Trending Topic
Privilege Khusus Wanita

19 Aug 2013

Work from home selama ini identik dengan freelancer atau wirausaha. Namun demikian, beberapa tahun terakhir, work from home juga diadopsi oleh korporasi. Ada yang mengistilahkannya dengan remote worker ataupun  telecommuter. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Cisco, istilah yang sedang menjadi tren global sekarang lebih tepat disebut mobile workstyle. Para mobile worker ini bisa bekerja di tempat, waktu, dan cara yang menurutnya nyaman. Bekerja dari rumah adalah salah satu pilihan dalam mobile worksytle.

Jujur saja, gender yang paling membutuhkan dan yang palling diuntungkan oleh kebijakan fleksibilitas kerja ini adalah wanita. Survei global McKinsey & Company tahun 2012 membuktikan, di level menengah, wanita di dunia kerja berguguran hingga 40 persen. Wanita yang menjadi pucuk pimpinan, hanya 4 persen saja dari total 50 persen wanita yang masuk angkatan kerja. Salah satu yang menjadi penyebab tingginya drop off para wanita bekerja adalah mengurus keluarga.
    
Suryo mengatakan, fleksibilitas yang diberikan kantornya tidak dikhususkan bagi wanita. Akan tetapi, menurut Suryo, semua akan diuntungkan. “Hitung saja, jika seorang karyawan bisa bekerja tanpa perlu ke kantor, berapa biaya perjalanan yang dihemat. Apalagi mayoritas rumah di pinggir kota. Terbayang waktu yang terbuang untuk pulang pergi kantor. Jelas menurunan kualitas hubungan dengan keluarga,” tegas Suryo Suwignjo, President Director PT IBM Indonesia.

Ia menambahkan, jika dilihat lebih jauh, fleksibilitas itu sebetulnya juga menjadi benefit tambahan untuk menarik SDM bertalenta. Suryo mengakui, di industri IT, tingkat turn over karyawan sangat tinggi. Hal ini kerena demand yang tinggi, sementara supply terbatas. “Umum terjadi pembajakan talent. Fleksibilitas kerja itu adalah bagian dari langkah kami membuat orang betah di tempat kami,” kata Suryo.

Namun, memang, arah dari kebijakan itu sebetulnya untuk mendorong terciptanya diversity dalam perusahaan, termasuk dalam hal ini gender diversity. “Korporasi ingin memberi tempat yang lebih banyak bagi wanita. Bukan hanya di level biasa, tetapi juga di level direksi. Selama ini, masih ada disparitas besar, dari 38% karyawan wanita di IBM, jumlah yang berada di posisi manajer ke atas hanya 5%.”

Hal yang sama diakui oleh Irma Erinda, Leadership Development Manager PT Unilever Indonesia maupun Phillia Wibowo, partner McKinsey & Company. Meski tidak dikhususkan wanita, akan tetapi, skema kemudahan ini memang banyak dipilih karyawan wanita. “Ada seorang senior di kantor saya yang pernah hampir resign 2 tahun lalu. DIa lalu mengambil opsi bekerja 60 persen. Kemudahan ini membuatnya bertahan di karier, dan, sekarang ia baru saja dipromosikan sebagai partner. Ini bukti bahwa kemudahan ini bisa mempertahankan staf,” tutur Philllia.

Secara tidak langsung, menurut Phillia, jika high performing employee bisa dipertahankan, tentu akan berpengaruh dengan revenue perusahaan. “Dalam jangka panjang,  perusahaan jadi lebih sehat dan bisnis bisa berjalan lebih sustainable. Jangan sampai kita kehilangan semua orang,” tegas Phillia. 
   
Fleksibilitas ini dipercaya bisa mengejar keseimbangan jumlah pria dan wanita di perusahaan. Perusahaan yang gender balance, secara profit 10-20 persen lebih tinggi. “Dalam organisasi, perlu ada keseimbangan gender. Dengan mempertahankan wanita, profit Unilever akan lebih baik. Ini senjata yang baik untuk menjaga wanita supaya betah di sini,” kata Irma, yang mengatakan, kinerja Unilever meningkat pertumbuhannya hingga 15 %, sejak ktahun 2004.

“Yang jelas, jika karyawan happy, tingkat engagement mereka meningkat, dan perusahaan akan lebih untung. Kami punya survey rutin dan indikator yang jelas untuk mengukur tingkat kebahagiaan karyawan ini,” jelas Irma.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?