Trending Topic
Semangat Lama, Kemasan Baru

7 Mar 2013

Benih-benih crowdfunding ini sebenarnya telah eksis dalam keseharian masyarakat di Indonesia. Budaya saweran atau patungan adalah salah satunya. Patungan membelikan kado pernikahan bagi rekan sejawat di kantor, mengumpulkan dana duka bagi rekan yang baru ditinggal mati oleh anggota keluarganya, sampai ke urusan makan bersama. Kalau bisa ditanggung bersama, kenapa repot sendiri? Lagi pula, dalam kebersamaan inilah letak kesenangannya!
   
”Hanya, sekarang formatnya saja yang berubah. Kalau dulu hanya bisa patungan dengan teman-teman sekantor, sekompleks tempat tinggal, atau sekomunitas, sekarang teknologi internet memungkinkan kita untuk patungan dengan orang-orang dari pelosok Nusantara, bahkan dunia,” ujar Prof. DR. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, saat mencoba menilik perkembangan gejala sosial di masyarakat ini. 

Contoh sukses proyek sosial di era situs crowdfunding tercermin pada proyek Papan untuk Semua: Atap untuk Rumah Uay (tukang ojek), yang diprakarsai oleh Yu Sing, seorang arsitek. Upaya pencarian dana yang dilakukan lewat  Wujudkan.com ini berhasil menuai simpati publik. Alhasil, dalam waktu 24 jam permohonan dana sebesar Rp2.500.000 telah tercapai, bahkan melampui target, yaitu Rp4.780.000.

Menurut Prof. Sarlito, ada dua faktor utama yang mendorong seseorang untuk ikut berkontribusi dalam aksi yang dalam ilmu psikologi sosial dikenal dengan istilah prosocial behavior ini. Pertama  adalah faktor kepercayaan. Di era sekarang, kekuatan brand menjadi penjamin bagi kepercayaan publik.

Ia lantas mencontohkan bahwa nama-nama seperti Riri Riza dan Mira Lesmana yang memiliki perjalanan karya yang telah terbukti serta personal branding yang kuat, tentu akan lebih mudah menggalang dana. Apalagi, masyarakat sudah cukup kenyang dengan beragam skenario penipuan, baik yang berlangsung di online maupun offline. Keterbukaan atau transparansi dalam hal mengomunikasikan proyek dan pengelolaan dana juga merupakan  poin penting yang menjadi bahan pertimbangan calon donatur.

”Saya biasanya akan melihat, siapa yang punya ide, kira-kira ia kompeten dan bisa dipercaya atau tidak. Dan seberapa realistis proyeknya,” ujar Tarlen Handayani (35), penulis lepas yang telah ikut mendanai Atap Rumah untuk Uay dan Demi Ucok.  Sebagai contoh, ia tentu akan bertanya-tanya jika ada proyek membuat kaus yang meminta dana hingga Rp50 juta. Padahal, tujuan dari pembuatan kaus itu juga tidak jelas. ”Karena tidak masuk logika saya, ya, saya tidak mau mendanainya,” lanjutnya.

Krisis kepercayaan ini menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh pemilik proyek atau kreator. Seperti yang diakui oleh George Arif (36), sutradara film dokumenter Persona, yang kesulitan mendapat kepercayaan dari publik, karena ia belum dikenal banyak orang.

”Sebenarnya, kebanyakan penyumbang saya adalah orang-orang yang sudah kenal saya. Memang saya mendapat dukungan dari orang yang tidak kenal, tapi porsinya tidak banyak,” ungkap George, yang baru pertama kali menggunakan jalan crowdfunding untuk mendanai editing film dan road show yang mendokumentasikan dunia teater di Indonesia dengan tokoh utama Rita Matu Mona, aktris teater senior di Teater Koma.

Untuk menggalang kepedulian publik, dalam batas waktu 3 bulan yang ditentukan oleh Wujudkan.com itu, George harus kerja keras melakukan kampanye, baik online maupun offline.  “Tiap hari saya sebarkan di media sosial. Kebetulan kami dibantu @film_indonesia @tanyagoogle, juga dukungan dari Teater Koma, ID film Center, lumayan banyak. Secara offline, saya membuat pemutaran di kampus-kampus dan membuat kotak donasi langsung,” papar George, yang berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp30.350.000. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?