Kebutuhan agar keberadaan kita diakui memang wajar. Tetapi, menjadi gelisah jika belum menulis status di media sosial, atau merasa ‘kalah’ ketika orang lain sudah lebih dulu menonton film terbaru, itu sudah melewati ambang batas. Keinginan untuk selalu eksis tidak hanya terlihat dari posting-an yang berisi aktivitasnya dari jam ke jam, tetapi juga saat menjadi ‘pewarta’ berita.
“Sekarang ini masyarakat mau banget menjadi penyampai berita atau informasi tentang apa pun. Tentang diri kita, orang lain, objek tertentu, acara… apa saja! Dan kita bangga karena menjadi bagian dari komunitas yang paling tahu informasi terkini dan menjadi pewarta bagi banyak orang,” ungkap Nina Armando, dosen Komunikasi FISIP UI.
Yang menjadi masalah (dan kerap terjadi) adalah jika berita yang disebar itu ternyata palsu atau hoax. Orang dengan mudahnya menekan tombol ‘kirim’ tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu, hanya dengan alasan ingin menjadi orang pertama yang tahu akan isu terbaru.
Salah satu contohnya, ketika terjadi tragedi perang atau musibah kecelakaan. Dalam hitungan menit di TL berseliweran gambar-gambar korban yang tidak disensor. Proses penyebaran ‘berita’ yang tak jelas ini pun bisa berlangsung selama berhari-hari.
“Tidak sedikit yang beranggapan bahwa semua orang harus tahu, sehingga ia memiliki ‘tanggung jawab’ untuk menyebarkan berita tersebut,” ujar Nina, menyayangkan. Contoh lain, dalam sebulan terakhir, sepertinya semua orang terkena euforia pemilu. Media sosial begitu dinamis berisi beragam berita –yang sumbernya entah bisa dipercaya atau tidak– yang mengklaim capres pilihannya yang paling baik atau capres lawan melakukan kecurangan. Kampanye hitam pun menyebar dengan cepat tanpa kendali. Salah satunya karena dorongan ingin menjadi nomor satu penyebar berita terkini.
Rully Larasati