Trending Topic
Membahayakan Nyawa

26 Oct 2013


Dokter dan pakar fertilitas, dr. Nayna Patel, adalah yang pertama kali meletakkan India dalam ‘radar’ dunia fertilitas medis. Tahun 2003, ia mencari wanita lokal yang bersedia ‘meminjamkan’ rahim untuk putrinya yang tinggal di Inggris dan tidak bisa hamil secara alami.

Begitu menemukan seorang ibu pengganti, dr. Patel mendapatkan cucu kembar dan langsung menjadi headline berita dunia. Sejak itu, permintaan untuk surrogacy pun berdatangan ke klinik kecilnya, Akanksha, di Desa Anand, Gujarat. Dalam waktu 3 tahun saja, klinik tersebut melahirkan lebih dari 50 bayi melalui 45 ibu pengganti.

Sepuluh tahun berlalu sejak berita klinik kecil dari Anand itu mendunia, klinik-klinik assisted reproductive technology (ART) atau teknologi reproduksi bantuan serupa pun bermunculan. Biaya prosedur surrogacy pun sudah berlipat menjadi sekitar Rp280 juta, sementara  upah yang didapatkan ibu pengganti tidak naik secara signifikan. Walau begitu, jumlah wanita India yang mendaftar sebagai ibu pengganti tidak surut. Kebanyakan datang dari kelas ekonomi yang paling bawah. Para wanita ini melihat surrogacy sebagai jalan yang paling cepat untuk mendapatkan uang banyak.

Dalam perkembangan industri ini, pemerintah India secara perlahan menetapkan berbagai kebijakan yang ditujukan untuk melindungi para ibu pengganti. Antara lain, yang boleh melakukan prosedur surrogacy hanya klinik-klinik yang diakui oleh Indian Council of Medical Research.

Sayangnya, dengan banyaknya korupsi dan kolusi yang menjangkiti India, aturan ini sulit  diterapkan secara menyeluruh. Banyak klinik kecil dan ilegal yang melakukan prosedur ini tanpa mengikuti aturan dan panduan yang sudah ditentukan, sehingga membahayakan nyawa ibu pengganti dan bayi yang dikandungnya.

Menurut situs National Review (21/07/13), beberapa studi yang dilakukan di daerah-daerah terpencil India menemukan bahwa wanita yang direkrut sebagai ibu pengganti kebanyakan buta huruf dan tidak memiliki latar belakang pendidikan.  Mereka tidak bisa membaca kontrak dan tidak memahami prosedur medis yang biasanya dijelaskan dalam jargon-jargon rumit. Tak jarang, klinik dan agen-agen perantara mengambil sebagian besar uang yang dibayar calon orang tua, meninggalkan ibu pengganti dengan uang imbalan yang sama sekali tidak setimpal dengan pengorbanan mereka.

Tahun lalu, Kishwar Desai, penulis buku Origins of Love tentang surrogacy dan bayi tabung di India, menulis tentang Premila Vaghela. Ia adalah seorang ibu pengganti di Ahmedabad. Karena terkena serangan jantung, Premila terpaksa melahirkan si bayi secara prematur, tepat sebulan sebelum jadwal operasi caesar yang disesuaikan dengan kedatangan orang tua biologis sang bayi dari Amerika. Sang bayi terlahir sehat dan dibawa pulang oleh orang tuanya, sementara Premila harus kehilangan nyawanya.

Menurut Kishwar, keputusasaan hidup membuat banyak wanita rela meminjamkan rahimnya selama 9 bulan dan melewati prosedur medis yang rumit. Tapi, tak sedikit yang mengambil jalan ini tanpa mengetahui risikonya. Kebanyakan ibu pengganti menyetujui kontrak yang menyebutkan bahwa apabila mengalami komplikasi serius atau penyakit yang mengancam nyawa, mereka bersedia untuk memakai alat bantuan hidup untuk menjaga kelangsungan hidup sang jabang bayi.

Selain itu, mereka juga harus mengerti segala risiko finansial, medis, dan psikologis dari prosedur ini, sehingga tidak memberatkan orang tua biologis bayi, dokter, pengacara, dan orang lain yang terlibat dalam prosedur tersebut. Semua kontrak dan prosedur dirancang untuk satu produk akhir saja, yaitu sang bayi. “Di negara dengan ribuan kematian ibu dalam kelahiran normal tiap tahunnya, siapa yang peduli pada penderitaan dan kematian satu ibu pengganti?” ungkap Kishwar, sedih.(PSS)
    



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?