Trending Topic
Serangan Kata-Kata

17 Sep 2013


 “Trimakasih atas segala caci maki @lockstockfest2. Ini gerakan… gerakan menuju Tuhan. Salam.” Ini adalah tweet terakhir almarhum Yoga Cahyadi, ketua panitia Lockstock, yang ditulis kurang dari satu jam sebelum ia mengakhiri hidupnya di lintasan rel kereta api Yogyakarta.

Tak lama setelah tragedi ini terungkap, di Twitter pun membanjir berbagai komentar. Ada yang simpati, ada yang marah. Tak sedikit yang menyebut-nyebut,  aksi cyberbully sebagai penyebab kematian Yoga. “Bullying on Twitter took its toll [sic],” tulis blogger Enda Nasution. Frase ini kurang lebih berarti, kasus cyberbully sudah mencapai titik tergawat.

Yoga adalah kasus cyberbully kedua yang muncul tahun ini. Sebelumnya, seorang gadis berusia 15 tahun asal Amerika Serikat, Audrie Pott, diperkosa saat menghadiri sebuah pesta di Kanada. Ketiga pelakunya ditangkap, tapi foto-foto Audrie dari kejadian itu kemudian beredar di internet. Karena tak kuat menanggung malu, Audrie juga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya April lalu. “My life is ruined… I’m in hell… The whole school knows… My life is over,” begitu tulisan terakhir Audrie di Facebook-nya.

Tentunya ada banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang   mengakhiri hidupnya. Namun, dua kasus di atas menggambarkan sebuah fenomena yang tak bisa lagi kita abaikan. Kenyataannya, perkembangan dunia digital sudah begitu pesat hingga batas antara kehidupan online dan offline pun menjadi kabur. Aksi dan konsekuensi dari hal-hal yang kita lakukan di dunia online akan berdampak langsung ke kehidupan offline. Begitu pula sebaliknya.

Secara singkat, cyberbully bisa dijelaskan sebagai tindakan atau ucapan di forum online yang merendahkan orang lain dan terjadi secara terus-menerus. Menurut Nukman Luthfie, pakar media sosial dan digital marketing, ‘serangan’ yang tidak terjadi secara berkepanjangan, belum bisa disebut sebagai cyberbully. “Ketika pendapat kita disanggah oleh banyak orang, bukan berarti kita adalah korban cyberbully,” ujarnya.
   
Memang, sering kali terjadi salah kaprah mengenai istilah ini. Yang jelas, cyberbully berbeda dengan twitwar, ketika dua pihak atau lebih memiliki kekuatan yang sama. Bully adalah permainan intimidasi antara yang kuat melawan yang lemah. Di dunia cyber, terutama media sosial, persoalan kuat atau tidaknya terkadang tidak berhubungan dengan kekuatan satu orang, tapi jumlah orang yang menyerang. Ketika banyak orang yang berkomentar atau me-retweet sesuatu yang negatif pada atau tentang kita, kemungkinan besar kita akan merasa terintimidasi.

Mudahnya penyebaran informasi ini juga menjadi penyebab cyberbully terjadi secara viral. Status, tweet, atau post di mana pun kini bisa dibagi atau di-share di platform yang berbeda-beda. Sayangnya, menurut Nukman, informasi yang tersebar luas dan terlalu cepat ini sering kali belum tentu benar. Yang tadinya masih isu, menjadi berita karena sudah dibicarakan di media sosial. “Ada pula kecenderungan orang untuk ikut mengomentari sesuatu yang dikomentari orang lain. Padahal, ia belum tentu mengerti benar masalahnya,” tambahnya, menyayangkan.
   
Ia juga mengamati bahwa perilaku mereka yang aktif di dunia maya sekarang seperti detektif. Misalnya, di berita disebutkan nama seorang tokoh atau artis yang terlibat kasus suap. Langsung saja orang berbondong-bondong mengecek akun Twitter-nya. Tak perlu repot-repot mendatangi rumah si tersangka, tinggal mention, ketik komentar, hujatan, cacian, lalu tinggal posting saja.
   
Nah, ketika yang melakukan ini ada banyak, yang terjadi adalah bully secara massal dan viral. Menurut Nukman, yang membedakan cyberbully dari bully yang lain adalah pelakunya bisa jadi tidak menyadarinya. Sebab, sekali berkomentar atau sekadar nyinyir saja, sebetulnya ia sudah menjadi bagian dari cyberbully. Apalagi kalau post-nya disertai mention langsung atau hashtag tertentu. Ketika dicek dan isinya hujatan, tentu saja pemiliknya akan merasa diserang.

Menurut Yanuar Nugroho, peneliti di University of Manchester, di dunia online dan offline terjadi power play atau upaya untuk memperebutkan pengaruh. Adanya keinginan untuk memaksakan cara berpikir, merasa, bertindak, bahkan selera pribadinya kepada pihak lain.

Manifestasi power play di dunia nyata umumnya terjadi lewat pengaruh politik, ekonomi, dan sosial budaya. Hal ini bisa terjadi di mana-mana, mulai dari rumah, sekolah, lingkungan RT/RW hingga skala negara. "Di media online, manifestasi ini lebih kongkrit karena berbentuk kata-kata, gambar atau apa pun yang dapat ditransmisikan secara online," papar Yanuar yang pernah membuat penelitian tentang media sosial dan masyarakat sipil ini.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?