Sementara, tak jadi jaminan pengguna steril dari narkoba jika ditempatkan di penjara. “Bisa jadi mereka justru lebih mudah memperoleh barang haram itu, mengingat maraknya peredaran narkoba di penjara. Itu sebabnya, pecandu harus direhabilitasi, bukan dipenjara!” tegas Ketua Umum LSM Gepenta, Brigjen Pol. (Purn) Drs. Parasian Simanungkalit, S.H, M.H.
Saat ini, di Indonesia ada 90 panti rehabilitasi yang siap memberikan pengobatan gratis pada pecandu. Pengobatannya bervariasi, tergantung tingkat kecanduannya (maksimal 8-12 bulan).
Sebaliknya, penerapan hukum ini bisa juga dijadikan celah ‘bermain’ oknum polisi dan pengadilan. “Banyak rumor beredar bahwa di tingkat penyidikan, barang bukti bisa dikurangi sehingga pengedar masuk kualifikasi pemakai, bukan pengedar. Ini bisa terjadi karena pemberantasan narkotika tidak independen, tapi masih mengandalkan kepolisian. Seharusnya kita menerapkan seperti di negara maju, di mana unit pemberantasan peredaran narkotika berdiri sendiri,” sesal Winner-Jhonshon Bakara, S.H., pengacara dan pengurus LSM Lembaga Advokasi Hukum dan HAM (Elham).
Selain melakukan gerakan kampanye ajakan ke panti rehabilitasi ini, BNN juga menggalang kerja sama dengan tempat-tempat yang rawan disusupi sindikat pelaku narkoba ini. “Kami menemukan bahwa transaksi narkoba sekarang tak hanya marak dilakukan di diskotek atau kelab malam, tapi sudah bergeser ke pusat-pusat perbelanjaan saat siang bolong,” kata Komjen Pol. Anang Iskandar, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).
Untuk itu, BNN juga bekerja sama dengan 70 mal di seluruh Indonesia agar turut melakukan pengawasan ketat. Sebab, selain ditemukan banyaknya transaksi narkoba dan pencarian calon kurir di mal, loker-loker dan tempat penitipan barang di mal dimanfaatkan sebagai tempat menyimpan narkoba.
Reynette Fausto