Trending Topic
Money politic? No!

3 Apr 2014


Di lapangan, untuk berkampanye, tentu mereka membutuhkan dana yang tidak sedikit. Modal besar pun belum bisa menjadi jaminan untuk menang. Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (Sara), 28, bintang film dan presenter yang menjadi caleg dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra) mengatakan, jika caleg tidak kuat secara idealisme dan finansial, guncangan yang diterima pasti sangat kuat.

Hingga kini, menurut Sara, dari 84 caleg DPR RI yang berasal dari 12 partai di dapilnya, hanya ia yang memilih non money politic. “Saya lebih baik kalah daripada menang karena bagi-bagi amplop. Menggadaikan suara dengan amplop berarti membodohi rakyat dan mengkhianati masa depan bangsa. Karena itu, satu-satunya strategi saya adalah pendidikan politik,” ungkap Sara, yang maju mewakili dapil Jawa Tengah IV, dan bernomor urut 2, berapi-api.
   
Memang, modal pengetahuan dan pengalaman boleh saja. Namun, tak bisa terelakkan, tantangan terbesar bagi caleg adalah uang sebagai modal politik, seperti untuk kampanye dan menjangkau pemilih. Ada situasi di mana wanita caleg harus kalah berhadapan dengan money politic yang banyak dilakukan pria caleg.
   
“Meski saya sudah mulai melakukan sosialisasi ke daerah pemilihan sejak pertengahan tahun lalu, dana yang saya keluarkan tidak banyak. Belum sampai Rp100 juta,” tutur Ridha. Jumlah tersebut sudah termasuk biaya pengadaan atribut, seperti kalender, stiker, kartu nama, juga biaya transportasi dan konsumsi saat berkunjung ke rumah warga.
   
Dana sosialisasi yang ia pergunakan sejauh ini juga berasal dari dana pribadi, dengan dukungan donasi dari kolega dan kerabat dekatnya. “Setahu saya, tidak ada dukungan finansial yang disediakan partai. Tetapi, kami boleh menggalang dana, karena itu juga sudah diatur dalam undang-undang. Cara saya menggalang dana masih bersifat kekeluargaan, pada pihak-pihak yang memang sudah dikenal dekat dan mau diajak berjuang bersama,” ungkap Ridha.
   
Soal dana, Joice Triatman (33), finalis Wajah Femina 2003 yang mewakili dapil Jawa Tengah I, dengan nomor urut 3, dari Partai Nasiona Demokrat (Nasdem), punya cara sendiri.   Menurutnya, dana kampanyenya bersumber dari partai dan dana pribadi. Partai menyumbang sekitar 70% dan sisanya adalah pengeluaran pribadi yang sudah ia anggarkan secara khusus.

Joice tidak melakukan upaya penggalangan dana. “Saat hendak mencalonkan diri, saya membicarakan kondisi finansial saya apa adanya, bahwa saya tidak mungkin maju dengan dana sendiri 100%. Saya bersyukur, partai memahami kondisi saya dan bersedia memberikan dukungan,” ujarnya, tersenyum.
   
Uang jelas penting. Tapi,  tiap caleg masih punya beragam tantangan lain yang mesti ditaklukkan. Misalnya, ia harus memiliki pemahaman tentang politik, baik parpol, sistem pemerintahan, fungsi kedewanan, serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Plus, siap soal manajemen waktu, karena politik adalah pekerjaan full time 24/7. Sementara, wanita memiliki keterbatasan waktu, terutama ketika harus mengurus keluarga dan bekerja di kantor ataupun bisnisnya.
   
Menurut Adinda, seorang wanita caleg juga harus tahu posisinya di parpol, apakah ia dalam posisi strategis dan masuk dalam nomor urut yang aman? “Belum lagi, jika para petinggi di parpolnya masih belum peka gender dan tidak menganggap penting keberadaan wanita di parpol dan parlemen dalam proses pembuatan kebijakan,” tambahnya.    
   
Tantangan lain adalah soal konstituennya. Sebagai orang yang dipercaya rakyat untuk mewakili mereka di parlemen, apakah para wanita ini mengetahui masalah yang dihadapi para pemilihnya itu? Jangan-jangan mereka hanya menerima saja saat ditentukan dapilnya oleh partai.
 
“Tentu saja saya mengetahui masalah-masalah apa yang dihadapi oleh konstituen saya, yaitu masalah ekonomi dan banjir. Dalam hal ini, Partai Hanura berkomitmen untuk memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat. Sedangkan untuk masalah banjir, tentu Hanura harus bersinergi dengan banyak lembaga dalam mengatasinya,” ungkap Soni.
Selain membawa masalah konstituennya, sebagai sarjana hukum, agenda Soni yang lain adalah memperjuangkan hukum di Indonesia agar lebih berpihak pada wanita. “Dengan berpihaknya hukum, maka harkat dan martabat wanita akan terangkat dan tetap terjaga,” tegasnya.
   
Liliek Nurlinda Diyani dari Golkar juga mengaku mengetahui masalah konstituen di dapilnya. “Aksi premanisme, pelayanan kesehatan yang kurang maksimal, serta kurang bervariasinya obat-obat gratis yang disediakan puskesmas. Mereka juga mengalami kendala dalam pembayaran premi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Lalu ada pula masalah keterlambatan honor para guru yang mengakibatkan terganggunya proses belajar-mengajar di beberapa sekolah, serta masalah kesenjangan sosial antarwarga,” jelasnya.  
   
Bagaimana dengan Kanti W. Janis? “Karena benar-benar turun ke lapangan, saya cukup tahu kondisi konstituen saya. Tahu saya seorang pengacara, banyak warga yang meminta bantuan konsultasi hukum tentang isu-isu khas perkotaan, misalnya ancaman penggusuran. Ada juga yang mengeluh karena harus membayar sejumlah uang untuk membuat KTP,” cerita Kanti.
   
Sedangkan Sisca Devianti dengan jujur mengaku kurang mengetahui di mana saja kantong basis suara partai untuk dapilnya. Tapi, ia menduga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, merupakan salah satu wilayah basis kantong suara PBB. “Sedangkan untuk wilayah Jakarta Pusat, saya kurang paham petanya, dan di luar negeri, kemungkinan adalah Malaysia,” katanya.

Lawan Sisca di dapil DKI II bukanlah main-main. Dari Hidayat Nur Wahid (PKS), Bondan Winarno (Partai Gerindra), hingga Okky Asokawati (PPP). “Namun, jika sudah jalannya, melihat pemilih yang bisa berubah-ubah dalam memilih partai, dan  tiap partai mengalami pasang surut, saya tetap optimistis mampu bersaingan dengan caleg lain,” ujar Sisca, yang mengatakan, diperlukan kurang lebih 200.000 suara untuk mendapatkan jatah kursi di DPR.
   
Kepercayaan yang sudah diberikan oleh konstituen sepatutnya dijaga selama anggota parlemen bertugas. Tak hanya saat berkampanye, seorang caleg harus rajin mendatangi dan memperjuangkan aspirasi konstituennya. “Sebagai wakil rakyat, mereka harus selalu mempresentasikan kepentingan konstituennya di parlemen. Banyak cara yang bisa dilakukan anggota DPR untuk selalu berhubungan dengan masyarakat di dapilnya setelah ia terpilih,” kata Ani Soetjipto, pengamat politik dan dosen FISIP UI.

Ficky Yusrini


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?