Trending Topic
Masih Jauh Dari Target

6 Nov 2013


Tahun 2004, wanita memasuki babak baru dalam kehidupan berpolitik, yaitu dengan ditetapkannya kuota 30% yang menjamin wanita mendapatkan tempatnya di parlemen.  Aturan ini kemudian dikenal dengan sistem afirmasi. Setelah sepuluh tahun, benarkah sistem ini sudah efektif?  

Masih Jauh dari Target
Meski sistem afirmasi telah diterapkan, ternyata belum cukup mendongkrak jumlah wanita di parlemen. Total jumlah wanita di DPR hanya 11, 09% dari 550 anggota DPR. Mengapa demikian? Sebab ternyata banyak partai politik yang meletakkan wanita caleg di daftar 3, 4, 5, dan seterusnya, yang biasa disebut nomor sepatu. Hal ini mengakibatkan wanita caleg yang terdaftar tidak ikut masuk ke DPR, walaupun partai yang mengusungnya menjadi partai pemenang, karena biasanya tiap partai politik hanya memilih 3 calon teratas.

Di Pemilu 2009, diberlakukan zipper system, yang mengharuskan tiap partai politik meletakkan wanita caleg di daftar antara nomor 1-3. Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa wanita caleg akan masuk menjadi anggota parlemen. Kombinasi sistem kuota, afirmasi, dan zipper terbukti menaikkan jumlah wanita di DPR.
Hasilnya? Masih saja ada partai yang memasukkan hanya satu calon wanita di antara daftar nomor 1-3, itu pun ditaruh di posisi nomor 3 dan kelipatannya. Belum lagi, ada parpol yang masih juga bandel dengan tidak memenuhi kuota 30% jumlah wanita caleg. Namun demikian, harus disyukuri, keseluruhan jumlah wanita caleg naik menjadi 34,7%, dan jumlah wanita di parlemen naik menjadi 18%.

“Semua itu karena belum konsistennya pelaksanaan hukum kuota 30% wanita caleg di Indonesia. Dan hal tersebut menunjukkan bahwa negara sendiri belum serius untuk mendukung wanita masuk ke dalam parlemen,” jelas Eva Kusuma Sundari, anggota legislatif dari partai PDI-P yang sudah dua periode menjadi anggota parlemen.

Menurut Aisah Putri Budiarti, peneliti LIPI, kuota 30% ini masih dijalankan setengah hati oleh partai. Banyak yang hanya menjadikannya sekadar syarat agar bisa lolos prakualifikasi pemilu. Setelah itu, jika masyarakat tidak mengawalnya, maka wanita caleg tidak ada yang menduduki tempatnya di DPR.

Kuota 30% wanita di parlemen ibarat sarana olahraga dan gedung kesenian baru di Jakarta: tidak akan melahirkan olahragawan dan pekerja seni mumpuni dalam waktu singkat. Semua tentu butuh proses, mulai dari pendidikan kader agar menjadi lebih mumpuni, terutama dalam membawa masalah sosial bermuatan gender ke DPR, sampai pendidikan pada masyarakat tentang pentingnya  memilih wanita caleg dengan visi yang jelas.

Hambatan budaya patriarkat, entah yang berdasarkan agama atau budaya lokal, harus diakui masih mengakar kuat di dalam kehidupan bermasyarakat. “Contohnya, tidak ada satu pun wanita caleg berasal dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Jumlah wanita caleg terbanyak berasal dari Provinsi Minahasa Utara,” ungkap Eva.

NAD memang merupakan provinsi yang perundangannya berdasarkan pada syariat Islam, yang masih memperdebatkan tentang peranan wanita di ruang publik, walaupun daerah yang bersangkutan dalam sejarahnya banyak melahirkan wanita pahlawan. Sedangkan Minahasa Utara, memang memiliki sejarah kepemimpinan wanita yang kuat. Sehingga, tidak mengherankan, untuk tahun 2009  jumlah caleg dari daerah ini adalah 188 orang atau 40% dari keseluruhan jumlah calon legislatif.

Ketidaksiapan masyarakat untuk membuka jalan terhadap wanita caleg juga diperkuat dengan belum relanya para pria, baik di dalam DPR ataupun di partai, untuk memberikan peran memadai bagi wanita.  Aisah mengungkapkan, dari hasil pengamatannya di beberapa partai, partai yang memiliki organisasi sayap wanita terlihat tidak mengelolanya dengan serius. Dewan Pimpinan Pusat (DPP) mungkin mempunyai program yang jelas, tetapi ketika sampai pada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) partai, kegiatan organisasi wanitanya masih sebatas  arisan dan masak-memasak. “Ketika ditanya mengapa tidak mengadakan kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan politik atau peningkatan kemampuan berorganisasi,   mereka akan menjawab bahwa dana menjadi kendala utamanya,” jelas Aisah, menyayangkan. (f)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?