Trending Topic
New Life Style

15 Jan 2014


“Ketika berlari, saya tidak harus berbicara kepada siapa pun dan tidak harus mendengarkan siapa pun. Ini adalah bagian dari keseharian saya yang tidak bisa saya tinggalkan” –Haruki Murakami, When I Talk About When I Talk About Running.
Kutipan itu menggambarkan bagaimana olahraga lari bisa menyusup ke tiap sendi dan otak manusia, bagai zat adiktif yang membuat ketagihan. Tak heran jika sejak tiga tahun terakhir, olahraga ini menjadi  makin populer di tengah masyarakat Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Tapi, tak cukup sampai di situ, makin banyak orang yang mengikuti maraton hingga ke luar negeri. Mereka ini juga berlari karena ingin berbagi untuk sesama.

New Lifestyle

Menurut Sandiaga Uno, pengusaha dan founder komunitas Berlari untuk Berbagi (BuB), sejak tiga tahun lalu, sebagian orang sudah menjadikan olahraga lari sebagai bagian dari rutinitas dan gaya hidup mereka. Berbagai komunitas pun bermunculan, dan mereka berlari secara rutin sekali seminggu atau mengikuti lomba lari, baik di dalam kota, luar kota, bahkan luar negeri.

Berbagai alasan dan motivasi muncul di balik kebiasaan orang memulai berlari. Ada yang terinspirasi karena membaca buku atau menonton film, merasa harus mengubah haluan menjalani gaya hidup sehat, atau awalnya sekadar ikut-kutan teman. Memang, hal paling mendasar yang bisa kita dapatkan dari berlari adalah tubuh menjadi lebih bugar dan pikiran menjadi lebih fresh.

“Selain untuk kesehatan, berlari juga dapat melatih kedisiplinan diri dan konsentrasi. Selain itu, banyak yang merasa lebih happy setelah berlari karena efek hormon endorfin yang keluar pada saat kita berlari,” ungkap Sandiaga.

Komite IndoRunners dan penggagas Lari untuk Amal Sosial (LUAS), Holip Soekawan, berpendapat serupa. Banyak orang yang mengadopsi berlari sebagai gaya hidup dan menjadikannya sebagai ‘identitas diri’. Kalangan inilah yang akan merasa ada suatu yang kurang dalam hidup mereka tanpa berlari. “Harapannya,  makin banyaknya orang yang berlari akan mendorong terjadinya multiplier effect dalam peningkatan kesehatan masyarakat secara makro. Tentu ini akan menguntungkan semua pihak,” ujar Holip.

Walaupun dikategorikan sebagai olahraga murah, sejumlah pengusaha, dan para eksekutif muda menggandrungi olahraga ini. Pada olahraga inilah mereka merasakan suatu hal yang menantang. Saat mereka sudah mencapai posisi mapan dalam karier hingga tidak memerlukan terlalu banyak tenaga lagi untuk berjuang, maka berlari jadi salah satu pilihan mereka untuk mencari tantangan baru.

Misalnya, saat mereka ikut lomba lari maraton (42.195 km) atau bahkan ultra marathon (jarak minimal 50 km). Ketika berlari jarak jauh, kita tidak hanya melatih fisik semata, tapi juga melatih mental. “Lari jarak jauh menguji mental, apakah kita akan menyerah terhadap keadaan dan berhenti, ataukah kita akan tetap terus berjuang berlari mencapai garis finish sesuai dengan komitmen yang telah dibuat sejak awal. Ini melatih kita agar tidak mudah putus asa,” jelas Sandiaga.

Bagi pria ini, lari memiliki filosofi yang sangat erat dengan dunia bisnis, yakni speed dan endurance. Untuk speed atau kecepatan, pebisnis tidak boleh lambat karena berisiko didahului orang lain. Begitu juga untuk endurance atau daya tahan. Bisnis juga memerlukan daya tahan agar dapat sustainable. “Ketika saya berlari, saya sering mendapat ide-ide baru yang dapat saya tuangkan ke pekerjaan saya,” jelas pendiri PT Saratoga Investama Sedaya ini. 

Seseorang yang telah memulai berlari akan kesulitan untuk berhenti. Biasanya, muncul keinginan untuk menaklukkan jarak yang lebih jauh. Agar target bisa tercapai, diperlukan kedisiplinan tinggi, ketekunan, kesabaran, dan kerja keras untuk berlatih secara rutin dan fokus pada tujuan. Menurut Holip, sebelum mengikuti sebuah maraton, kita perlu  berlatih selama 4 bulan dengan berlari minimal 50 km per minggu.  Nah, sikap fokus pada target dan disiplin berlatih tersebut bisa diterapkan dalam bidang lain di kehidupan sehari- hari.

Ambisi yang muncul ketika seseorang mulai gemar berlari tidak terbatas pada peningkatan jarak tempuh saja, tapi juga mencari medan berlari yang menantang dan tidak biasa, seperti di alam bebas atau bahkan di luar negeri dengan atmosfer yang berbeda. Tak sedikit orang-orang yang rela mengeluarkan uang lebih untuk pergi ke luar kota  tiap minggu untuk mencari trek lari di alam bebas atau pergi ke luar negeri untuk mengikuti berbagai lomba maraton di sana. “Sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tentu jadi tidak menantang dan membosankan. Inilah yang memotivasi para penggemar olahraga lari untuk mencari medan berlari baru,” jelas Holip.
(DESIYUSMAN MENDROFA)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?