Trending Topic
Selektif Memilih Pasangan

6 Aug 2014


Dalam  tiap pengambilan keputusan dan tindakan, termasuk dalam karier, selain kondisi yang dihadapi seseorang, ada satu hal yang berpengaruh sangat besar baginya. Hal itu adalah life values. Menurut Roslina Verauli, Dosen Psikologi Universitas Tarumanegara, life values adalah prinsip-prinsip yang seseorang anggap penting dalam hidupnya serta panduan tentang yang dirasa benar atau salah, yang melandasi tiap tindakan yang dilakukannya. “Nilai-nilai ini akan membentuk personal truth seseorang yang pada akhirnya memengaruhi kepercayaan diri serta prioritasnya dalam berbagai aspek kehidupan,” paparnya.
    Life values sendiri sangat erat kaitannya dengan kebijaksanaan atau kematangan seseorang. Makin dewasa seseorang, life values-nya tidak akan lagi berpusat pada dirinya, tapi juga kepada lingkungan atau masyarakat. Meski begitu, tingkat kedewasaan seseorang tidak diukur dari usianya.
    Profil individu, yakni kecerdasan, kebijaksanaan, pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup, memengaruhi life values seseorang. Begitu juga kebalikannya. “Kematangan pribadi seseorang baru bisa terbentuk ketika kebutuhan psikologis dasarnya sudah terpenuhi,” jelas Vera.
    Kebutuhan psikologis dasar itu mencakup pemahaman yang positif tentang dirinya sendiri, serta perasaan dicintai dan mencintai sesama. Terpenuhinya kebutuhan ini akan membuat seseorang merasa lengkap.    
Life values seseorang mulai terbentuk sejak ia masih kecil, lewat pendidikan yang diberikan kedua orang tuanya, pendidikan di sekolah, hingga lingkungan sosialnya. Tapi, yang memberikan pengaruh terbesar adalah kedua orang tua. Tiap keluarga life values-nya berbeda-beda. Ada yang berorientasi pada pencapaian dan prestasi, ada yang pada materi, dan sebagainya. “Tak heran jika orang-orang yang berhasil, baik secara prestasi maupun materi, adalah orang-orang yang sejak kecil diberi wawasan dan pandangan hidup yang jelas oleh keluarganya,” jelas Vera.
Dalam konteks lebih luas, nilai budaya dalam masyarakat tempat kita tinggal juga memengaruhi life values seseorang. Contohnya dalam karier. Menurut Tommy F. Awuy, Dosen Filsafat Universitas Indonesia, lapangan pekerjaan dan kesempatan berkarier yang  makin terbuka bagi wanita muncul karena konsep budaya sudah berubah menjadi lebih fleksibel dalam menerima wanita karier.
Perubahan values masyarakat dalam memandang usia pernikahan wanita juga berubah. Jika beberapa dekade lalu wanita usia 30-an yang belum menikah akan dipandang sebagai perawan tua, lain halnya sekarang. “Mungkin pandangan itu masih ada, tapi tidak banyak. Sekarang, masyarakat lebih menilai bahwa wanita berhak menentukan pilihan terbaik sebelum menikah, ketimbang menikah karena dikejar usia,” papar Tommy.
Meski begitu, pertanyaan-pertanyaan usil ‘kapan menikah’ masih kerap menghujani wanita. Tapi, wanita tak lagi mudah terbebani oleh pertanyaan semacam itu. Wanita-wanita masa kini sudah lebih cerdas secara emosional dan intelektual. “Mereka tahu apa yang mereka mau dan tidak mudah membiarkan faktor eksternal mengusik ketetapan hati mereka,” lanjut Vera.
Tak sedikit orang beranggapan banyak wanita karier yang masih melajang karena mereka terlalu sibuk bekerja dan memiliki standar pria yang terlalu tinggi. Hal itu tak sepenuhya salah. Menurut 61% responden femina, mereka belum menikah karena merasa belum menemukan pasangan yang tepat. Ini penting, karena tingginya angka perceraian membuat mereka merasa perlu berhati-hati dalam memilih pasangan hidup.
Menurut Tommy, tingkat kemandirian yang tinggi, baik secara finansial maupun emosional, membuat wanita lebih leluasa dalam menentukan pasangan hidup. Jika dulu wanita mencari suami untuk mencari keamanan finansial, kini mereka bisa memenuhi kebutuhan itu sendiri.
Di sisi lain, wanita lajang masa kini lebih realistis dalam memilih pasangan hidup dan tak selalu dibutakan oleh cinta. Menjadi selektif dan realistis dalam memilih pasangan hidup dinilai wajar oleh Vera.  Alasan yang penting dapat jodoh, nikah sesuai agama, memenuhi tuntutan orang tua, atau aman secara finansial, sudah tak penting. “Karena orang sekarang sudah tidak lagi mau tertekan atau tidak bahagia dengan pernikahannya,” jelas Vera. Tak heran jika 93% responden mengatakan bahwa ikatan emosional merupakan faktor terpenting dalam sebuah hubungan dibandingkan hubungan seks yang sehat.
Namun, menurut pengamatan Vera dan Tommy, ada pergeseran nilai dan pandangan terhadap hubungan seks pranikah. Kini, orang lebih bisa menerima hubungan seks pranikah. Menikah bukan lagi karena menyalurkan hasrat seksual, karena seks kini bisa dilakukan sebelum menikah. “Demikian juga dengan tinggal bersama pasangan sebelum menikah. Bahkan, tak sedikit pasangan kekasih menganggap itu sebagai tahap penyesuaian sebelum resmi menikah,” jelas Vera.
Memang, meski dalam konteks individu urusan seks pranikah sudah bukan hal tabu lagi, tidak demikian dalam konteks masyarakat yang lebih luas. “Meski kenyataannya sudah banyak pasangan yang melakukan seks pranikah, masyarakat masih berusaha mempertahankan nilai-nilai kesakralan seks. Sehingga, masalah ini tidak bisa dibicarakan secara terlalu terbuka,” jelas Tommy. (EKA JANUWATI)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?