Trending Topic
Masyarakat Komunal

11 Nov 2014


Menikah di Indonesia sama saja menikah dengan seluruh keluarga besarnya, hal ini dipercaya banyak orang. Menurut sosiolog yang banyak mengkaji masalah keluarga, Dr. Erna Karim, M.Si, hal tersebut terjadi karena dilatarbelakangi oleh faktor budaya Timur yang kental akan nilai kekeluargaan. Orang Jawa punya istilah sendiri: ‘mangan ora mangan, sing penting kumpul’ (makan tidak makan, yang penting kumpul), yang maknanya susah senang ditanggung bersama dan mengutamakan kesatuan keluarga.        
“Di negara-negara Asia Tenggara dengan sumber daya alam dan manusia yang melimpah, seperti Indonesia, Thailand, atau Filipina, masyarakatnya cenderung komunal. Sehingga, kesatuan keluarga sangatlah penting maknanya,” kata Erna. 

Budaya kita juga membuat orang tua masih banyak dilibatkan dalam pernikahan anaknya, karena anak dianggap sebagai ‘aset’ yang menjadi status simbol dan kebanggaan orang tua. Dalam masyarakat Batak misalnya, begitu menikah, menantu perempuan langsung diboyong ke rumah orang tua pria. Sebaliknya, adat Minang mewajibkan menantu pria untuk mengikuti istrinya pindah ke rumah orang tua si istri. “Sedangkan budaya Jawa lebih bebas, bisa memilih pindah ke rumah orang tua istri atau suami,” kata Erna.  
Bagai dua sisi mata koin, di negara-negara maju yang memiliki sumber daya atau wilayah terbatas seperti Singapura, Korea, atau Jepang, anak-anak justru diharapkan sudah keluar dari rumah sejak usia 21 tahun. Mereka diharapkan bisa berdikari membangun masa depan sendiri.

Menurut Erna, keterbatasan sumber daya menyebabkan munculnya kompetisi. Siapa yang bisa berprestasi, dia yang akan menjadi pemenang. Mereka tak punya pilihan selain harus survive mandiri, jika tak ingin terlibas. Makin terbatas sumber daya alam dan manusia suatu negara, maka karakter masyarakatnya akan  makin individualis. Mereka tak bisa leyeh-leyeh atau mengandalkan bantuan orang lain, termasuk orang tua sendiri. Begitu memasuki usia dewasa, orang tua pun langsung angkat tangan dan menyerahkan keputusan hidup sepenuhnya kepada si anak.
   
Sedangkan karakter dan tuntutan masyarakat kita, menurut Dr. Erna, tak terlalu ngoyo. Meski ada pengecualian untuk suku Minang atau Bali yang dikenal suka merantau, bahkan hingga ke luar negeri. “Pada anak-anak dari suku-suku ini sejak kecil sudah ditanamkan orientasi meninggalkan kampung halaman demi meraih masa depan yang lebih baik,” cetusnya. Sosialisasi untuk hidup merantau ini juga tertanam dalam kehidupan sosial.
   
Namun, seiring  makin banyak masyarakat kelas atas yang menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri dan makin terbukanya informasi, maka pola pikir masyarakat kita juga mengalami transisi, yaitu mulai mengarah ke individualisme. Hal ini dapat dilihat dengan menjamurnya tempat-tempat indekos di daerah perkantoran di perkotaan besar. “Ini artinya banyak juga yang survive, mengambil keputusan hidup terpisah dari orang tua, demi lebih fokus dalam membangun karier,” tutur Dr. Erna.

Reynette Fausto






 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?