Trending Topic
Mengajak Jangan Memaksa

8 Feb 2014


Pada awalnya, penyebaran suatu tren gaya hidup terjadi secara alamiah, mengalir begitu saja. Begitu ada komunitas atau influencer individu, muncullah motor penggerak yang menyebarkannya secara lebih intensif. “Salah satu karakter komunitas di Indonesia, anggotanya cenderung memasrahkan jalannya komunitas tersebut kepada orang yang menjadi penggerak komunitas itu. Orang ini akhirnya punya kuasa yang besar di internal. Orang-orang seperti ini memang harus berperilaku militan demi kelangsungan komunitasnya,” jelas Qaris Tadjudin, jurnalis dan pengamat gaya hidup.

Namun, Roby mengingatkan, ketika kita bicara mengenai memengaruhi atau menyebarkan gaya hidup, kita bicara mengenai bentuk interaksi manusia atau interaksi sosial. Orang yang ingin menjadi influencer perlu memahami kedekatan interaksi dirinya dengan orang yang sedang ia coba pengaruhi. Karena, cara berkomunikasi dan takaran fanatisme yang perlu ditampilkan pun akan berbeda. Teman yang dekat biasanya memiliki kepercayaan yang lebih tinggi, tapi belum tentu demikian dengan teman yang hubungannya biasa saja.

Cara orang memengaruhi orang lain tergantung pada social skill orang tersebut. Ini bukanlah hal yang diajarkan ketika kita bergabung dengan suatu komunitas. Atau hal yang panduannya diajarkan di sekolah maupun universitas tempat kita menuntut ilmu dulu. Ini adalah hal yang kita pelajari dari pengalaman kita berinteraksi dengan manusia lain sepanjang hidup kita.

Dosen psikologi dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adriana Ginanjar, MPsi, juga memaparkan, ketika kita ingin menjadi influencer, ada hal-hal terkait psikologi persuasif yang perlu kita pahami. “Kenali dulu siapa yang kita ajak berbicara. Berkomunikasilah dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang berkaitan dengan preferensi atau ciri-ciri kepribadiannya. Pahami bahwa ada hal-hal yang mendasari pengambilan keputusan seseorang, dan  tiap orang memiliki pertimbangan yang berbeda-beda,” cetusnya, bijak.

Sayangnya, ketika seseorang sudah fanatik terhadap suatu hal, dia menjadi sangat mengganggu karena menganggap  pilihannya itu adalah yang paling bagus, tidak ada cacatnya, dan pilihan orang lain kurang bagus. Padahal, salah satu faktor penguasaan atas psikologi persuasif juga meliputi tahu kapan kita harus berhenti ‘membujuk’. “Jika orang yang kita persuasi sudah menolak ide kita dengan memberikan alasan yang jelas, berhentilah untuk memaksanya menerima ide kita itu,” kritik Adriana.

Salah satu kelemahan orang Indonesia adalah tidak enak hati untuk menolak. Padahal, jika kita dihadapkan pada kondisi seperti ini, sebagai pihak yang sedang dipengaruhi, kita perlu menyatakan penolakan dengan tegas. Katakan dengan jelas bahwa Anda tidak sepaham dengan orang itu dan kemukakan juga alasannya.

Adriana menyarankan, sudah saatnya kita berani bicara, “Ini bukan pilihan saya karena tidak semua orang mampu berempati terhadap pilihan kita. Baik influencer maupun orang yang dipengaruhi perlu bersikap asertif, bukan agresif,” jelasnya. Lagi pula, gaya hidup atau pilihan itu bukan sesuatu yang dipaksakan, tapi free will seseorang. Memang, perbedaan persepsi antara influencer dengan orang lain acap kali muncul. Empati adalah kunci dalam menjembatani perbedaan persepsi tersebut.(EKA JANUWATI)
 
Boks



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?