Kondisi ini menggerakkan sejumlah pihak di wilayah ini untuk dapat menekan praktik pernikahan usia dini. Solusinya, dengan menyelenggarakan penyuluhan mengenai kesehatan reproduksi dan hubungan seksual di sejumlah sekolah serta komunitas desa: Balai Istri dan Balai Remaja. “Alhamdulillah, lewat penyuluhan ini, jumlah anak-anak yang menikah muda sudah makin berkurang sekarang. Anak-anak kini lebih memilih bersekolah ketimbang menikah,” jelas Sumiati, salah satu pengurus komunitas Balai Istri di wilayah ini.
Sumiati menambahkan, penyuluhan tersebut membuat orang tua maupun anak jadi lebih memahami soal kesehatan reproduksi dan hubungan seksual. Masyarakat di desa ini pun mulai sadar bahwa pernikahan usia dini bukan solusi. “Sekarang, 85% remaja belasan tahun lebih memilih sekolah sampai tingkat SMA. Ini berbeda dengan kondisi sebelum penyuluhan, di mana mayoritas anak-anak hanya lulusan SD,” imbuh Sumiati.
Bila melihat kondisi saat ini, di era yang penuh persaingan global, Indonesia jelas memerlukan sumber daya manusia berkualitas. Karena itu, menaikkan batas usia pernikahan akan meningkatkan kesempatan anak-anak Indonesia mendapat pendidikan lebih tinggi, menyiapkan fisik, dan mematangkan mental. Pernikahan berkualitas baik akan menghasilkan keturunan yang berkualitas baik pula. “Pemerintah harus segera merevisi Undang-Undang Perkawinan demi memperbaiki nasib dan kebaikan kita bersama dalam mencetak generasi muda berkualitas,” pungkas Budi Wahyuni, Komisioner dan Wakil Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), mantap.
Rizka Azizah