Kebahagiaan itu, menurut Rani, sifatnya meta need. Gampangnya, ada orang-orang yang punya kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan untuk dicintai, kebutuhan untuk dipahami, butuh rasa aman, dan lain sebagainya. “Kalau dia mendapatkan hal tersebut, itu kebahagiaannya. Jadi, misalnya ketika seseorang mendapatkan penghargaan, sebetulnya bukan penghargaan itu yang membuatnya bahagia, tetapi karena orang mengakui keberadaannya,” papar Rani. Di balik yang kelihatan itu yang disebut meta need.
Menurut Budhy Munawar-Rachman, dosen Filsafat Islam dari Universitas Paramadina, pada umumnya, orang di zaman modern ini banyak yang tidak bahagia. Mengapa? “Karena, pandangan orang modern, kita di zaman sekarang, melihat kebahagiaan itu pada hal yang bersifat material atau body consciousness. Kita selalu mengaitkan kebahagiaan dengan kepemilikan,” katanya. Kepemilikan di sini bukan hanya dengan uang, tetapi apa saja yang membuat kita terikat dengannya. Sesuatu yang menjadi identitas kita.
Budhy mencontohkan, identitas itu apa pun yang kita lekatkan dalam diri kita. Misalnya, kita menganggap penting identitas kita sebagai pria/wanita, identitas kita sebagai pemeluk agama tertentu (misalnya saya ini orang Islam, saya orang Kristen, saya orang Buddha, dan sebagainya), pekerjaan yang penuh gengsi atau tidak, atau pendidikan yang tinggi atau rendah. “Semua ini adalah identitas. Dan masalahnya, lingkungan membuat kita mengembangkan identitas itu dalam hidup,” kata Budhy.
Karena itu, tidaklah mengherankan, bila seseorang mendapatkan identitasnya, maka ia merasa puas karena telah memilikinya. Padahal, dalam hidup, kita punya risiko kehilangan identitas. Mulai dari yang sederhana, misalnya, ada orang yang menempatkan pekerjaan sebagai identitasnya. Kemudian, kalau ada yang melecehkan pekerjaannya itu, maka ia tersinggung. “Hal-hal yang ia anggap sebagai sumber kebahagiaan ini yang rentan menjadi sumber ketidakbahagiaannya. Contoh sederhana, saya sebagai dosen, ketika mengajar dan ada mahasiswa yang mendebat dan menganggap saya bodoh, maka saya akan marah,” jelas Budhy.
Dengan ‘teori’ identitas ini, maka bisa dijelaskan mengapa agama dipilih oleh responden Indonesia sebagai sumber kebahagiaan. Menurut Budhy, orang Indonesia begitu kuatnya mengidentifikasikan dirinya dengan agama. Orang Indonesia saat ini memang menganggap agama begitu penting. “Sayangnya, melihat fakta di lapangan, tampaknya agama itu hanya menjadi simbol atau salah satu body conscious yang terbesar. Saya bahagia sebagai muslim. Tetapi, sifatnya eksklusif. Padahal, idealnya, peranan agama dalam kehidupan sosial kita adalah menciptakan keberagamaan yang inklusif, toleran, ramah terhadap yang lain,” tegas Budhy.