Trending Topic
Profit vs Sosial

24 May 2013


Meski tujuannya sama-sama untuk sosial, menurut Muhammad Yunus, social business berbeda dengan charity. Karena, social business tidak dipraktikkan dengan memberi uang begitu saja, tapi harus ada keterlibatan masyarakat dalam bisnisnya. Social business juga tidak sama dengan pure business yang tujuannya murni meraup profit. Social business harus berdasarkan ketulusan. Keuntungan yang diperoleh ditujukan untuk pengembangan usaha atau untuk membantu misi sosial.

Untuk membuat sebuah bisnis terus berputar dibutuhkan dana dan suntikan modal. Sehingga, untuk memastikan kontribusi sosialnya bisa terus berjalan, keberlangsungan bisnis juga perlu terjaga.

Lantas, dari mana seorang wirausaha sosial memperoleh profit untuk bisnisnya? Mari kita belajar dari Grameen Bank, lembaga keuangan yang fokus usahanya meminjamkan kredit usaha kecil dan warga miskin, yang didirikan Yunus sejak tahun 1983. Dalam waktu 30 tahun, Grameen sudah melayani separuh jumlah total penduduk Bangladesh. Kini, model bisnis Grameen sudah diaplikasikan di lebih dari 100 negara, salah satunya di Amerika Serikat.

Sebagai bisnis, kewirausahaan sosial tak terlepas dari kaidah-kaidah bisnis pada umumnya, yang harus dikelola secara profesional dan menerapkan strategi pemasaran yang harus mungkin untuk diterapkan. Selain itu, menurut Dra. Maria C. Widiastuti, ME, Vice Director Program Pascasarjana Community Enterpreneurship Universitas Trisakti, kewirausahaan sosial juga memerlukan alat ukur untuk menarik investor dalam mengembangkan bisnisnya tersebut. Ia menyebut istilah Social Return on Investment (SROI). Manfaat sosial yang bisa dirasakah oleh suatu komunitas atau masyarakat, sesungguhnya bisa dihitung. Misalnya, pada wanita pembatik di Desa Jeruk.

“Bahwa mereka yang dulunya tidak tahu apa-apa soal pewarnaan batik, manajemen bisnis, lalu sekarang sudah bisa mengelola bisnis batik sendiri, itu ada nilainya. Bagaimana mengukurnya? Caranya adalah dengan mengajak mereka berdiskusi. Merekalah yang merasakan dampaknya, dan minta mereka untuk mengukurnya dalam rupiah,” jelas Maria. Maria menambahkan, SROI ini berguna sebagai komponen penghitungan investasi untuk diajukan kepada pihak investor. SROI diharapkan bisa dijadikan alat yang dapat mempertemukan kepentingan pelaku kewirausahaan sosial dan para investor.

Pakar bisnis Rhenald Kasali, mengatakan, kadangkala wirausaha sosial tidak pernah menghitung berapa ‘modal’ yang sudah ia habiskan untuk misi sosialnya. “Sebab, modal utamanya adalah panggilan hati. Orang yang berwirausaha sosial adalah mereka yang ‘hobinya’ merawat masyarakat, membuat alam lebih indah, mencintai lingkungan, atau peduli pada anak-anak kampung. Sering kali orang-orang yang berwirausaha sosial adalah mereka yang melawan arus, orang yang aneh dan tidak masuk akal,” jelas penggagas Rumah Perubahan ini.  

Keputusan untuk memilih orientasi bisnis dari profit murni ke sosial sendiri sesungguhnya adalah sebuah keputusan yang melawan arus, tak semua orang tertarik melakukannya. Itulah mengapa Rhenald menyebut kewirausahaan sosial sebagai unreasonable people.

Tanpa memprioritaskan bisnisnya pada profit murni pun kenyataannya seorang wirausaha sosial bisa tetap hidup layak, bahkan bisa membesarkan bisnisnya. Dan, dengan sendirinya, pengakuan sosial akan ia peroleh. Mereka, kata Rhenald, adalah orang-orang yang bisa mengubah dunia.

Namun, Rhenald menilai, pada praktiknya, di Indonesia, kewirausahaan sosial ini masih ada yang menggunakannya sebagai bagian dari pencitraan, semata karena ia ingin dianggap berjiwa sosial.

Rhenald menjelaskan, semua orang yang berwirausaha bisa menjadi seorang wirausaha sosial. Bentuknya tak harus berupa social business, bisa saja, individu yang memberdayakan masyarakat sebagai bagian dari bisnisnya, atau individu yang memiliki perusahaan komersial yang lantas menjalankan corporate social responsibility, itu juga bisa dilakukan. 

Di Amerika, social enterprise bergerak kencang sekali. Di sana bahkan sudah ada bursa efek untuk social enterprise atau dikenal dengan social capital market. Di Inggris, keberadaan kewirausahaan sosial dikelola di bawah kementerian sektor ketiga (office of the third sector). Sektor pertama adalah APBN, sektor kedua yakni korporasi, dan sektor ketiga adalah kewirausahaan sosial.

Lagi-lagi, mengutip Yunus, bagi mereka yang ingin menjadi wirausaha sosial, ada beberapa etika yang perlu dimiliki. Antara lain, punya kesadaran lingkungan, para pekerjanya mendapat upah yang layak dengan lingkungan kerja yang baik, dan yang terpenting, dilakukan dengan passion. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?