Trending Topic
Orang Kaya Baru

15 Oct 2013


Memperingati ulang tahun Jakarta yang ke-486, sebanyak 14 mal di Jakarta secara serentak menggelar grand midnight sale dengan diskon mencapai 70 persen. Aha! Kesempatan untuk berburu barang-barang bermerek mahal yang selama ini tidak terjamah! Jujur, bahkan setelah didiskon pun barang-barang bermerek mewah itu tetap saja mahal!

Namun, yang paling unik adalah pemandangan di depan kasir. Nyaris semua pemburu diskon dalam antrean panjang itu memegang kartu debit atau kartu kredit sebagai alat pembayaran. Dengan setumpuk belanjaan, kartu tipis ini menjadi penyelamat mereka. Gampang, kok, tinggal gesek saja!

Padahal, rasanya dahulu cuma orang-orang kaya saja yang berbelanja dengan ’kartu’. Proses pengajuan kepemilikan kartu kredit pun tidak semudah sekarang. Bahkan, tidak sedikit yang ditolak karena secara finansial dianggap tidak layak. Tetapi, sekarang ini orang tak perlu menduduki jabatan bos terlebih dulu untuk bisa memiliki lebih dari dua kartu kredit.

Apakah hal ini menandakan bahwa di Indonesia  makin banyak orang kaya?
Lembaga riset internasional Boston Consulting Group (BCG) mengungkap bahwa pada tahun 2012 jumlah penduduk Indonesia dengan pengeluaran rumah tangga di atas Rp5 juta/bulan mencapai 9,1 juta jiwa dan diproyeksikan meningkat ke angka 23,4 juta jiwa pada 2020. Sementara itu, lembaga riset McKinsey & Company menunjukkan bahwa saat ini ada 45 juta orang di Indonesia yang berpendapatan Rp35 juta/bulan.

Mereka ini merupakan bagian dari konsumen kelas menengah yang menurut pengamatan Bank Dunia pertumbuhannya melonjak, dari 20 persen  pada tahun 2000 menjadi 56,5 persen pada  tahun 2010. Bahkan, Bank Indonesia mengatakan bahwa pada  tahun 2012 kelas menengah ini meningkat menjadi 60 persen, atau mencapai 140 juta jiwa. Hal ini ditandai dengan naiknya tingkat pengeluaran harian penduduk Indonesia yang berada pada kisaran US$2 – US$20 (Rp19.000 - Rp20.000).

“Mereka inilah yang disebut orang kaya baru. Kalau sebelumnya hanya bisa mengagumi barang-barang mewah,  sekarang mereka mulai mampu mengonsumsi dan merasakannya sendiri. Mereka mulai membutuhkan produk dan jasa yang akan memenuhi kebutuhan mereka terhadap status sosial, aktualisasi, dan self-esteem,” ungkap Chief Executive MarkPlus Institute of Marketing (MIM), Yuswohady.

Meningkatnya daya beli masyarakat ini sekaligus menjadikan Indonesia sebagai segmen pasar yang paling besar dan menguntungkan. Kepada CNBC, Ravi Thakran, pimpinan grup luxury brands terbesar LVMH Moet Hennessy untuk Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Timur Tengah, mengatakan optimismenya  bahwa dalam beberapa waktu ke depan Indonesia akan menjadi pusat pasar barang mewah yang terbesar di Asia Tenggara.

Tidak heran jika  makin banyak kelompok perusahaan dari brand-brand mewah ini yang kemudian membuka, bahkan menambah gerai mereka di Indonesia. Begitu juga dengan beberapa department store premium yang menjual produk-produk high end, seperti Papillion Duo, dan yang baru saja dibuka, Galeries Lafayette.

Namun demikian, data-data yang membuat ‘mata hijau’ ini hendaknya tidak mengaburkan kita dari kenyataan yang sebenarnya. Dalam penelitiannya di Yogyakarta dan Padang, sosiolog asal Universitas Bonn, Jerman, Solvay Gerke, menemukan bahwa pertumbuhan kelas menengah di Indonesia lebih didasarkan pada pencitraan melalui gaya hidup daripada hal riil, seperti besar pendapatan atau nilai kekayaan.

Sepakat dengan temuan Solvay, Yuswohady menambahkan bahwa realitasnya, 70 persen dari kelas menengah di Indonesia masih berada di tingkat terendah dengan pengeluaran harian US$2 – US$4 (Rp19.000-Rp40.000). “Jadi, kelas konsumsi di Indonesia ini sebagian besar masih di middle low dan ini pun yang ada di bagian bottom, sehingga masih rawan untuk turun di bawah angka US$2 yang merupakan batas kemiskinan,” jelas Yuswohady.

Ditambah gaya belanja ’own now, pay later’ yang tidak diimbangi  pengelolaan uang yang benar, makin banyak orang yang terjebak dalam gaya hidup ’besar pasak daripada tiang’. Harusnya belum siap memakai kartu kredit, tapi memaksakan diri demi mengikuti tuntutan gaya hidup.

Kemudahan cara pembayaran membuat orang sulit merasionalisasi keputusannya dalam berbelanja. ”Antara konsumsi, keinginan konsumsi, dan daya beli sebenarnya masih timpang. Karena dipaksakan, banyak yang akhirnya bangkrut karena tidak bisa membayar tagihan,” ungkap Yuswohady, prihatin.(NAOMI JAYALAKSANA)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?