Sayangnya, beberapa penulisan berita yang membeberkan peristiwa pelecehan atau kekerasan seksual tidak hanya membuat para korban lemah di mata hukum, tapi juga bersifat menghakimi. Misalnya, penulisan berita yang seringkali menyorot jenis pakaian yang dikenakan oleh korban. Pemberitaan seperti ini berpotensi misleading, mengubah fokus dari wanita yang menjadi korban, menjadi wanita sebagai sumber kejahatan.
“Tindak kekerasan/pelecehan seksual terjadi bukan karena pakaian yang dikenakan oleh korban atau bagaimana karakter wanita tersebut,” ungkap Gisella Tani Pratiwi, M. Psi, Psi., Koordinator Klinik Pulih, sebuah yayasan yang memberikan layanan psikologis bagi korban kekerasan domestik, seksual, dan kekerasan yang terjadi dalam komunitas.
“Di Aceh pun, wanita yang mengenakan baju muslim tertutup banyak yang menjadi korban perkosaan. Kalau yang dimasalahkan adalah perilaku si perempuan yang dinilai menggoda atau kegenitan, maka tidak akan ada korban kekerasan seksual yang masih anak-anak. Sebab, anak-anak tidak punya intensi seksual, apalagi mereka yang masih di bawah umur, atau balita,” papar Gisella, mematahkan stigmatisasi yang selama ini sering menimpa korban perkosaan, pencabulan, atau pelecehan seksual.
Masalahnya, kita masih tinggal dalam budaya di mana wanita selalu menjadi pihak pertama yang akan dikritisi saat menjadi korban tindak kekerasan/pelecehan seksual. Menurut Gisella, kondisi ini merupakan tuaian dari nilai-nilai budaya patriarki yang telah lama mengakar. Salah satunya, anggapan bahwa memiliki anak perempuan itu lebih susah daripada anak laki-laki. Sebab, perempuanlah yang hamil. Sehingga perempuan harus lebih menjaga diri daripada laki-laki.
“Padahal, hal ini melibatkan keduabelah pihak. Sehingga, baik wanita maupun pria harus saling bisa menempatkan diri, saling bertanggung jawab dan menghormati. Dengan membangun sikap seperti ini, tidak akan terjadi lagi berbagai kekerasan, terutama kekerasan seksual. Tetapi, ketika orang hanya melihat secara parsial, dengan mengatribusikan wanita sebagai pemicu, maka permasalahan ini tidak akan menemui solusi,” ungkap Gisella.
Gisela menambahkan, media massa, dalam hal ini dapat membantu mengubah kesalahan konsepsi tentang viktimisasi wanita dalam kasus kekerasan/pelecehan seksual di tengah masyarakat. “Insan media harus memiliki kepedulian terhadap isu kesetaraan gender, termasuk empati yang baik terhadap kasus. Sehingga pemberitaan yang ditulis berimbang dan tidak menghakimi,” ujar Gisella.
Naomi Jayalaksana
Foto: Corbis.