbaru. Tak heran jika 40% anak diketahui sudah memiliki handphone sendiri. Bahkan, 51% dari mereka memilih sendiri produk handphone yang diinginkan.    

Internet memang membantu, namun kebebasan mengakses internet ini nyatanya menimbulkan tren baru di kalangan anak. Menurut survei IHI 2013, ternyata 40% anak Indonesia saat ini adalah active internet user. Sebanyak 63% anak menggunakan internet untuk eksis di Facebook, 9% eksis di Twitter, dan 19% lainnya untuk bermain game. Tak mengherankan, mereka begitu antusias bisa memiliki gadget.

Sayangnya, sering kali orang tua tak sadar, ketika mereka membebaskan anak-anak untuk mengakses internet, anak-anak menjadi makin mudah terpapar berbagai informasi. Misalnya saja melalui media sosial, chatting, hingga Youtube, yang tak semua kontennya sesuai untuk usia anak. Jika hal ini dilakukan tanpa pengawasan, tak mengherankan jika kita mendengar banyak kasus yang melibatkan anak dan media sosial, seperti penculikan yang dilakukan teman yang dikenal lewat Facebook.

Faktanya, masih dari hasil survei IHI 2013, 99% anak Indonesia selalu diberi uang saku  tiap hari. Jika diambil rata-rata, uang saku mereka sebesar Rp6.600  tiap harinya. Jakarta adalah kota dengan jumlah rata-rata uang saku yang paling besar di Indonesia, yaitu sebesar Rp8.000 per hari. Uang saku ini,  oleh 51% anak dipakai untuk berbelanja di minimarket, yang memang kini menjamur. Bahkan, 25% anak-anak yang tinggal di kota besar sudah terbiasa dengan layanan pesan antar.

Menurut psikolog anak dan remaja, Vera Itabilianan Hadiwidjojo, Psi, kecenderungan orang tua kini memang mudah memberikan banyak fasilitas yang berkaitan dengan materi. “Sebenarnya, semua fasilitas itu kan untuk memudahkan anak berkegiatan. Disadari atau tidak, nyatanya semua kelengkapan hidup anak itu sifatnya hanya materi,” jelas Vera.
 
DAHULU DAN SEKARANG

Menurut Vera, Pada prinsipnya, orang tua selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, dan membuat mereka merasa lebih senang dibanding dirinya dulu. “Sayangnya, yang sering terjadi, orang tua lupa dan jadi berlebihan dalam memberikan fasilitas,” tambah Vera.

Memang, tidak ada cara mutlak mengasuh anak. Sebagian orang tua ada yang membesarkan anak dengan melanjutkan tradisi pengasuhan orang tua mereka. Tapi, ada juga yang memilih mendengarkan nasihat dan pengalaman teman-temannya. Tak sedikit pula yang menerapkan pola asuh berbeda dengan yang mereka alami atau dengar, karena tak ingin anaknya akan mengalami hal serupa dengannya.

Namun, Vera menjelaskan, di masa kini tantangan orang tua memang makin banyak. Karena, banyaknya hal dan informasi yang dihadapi anak sekarang berbeda dengan yang dihadapi orang tuanya dulu, karena stimulan yang diterima anak dalam pertumbuhannya juga berbeda.

    “Misalnya saja, kalau dulu ngomongin pornografi harus ngumpet-ngumpet, dan nonton film dewasa lewat video, sekarang tinggal browsing langsung bisa dapat,” katanya.
    Seperti diungkapkan  Dr. Rosa Diniari, M.S., sosiolog keluarga dari Universitas Indonesia,  memang ada perbedaan mendasar pada pola asuh di masyarakat saat ini. Dahulu, kadar interaksi orang tua dan anak lebih tinggi. Mereka masih sering bertemu dan anak masih sepenuhnya dalam pengawasan. Kini, kesempatan anggota keluarga untuk bertemu makin sedikit, sehingga pengawasan orang tua pun makin terbatas.

Akhirnya, orang tua yang bekerja cenderung merasa bersalah kepada anak-anaknya karena tidak dapat mendampingi anaknya secara penuh. Sehingga, dengan berbagai upaya orang tua berusaha ‘membayar utang’ rasa bersalahnya dengan memberikan berbagai fasilitas kepada anak-anaknya.

Selain itu, menurut Rosa, adanya gap antara orang tua dan sekolah makin mendorong orang tua menjadi lebih permisif. Jika dulu orang tua di rumah sepenuhnya mendorong dan tak kesulitan mengikuti pelajaran anaknya, kini sebaliknya. Pesatnya konten pelajaran yang sulit diikuti orang tua, terpaksa membuat orang tua menyerahkannya kepada pihak lain, misalnya guru les atau membiarkan anaknya belajar sendiri lewat internet. Sayangnya, ketika fasilitas itu diberikan, timbul masalah-masalah baru di kemudian hari.

Meski begitu, Vera tidak ingin sepenuhnya menyebutkan bahwa orang tua yang lebih permisif  berarti benar-benar memberikan kebebasan mutlak. Karena menurutnya, dari berbagai kasus terlihat bahwa orang tua justru ‘kecolongan’. Mereka tidak menyangka fasilitas yang mereka berikan akan menjadi bumerang.

Bisa jadi mereka tidak menyadari dampaknya dan meremehkannya. Mereka cenderung berpikir, anak-anak tidak akan mengetahuinya. “Padahal, bagi remaja, teman adalah pengaruh terbesar mereka. Dan, mereka bisa mengetahui banyak hal dari teman-temannya,” jelas Vera.

SAYANG BISA JADI BUMERANG!

Peneliti dari University of California Berkeley, Dr. Baumrind, membagi pola asuh orang tua dalam empat gaya, yaitu otoriter, permisif, cuek, dan demokratis. Pembagian ini ia dasarkan pada dukungan dan ekspektasi orang tua. Dukungan bisa dilihat dari derajat support dan kehangatan orang tua kepada anaknya, sementara ekspektasi biasanya muncul dalam bentuk kontrol, monitoring, dan disiplin.

Menurut Baumrind, orang tua permisif ciri-cirinya cenderung memberikan dukungan tinggi, tetapi memiliki ekspektasi rendah. Mereka menyerahkan kontrol sepenuhnya kepada anak. Hampir tak ada aturan di rumah. Orang tua memilih tidak terlibat konflik dengan anaknya.

 Sayangnya, orang tua permisif lebih banyak menghasilkan hal negatif, misalnya anak menjadi minder, pintar memanipulasi orang tua, dan tidak disiplin. Pola asuh ini cenderung menjadikan anak kurang bertanggung jawab, agresif, egoistis, dan banyak menuntut.
       Dari penelitian ini tampak betapa pentingnya interaksi yang baik antara dukungan dan ekspektasi orang tua pada anak. Dukungan dan kehangatan orang tua akan menjadi pendorong yang baik bagi perkembangan anak dan menjadi lebih bagus jika dibarengi dengan disiplin tepat.

Sebenarnya, yang perlu disadari orang tua ketika memberikan izin atau membebaskan anak-anaknya adalah adanya tanggung jawab yang pada akhirnya dibebankan kepada anak.

Ketika orang tua berani memberikan kebebasan bagi anaknya, maka ia sendiri harus benar-benar mampu mengarahkan anaknya. Jangan sampai anak jalan sendiri. “Istilahnya bukan kebebasan yang kebablasan, sehingga anak tak lagi meraba-raba dan salah arah dalam mencari jati dirinya,” jelas Vera.

Menurut Vera, yang terjadi saat ini, orang tua memberikan izin pada anaknya, tapi lupa melengkapi dengan aturan atau kontrol lebih atas apa yang mereka izinkan. “Anak itu perlu dikontrol. Karena, bagi anak, apa yang dia suka adalah yang dilakukan saat ini. Mereka tidak memikirkan ke depan. Pengaruh teman dan lingkungan masih sangat besar,” katanya.

Orang tua juga harus membangun komunikasi yang baik dengan anak-anaknya. Sebelum mengabulkan keinginannya, lihat dulu kebutuhan mereka di usianya saat itu. Misalnya, untuk anak yang masih SD, biasakan ia menggunakan laptop yang diletakkan di ruang keluarga, sehingga orang tua masih bisa mengawasi.
    “Ketika memberikan sebuah fasilitas, sebaiknya disertai aturan jelas yang Anda komunikasikan dengan baik kepada anak,” jelas Vera.

Rosa menambahkan, salah satu cara membangun komunikasi yang baik adalah menumbuhkan kembali budaya makan bersama. Sepertinya klise. Tapi, makan bersama adalah kebutuhan dan menjadi forum anggota keluarga berkumpul secara tatap muka, berbagi cerita, sekaligus memutuskan masalah dalam keluarga.
    “Mungkin kini kesannya sulit dilakukan. Tapi, makan bersama bisa berarti mengambil waktu akhir pekan di restoran atau tempat yang nyaman untuk berkumpul bersama keluarga,” jelas Rosa.

Bicara soal aturan main, Vera berkata, idealnya aturan dibuat fleksibel. Seiring bertambahnya usia anak, aturan main ini bisa diperbarui.
   
Vera menambahkan, orang tua juga harus tahu batasan yang tak bisa dilanggar. Misalnya, mengizinkan anak belajar naik motor atau mobil memang harus ditunggu hingga anak cukup dewasa, usia dan mentalnya. Demi alasan apa pun, tidak sepatutnya orang tua mengajarkan kepada anak untuk melanggar aturan yang ada.
    Lantas bagaimana agar orang tua dapat membuat aturan yang sesuai untuk anaknya? Menurut Rosa, caranya dengan menerapkan reverse socialization, di mana yang menjadi agen sosial bukan saja orang tua bagi anak-anaknya, tapi juga anak-anak bagi orang tuanya.

Anak memang belajar dari orang tuanya, tapi dalam hal ini orang tua juga belajar dari anak mengenai kebutuhan anak. Tidak selalu ngotot dengan pendiriannya, tapi berusaha menyesuaikannya, dengan mendengarkan dan memperhatikan kebutuhannya. Hal ini penting agar tidak ada kesenjangan pandangan dan persepsi di antara orang tua dan anak.  (FAUNDA LISWIJAYANTI)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?