Trending Topic
Meraih Masa Depan

20 May 2013

Kehadiran buah hati dalam sebuah keluarga tentu amat didambakan. Namun,  bagaimana jika anak yang dilahirkan kemudian memiliki kondisi tertentu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya? Berdasarkan hasil survei Sosial Ekonomi Nasional 2009, ada sekitar 0,55 persen anak atau dua juta  anak, berusia 0 – 17 tahun,  penyandang disabilitas, baik fisik maupun mental, di Indonesia.
Menurut survei itu, autisme, tunarungu, dan tunagrahita (down syndrome) termasuk dalam kategori disabilitas. Biarlah angka itu jadi pengingat bahwa cukup banyak anak yang punya kebutuhan berbeda, namun perbedaan itu sewajarnya tidak akan membuat mereka kehilangan masa depan yang cerah.

Moechiam Herniwatty tak bisa mengungkapkan rasa bahagianya dengan kata-kata. ”Rasanya campur aduk. Senang, bangga, sekaligus takut menghadapi euforia,” katanya, dengan suara bergetar. Anandanya tercinta, Natrio Catra Yososha (23) atau Osha, baru saja dinyatakan lulus sidang sarjana arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada, dengan IPK (indeks prestasi kumulatif) di atas 3. Air mata bahagia  menitik di pipinya.
          
Moechiam tahu, untuk lulus, banyak yang harus dilalui Osha. Ia harus melawan kekurangannya dalam motorik. Tulisan Osha bisa dikatakan cukup buruk dan ia sulit menulis cepat.  “Di kelas, ia sering kesulitan mencatat bahan dari dosennya. Karena itu, saya memberi Osha alat perekam, sehingga saat di kelas, Osha bisa merekam kata-kata dosennya dan sepulang kuliah ia bisa mencatatnya,” kenang Moechiam.

Bagi Moechiam, ini bukti keteguhan hatinya tidak berhenti memperjuangkan masa depan Osha, yang  sejak kelas dua SD (usia 8) didiagnosis menyandang ASD (autistic spectrum disorder), yaitu gangguan neurobiologis otak yang memengaruhi proses perkembangan anak.

Saat dokter menyarankannya membekali Osha dengan kemampuan yang dapat menjadi tumpuan masa depannya, Moechiam membantu Osha mencoba berbagai hal untuk mencari bakatnya. ”Saya mencarinya di bidang apa pun, mulai dari renang, les musik, hingga seni lukis. Ternyata, Osha berbakat bermain piano dan biola,” ujar Moechiam,  yang menulis pengalamannya ini dalam buku Tumbuh di Tengah Badai.
   
Namun, tak hanya itu. Osha menyandang autis jenis asperger yang biasanya terobsesi kuat pada suatu subjek tertentu, dan mengetahui detail subjek itu. Kebanyakan, penderita autisme jenis ini memiliki daya ingat yang kuat. Seperti Osha, sejak kecil ia terobsesi pada masjid. Di bangku sekolah, ia mulai tertarik pada ilmu sejarah,  terutama pada museum, arca, dan candi. Tak heran akhirnya ia memilih mempelajari arkeologi. “Setelah lulus saya mau kursus bahasa Inggris untuk menambah soft skill. Ini modal saya nanti. Selajutnya saya ingin melanjutkan sekolah S-2. Tapi, lihat kondisi nanti juga. Apakah saya akan bekerja atau membuka lapangan kerja,” ujar Osha, tentang rencana masa depannya.
           
Rasa bahagia dan lega luar biasa juga dirasakan Maria Yustina. Putrinya, Stephanie Handojo (21) atau Fani, yang menyandang down syndrome, tahun lalu lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan Industri Pariwisata (SMIP) Kasih Ananda, Jurusan Perhotelan. Kini, Fani sedang belajar berwirausaha. Bahkan, Maria sudah menyiapkan sebuah usaha laundry di daerah Kelapa Gading untuk masa depan Fani. “Saya dan suami pikir, setelah lulus, Fani tak akan mudah mendapatkan pekerjaan. Belum tentu perusahaan mau menerima dia. Karena itu, kami membukakan lapangan kerja untuknya,” ucap Maria, tersenyum.

Down syndrome adalah bentuk kelainan kromosom yang mengakibatkan gangguan perkembangan anak. Namun, tak berarti penyandang down syndrome tak bisa berprestasi. Berbagai lomba renang sudah Fani menangkan. Bahkan, Fani berhasil menjadi Juara 1 Special Olympics World Summer Games Athena 2011 untuk gaya dada 50 m. Tak hanya itu, jemarinya juga menorehkan catatan emas. Fani yang belajar piano sejak kecil, yang tujuannya menstimulasi otak kiri, pada 21 Desember 2009 berhasil memecahkan rekor MURI kategori anak down syndrome yang mampu memainkan 22 lagu dengan piano.

Osha dan Fani bisa jadi bukti. Autisme dan down syndrome memang memengaruhi otak penyandangnya, namun bukan berarti mereka kehilangan masa depan dan tidak bisa mandiri. Menurut Dr. dr. Tjhin Wiguna, spesialis kesehatan jiwa dari Klinik Empati Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, kemandirian seorang anak tergantung pada faktor intelektual masing-masing. Pada penyandang autistik, misalnya, kemampuan intelektualnya sebetulnya beragam, seperti anak-anak lain. Tinggal bagaimana memaksimalkan perkembangan masing-masing anak sesuai dengan IQ-nya.
   
Kesempatan untuk terus berkembang juga berlaku pada anak dengan kemampuan fisik berbeda. Seperti  Shafa (21), putri dari Khoriyatul Jannah (44). Shafa yang tidak dapat mendengar, tetap bisa belajar  di sekolah biasa. Kini, ia duduk di semester enam di universitas di Bandung.     
   
Dalam blog-nya, Shafa yang ber-IQ 125 bercerita tentang cita-citanya yang beragam. Terlepas dari kuliah yang ia jalani, ia ingin menjadi terapis. “Karena kebetulan aku tunarungu yang sudah bisa bicara, aku ingin bisa mengajarkan penyandang tunarungu untuk bicara. Supaya mereka dan orang tuanya yakin bahwa anak tunarungu bisa bicara,” tulisnya.

Begitu juga dengan Edyth Revanatha (30), yang hingga kini terus berusaha menunjukkan pada ibunya, Sri Retno (54), bahwa meski image keputusannya menjadi transgender sering dipandang miring, ia tidak pernah melakukan hal negatif dengan keputusannya itu dan justru menunjukkan prestasi. “Saya kerja halal, Bu. Ikut lomba menyanyi, menari, dan lain-lain. Saya bukan mencuri,” jelasnya, kepada sang ibu. Sebagai ibu, Sri hanya berpesan, “Kamu boleh mencari nafkah dengan cara menjadi transgender. Namun, kamu harus selalu ingat, jangan pernah melakukan tindak kriminal, menjual diri, dan operasi. Lakukan hal positif sesuai bakatmu."

Vera Itabiliana Hadiwidjojo, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan UI Salemba, Klinik Rumah Hati Cilandak dan Klinik RMC Depok, mengatakan, ”Memang, potensi anak harus terus digali agar dapat dikembangkan untuk bekal hidupnya kelak. Yang paling mendasar, anak juga tetap harus dilatih mengurus dirinya semaksimal mungkin yang dia bisa.”  Untuk itu, orang tua perlu bekerja sama dengan pihak-pihak lain, seperti sekolah atau tempat kursus.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?