Trending Topic
Mencari Tempat Aman Bagi Anak

25 Jul 2014

Banyak orang tua yang mungkin menganggap bahwa anaknya sudah berada di tempat paling aman dan tak mungkin dijangkau oleh para pelaku. Padahal, kasus-kasus kekerasan terhadap anak justru terjadi di area yang dianggap aman tersebut, misalnya di sekolah, rumah, atau tempat bermain.
Pelakunya pun orang dekat atau dikenal korban, seperti guru, orang tua, kerabat, atau pengasuh.

“Terus terang, kalau mengenali pelaku dalam arti yang sesungguhnya itu sulit, karena mereka akan membaur dengan orang biasa. Tak ada yang aneh dengan mereka,” jelas psikolog forensik atau profiler Komisaris Besar Polisi Drs. Arif Nurcahyo, MA, yang juga Asesor SDM POLRI, prihatin.

Celakanya, kejadian kekerasan ini bisa tidak terdeteksi dalam jangka waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena belum menyadari bahayanya, emosi anak-anak yang masih campur aduk, antara sakit, takut, dan malu, sehingga membuat mereka memilih untuk diam. “Hal ini juga disebabkan karena pelakunya bisa dibilang adalah orang-orang yang memiliki otoritas atau kekuatan terhadap anak-anak tersebut. Jadi mereka tidak berani bicara,” tutur Arif.   

pendiri Yayasan Pulih Dr. Kristi Purwandari, M.Hum, yang biasa menjadi pendamping anak-anak korban kekerasan mengatakan, ada beberapa alasan mengapa anak memilih aksi diam. “Pertama, bisa jadi karena relasi dengan orang tuanya tidak bagus, jadi ia takut jika cerita malah dianggap anak bandel,” jelas Kristi.

Misalnya si anak baru melihat atau mengalami sesuatu dan ada hal-hal yang ia ingin tahu. Namun, karena selama ini masalah seks dianggap tabu di rumahnya, maka anak enggan bertanya. Atau, ia ngeri bila bercerita akan membuat orang tuanya khawatir atau justru akan marah.

Tapi, yang paling sering terjadi adalah diamnya para korban itu karena adanya ancaman dari pelaku. “Seorang anak usia 10 tahun ke bawah masih menyukai hal-hal yang berbau fantasi. Jadi, ancaman pelaku yang tak mungkin, misalnya kalau ia bicara ibunya akan mati, akan ia percayai,” jelas Kristi.

Untuk anak yang lebih besar, ancamannya biasanya lebih realistis. Misalnya, akan dibunuh jika bicara, atau malah malu karena pasti dianggap berbohong. Dapat dimaklumi, sih, siapa yang memercayai ucapan seorang anak yang mengatakan bahwa ia dikasari oleh gurunya atau teman ayahnya?

Selain ancaman, korban juga bisa diiming-imingi sesuatu, yang sebenarnya menjadi proses antar-relasi yang tidak setara. Anak diberi kepercayaan, kehormatan, tapi dengan catatan ia harus merahasiakannya. “Ini hanya antara kita saja, ya.” Kata-kata ini menjadi sebuah janji, yang diapresiasi anak dengan memilih diam dan menyimpan ‘rahasia’ itu.

Namun sebenarnya, menurut Arif, jika peka, orang-orang terdekat yang memahami anak itu akan selalu bisa melihat perubahan perilaku si anak. Karena, di dalam emosi yang diaduk-aduk itu -antara malu, takut, dan senang- rasa takut sebetulnya yang lebih banyak muncul, sehingga mereka menarik diri.

Mungkin si anak yang biasanya lincah dan banyak bicara, akan menjadi lebih pendiam dan mengalami perubahan-perubahan kecil, yang mungkin kalau tidak segera disadari akan dianggap biasa-biasa saja. Tahu-tahu, kekerasan yang menimpanya sudah berlangsung jauh.

Anak-anak juga belum bisa mengelola reaksi emosinya ataupun memiliki kesadaran untuk memilah-milah, mana baik-buruk dan apa yang membahayakan. “Karena itu, anak masih belum bisa membedakan antara rasio, logika yang tampak, dan alam bawah sadar.  Sehingga, ketika kekerasan itu terjadi, ia hanya menganalogikan,” jelas Arif.   

Yang dimaksud Arif, secara psikologis, hal ini bisa dipahami sebagai rasionalisasi. Misalnya, si anak mengalami kejadian traumatis yang membuat sosok laki-laki dewasa menjadi menakutkan baginya. Ia kemudian jadi takut pada ayahnya yang kebetulan berkumis seperti pelaku. Pada saat itu seharusnya ayahnya bisa peka, kenapa anaknya tiba-tiba tidak mau ia peluk, misalnya.

Substansinya adalah dia tidak mau dipegang pria, tapi dia tidak bisa menolak. Mungkin bisa saja karena status pelaku adalah guru renangnya. Dari sisi pelaku juga punya alibi, alasan pembenaran, karena memberi kursus renang pasti muridnya harus dipegang. Hanya si anak yang bisa merasakan bahwa sentuhan si guru renang itu sudah tidak biasa, tetapi dia tidak bisa membahasakannya.

Karena itu, meski si anak tahu bahwa yang memeluknya itu ayahnya sendiri,   reaksi yang muncul adalah reaksi ketakutan seperti ketika ia dipegang oleh guru renangnya. Itu yang disebut reaksi alam bawah sadar si anak yang seharusnya bisa membuat orang tuanya peka.
“Karena itulah, agar anak-anak berani bicara, saya setuju adanya pendidikan seks sejak dini. Karena sudah banyak kasus yang terjadi akibat tidak adanya pendidikan seks,” sesal  Arif.

Arif menambahkan, kasus kejahatan seperti ini adalah suatu peristiwa yang menimpa seorang anak, yang mungkin hanya terjadi satu kali, tapi akibatnya akan dirasakan seumur hidup. Ruang-ruang paling pribadi telah dijajah dan tak ada yang bisa dilakukan anak untuk mencegahnya terjadi.

Ketika seseorang menerima sesuatu dan ia tidak tahu harus melakukan apa, yang berlaku hanya hukum emosi dasar. Emosi dasar seseorang itu cuma sedih, gembira, marah, takut. Kalau responsnya gembira, maka ia membagikan kegembiraan itu. Kalau responsnya marah, ia akan mengekspresikan kemarahannya dengan membagikan pengalaman yang pernah dideritanya. Ini akan tersimpan dalam alam bawah sadarnya.

Kristi menambahkan, korban akan mempelajari apa yang telah ia terima, apalagi ia telah terpapar seks terlalu dini dengan cara yang salah. Hal ini akan bisa dilakukannya lagi. “Jika pria, ia bisa menjadi pelaku, dan kalau wanita ini bisa dijadikan alat untuk mendapatkan sesuatu,” jelasnya.

Bagaimana pelaku memilih korbannya, ini sudah masuk dalam hukum kriminal, ketika niat bertemu dengan kesempatan sehingga menghasilkan kriminalitas.  “Artinya, yang berpotensi melakukan adalah yang memiliki intensitas pertemuan kuat terhadap lingkungan anak-anak, misalnya pengasuh anak atau guru,” ungkap Arif.

Pengasuh anak tidak akan melakukan apa-apa kalau semangatnya untuk mengabdi. Lain halnya ketika dia terinspirasi dari gadget atau semacamnya, tertular, dan menjadi copy cat atas apa yang ia ketahui.  Tidak hanya dari gadget, tapi juga dari berita-berita yang dimuat di media massa. Kalau tidak hati-hati menuliskannya dan tidak diakhiri dengan baik, meski niatnya mendidik dan menginformasikan, informasi ini justru akan menginspirasi terjadinya kejahatan yang lain.

“Sayangnya, meski dampak buruk yang dihasilkannya begitu dahsyat, dalam Undang-Undang Kejahatan Anak, hukuman bagi pelaku masih maksimal 15 tahun. Ini jelas tidak cukup. Bagi korban, kejadian sekali itu telah meruntuhkan masa depannya, menghilangkan rasa percaya dirinya, merampas mimpi-mimpinya,” ujar Arif, menyesalkan.


Argarini Devi
Foto: Corbis



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?