Trending Topic
Tergerak demi Anak

2 Apr 2014


Sebelum memutuskan mencalonkan diri,  tiap orang pasti memiliki motivasi pribadi maju ke ranah politik yang masih dikuasai pria. Sebetulnya, apa tujuan mereka mencalonkan diri? Sebagian besar menjawab sama: ingin berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang menguntungkan rakyat, khususnya kaum wanita.     
   
Chairiyah (Soni), 38, misalnya. Wanita pengusaha batik ini mengatakan, kondisi yang penuh ketidakberesan di negara ini membuatnya gemas. Karena itu, pada tahun 2011 ia tak menampik tawaran untuk bergabung dalam organisasi wanita bernama Srikandi Hanura, organisasi otonom sayap Partai Hanura, yang ketika itu baru didirikan. Organisasi ini menitikberatkan pada kesejahteraan wanita dan anak.

“Saat itu, saya ikut terlibat program Gerakan Ekonomi Keluarga Mandiri dan Rehabilitasi Posyandu yang sudah lama mati,” ujar Soni, yang pernah bekerja sebagai legal consultant di sebuah stasiun televisi. Sejak saat itu, ia tertarik masuk ke dunia politik. “Di pemilu tahun ini, ketika ada kesempatan, saya pun memutuskan untuk maju sebagai caleg,” jelas Soni.
   
Sedangkan Ridha Fidhyana (28) mengaku, sejak kuliah ia bercita-cita ingin membuat Indonesia lebih baik. “Setelah melahirkan anak kedua, saya  mulai memikirkan bagaimana masa depan anak saya kelak. Saya berpikir, pasti ada yang bisa saya kontribusikan untuk negara, dan pilihan paling masuk akal adalah untuk masuk ke sistem dengan menjadi anggota DPR,” cerita Ridha, yang kemudian bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Menurutnya, wanita sangat dibutuhkan saat ini. Jumlah wanita di Indonesia yang mencapai 50% dari penduduk Indonesia, atau sekitar 118 juta jiwa, tak mungkin terwakili hanya dengan beberapa gelintir wanita di parlemen.      
   
“Saya datang mendaftarkan diri ke kantor DPP PPP. Singkat cerita, saya berhasil masuk dapil DKI Jakarta II, nomor urut 6. Saya memilih Jakarta karena memang saya berdomisili di Jakarta sehingga mengenal dengan baik tempat saya tinggal,” tutur Ridha, yang tengah hamil besar.   
   
Sementara, Yenni Meilina Lie (33) yang berkarier di dunia profesional justru mengatakan bahwa ia sebetulnya antipolitik. “Jujur, sebenarnya lebih enak menjadi profesional di perusahaan, punya gaji besar, fasilitas lumayan. Tidak usah pusing-pusing mikirin negara. Tapi, pada suatu saat, ketika saya punya anak, saya lantas terpikir, ‘Kok, situasi Indonesia carut-marut seperti ini?’”

Yenni menambahkan, ia merasa tidak bisa berkomentar banyak jika ia tidak turun tangan langsung. “Bisa saja saya menutup mata dan menyekolahkan anak ke luar negeri. Tetapi, bukan tidak mungkin selepas sekolah, anak akan tinggal di Indonesia. Motivasi terbesar saya terjun ke politik adalah anak,” tuturnya. Ia ingin berkontribusi mempersiapkan Indonesia yang lebih baik untuk masa depan anak.  

Kendaraan politik adalah partai politik. Suka atau tidak, seorang caleg haruslah kader partai. Dari sekian banyak partai politik, ada bermacam alasan mengapa mereka memilih partai yang menaungi mereka sekarang. Ternyata, ada yang memang sejak awal sudah naksir partai itu, atau karena partainya memiliki kedekatan dengan dirinya.
   
Misalnya saja Siti Haniatunnisa (Hani), 29, caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk dapil Banten III, Tangerang Raya. “Pertama, karena saya punya ikatan historis dari segi keluarga. Ayah saya merupakan salah satu pendiri PKB. Selain itu, dari segi ideologi, sebagai keluarga Nahdliyin, saya dekat dengan NU, ormas afiliasi PKB,” tutur wanita yang sedang memperdalam ilmunya di bidang hukum dan baru bergabung sebagai kader PKB tahun 2013 ini.
   
Hal ini berbeda dengan Liliek Nurlinda Diyani (Linda), 38, dari Partai Golongan Karya (Golkar). Meski tujuan jangka panjangnya sama, Linda tetap memiliki alasan tersendiri mengapa ia mencalonkan diri. Sejak awal, ia mengaku, targetnya bergabung ke Partai Golkar adalah untuk menjadi anggota legislatif. “Kalaupun tahun ini saya tidak terpilih sebagai anggota legislatif, mungkin ini terakhir kalinya saya mencicipi politik. Saya akan melanjutkan sekolah di luar negeri,” jelas Linda, yang sehari-hari berpraktik sebagai dokter kecantikan.
   
Adapun Kanti W. Janis, 28, terlahir dari keluarga politikus. Ayahnya, Roy Janis, adalah seorang politikus kawakan dan mendirikan partai sendiri, namun tak lolos menjadi peserta pemilu 2014. “Saya memang berprinsip tidak ingin satu partai dengan ayah saya karena ruang lingkup jadi terbatas dan saya akan sulit mengekspresikan diri,” ujar wanita yang bekerja sebagai pengacara dan penulis novel ini.

Kanti kemudian masuk ke Partai Amanat Nasional (PAN). Ia mengaku, saat memilih partai hanya satu pertimbangannya: ia hanya akan memilih partai berideologi nasionalis. “Karena saya ingin berjuang bagi semua orang,” ujarnya.

Sedangkan Yenni  mengaku sudah lama ia naksir Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Yenni yang pada masa gelombang demonstrasi mahasiswa 1998 ikut berdemonstrasi, menganggap PDIP sebagai partai yang identik dengan wong cilik. Bergabungnya ia di PDIP adalah bentuk keberpihakannya kepada wong cilik.      

“Awal tahun 2014, saya memberanikan diri memberikan CV. Ternyata, PDIP menerima saya. Kebetulan, mereka sedang menggalakkan kaderisasi intelektual muda. Saya diundang untuk ikut psikotes dan tes kesehatan sebagai calon anggota legislatif mereka,” ungkap Yenni, yang mengaku tetap siap untuk  berkampanye, meski baru punya bayi.
Yenni bercerita, sewaktu awal bolak-balik ke partai, ia sempat dikira asisten caleg. “Mereka tidak menyangka saya adalah caleg partai mereka, mungkin karena saya bermata sipit,” cerita Yenni, tertawa.

Ficky Yusrini

Siapkah merek bertarung di medan yang sulit? Simak kisah para caleg wanita tersebut di sini.


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?