Trending Topic
Masih Banyak Lubang

15 Jan 2015

Jam baru menunjukkan sekitar pukul tujuh pagi ketika terdengar ribut suara truk pengangkut dari depan flat. Dengan capitnya, ia mengambil bak-bak sampah plastik tinggi bertutup kuning yang berjajar di sepanjang jalan, menumpahkan isinya ke dalam truk, dan meletakkan lagi bak sampah ke tempatnya semula. Pemandangan proses pengangkutan sampah yang modern ini terjadi  tiap Selasa pagi yang merupakan ‘hari sampah’ di distrik Newcastle, Melbourne, Australia.

Choose the right bin, then drop it in. Begitulah tulisan yang tertera di badan trailer sampah yang bersih dan jauh dari kesan jorok dan bau itu. Di bawahnya, terlihat gambar tiga bak sampah dengan warna tutup yang berbeda. Warna kuning untuk sampah daur ulang, hijau untuk sampah organik, dan merah untuk menampung jenis sampah lain di luar sampah daur ulang dan sampah organik. Jadi, ada tiga truk berbeda yang datang secara bergilir untuk mengambil tiga jenis sampah yang berbeda itu. “Andai Indonesia bisa memiliki truk pengangkut seperti ini…,” pikir femina yang saat itu sempat melihatnya sendiri di sana.

Memang, di masing-masing rumah tangga di Australia, pemisahan sampah sesuai jenisnya ini telah menjadi hal yang jamak. Di dapur mereka, misalnya, ada kotak tersendiri untuk sampah organik sisa-sisa makanan, dan kotak untuk sampah daur ulang, seperti kemasan plastik dan kaleng.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sebenarnya, usaha untuk memilah sampah ini sudah ada sejak lama. Salah satunya dengan instalasi dua kotak tempat sampah untuk ‘sampah kering’ dan ‘sampah basah’ yang di Jakarta telah berlangsung sejak tahun 2004. Hingga kini, kedua kotak tempat sampah itu masih dijumpai di ruang-ruang publik.

Sesuai tujuannya, sampah kering adalah sampah yang tidak bisa didaur ulang oleh alam, sementara sampah basah adalah sampah organik yang bisa terurai secara alami. Masalahnya, edukasi sampah ini seperti mandek. Program pemilahan sampah yang telah bermula sejak 10 tahun lalu itu hingga kini masih menimbulkan kerancuan.

Buktinya, hingga kini masih ada tisu basah dan botol plastik dengan sedikit air menghuni kotak sampah basah. Sementara itu, di kotak sampah kering, terlihat sampah plastik dengan seonggok kulit kacang di dalamnya. Lucunya lagi, ada yang kemudian menutupi dua tulisan ‘sampah basah’ dan ‘sampah kering’ itu dengan stiker besar bertuliskan:  ‘Buanglah sampah pada tempatnya’. Mungkin maksudnya agar orang tidak perlu bingung memikirkan, apakah sampah mereka termasuk sampah basah atau sampah kering.
Kehadiran media massa dalam memberikan edukasi tentang sampah sebenarnya cukup gencar dan kontinu.

Pemisahan sampah di TPA ini sangat penting, terutama terkait dengan sampah yang mengandung bahan kimia berbahaya, atau mudah terbakar.  Di pusat pengelolaan sampah milik Kota Albury di New South Wales, yang juga sempat dikunjungi femina, misalnya, ada area terpisah untuk masing-masing jenis sampah di lokasi pembuangan sampah akhirnya. Ada yang khusus untuk sampah hijau, bongkaran bangunan, bongkaran aspal, kulkas bekas, televisi, baterai, hingga matras tempat tidur.

“Hanya sampah-sampah umum yang bukan daur ulang dan bukan sampah beracun, berbahaya, atau mudah terbakar yang nantinya akan dimampatkan ke dalam lubang landfill. Sebab, jenis sampah berbahaya seperti ini dapat memicu ledakan dan api saat tergilas oleh compactor (mesin penggilas yang akan memampatkan sampah ke dalam lubang penimbunan atau landfill),” jelas Andrea Baldwin, wanita muda yang bertanggung jawab sebagai Team Leader Pengelolaan Sampah di Albury City Waste Management Facility.

Kejadian ledakan dan kebakaran di TPA yang ditakutkan oleh Andrea ini rentan terjadi di Indonesia, yang banyak mengonsumsi produk dengan kemasan kaleng semprot, seperti cat semprot, hair spray, obat nyamuk semprot, atau pengharum ruangan yang mengandung aerosol. Pasalnya, produk-produk ini gampang meledak apabila kena tekanan atau terpapar suhu panas. Bisa-bisa TPA itu meledak dan mengalami kebakaran hebat!

Sampah berupa produk kaleng semprot yang mengandung aerosol, accu, minyak, batu baterai, benda-benda elektronik, merupakan beberapa yang termasuk dalam ketegori sampah bahan beracun berbahaya (B3) atau sampah spesifik, sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.
“Saya tahu sampah-sampah seperti itu sangat berbahaya. Masalahnya, sampai sekarang saya tidak tahu ke mana harus menyalurkan sampah-sampah berbahaya seperti itu. Jadi, selama ini saya terpaksa membuangnya begitu saja ke tempat sampah,” ujarnya, merasa bersalah.

Femina sempat menghubungi beberapa komunitas di Jakarta dan Bandung, yang bersedia menampung sampah baterai. Nama mereka muncul dalam salah satu pemberitaan di salah satu situs internet tentang gaya hidup hijau. Rupanya, keenam tempat tersebut menyatakan telah berhenti menerima sampah baterai sejak beberapa tahun yang lalu.
Salah satu komunitas tersebut menjelaskan, tadinya mereka memang bermitra dengan Waste Management Indonesia (WMI), penyedia jasa pengelolaan sampah B3. Namun, kerja sama itu terhenti beberapa tahun yang lalu karena biaya pengelolaannya terlalu tinggi.

Sebenarnya, pengelolaan limbah B3 atau sampah spesifik ini telah diatur dalam Undang-Undang No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dan Pasal  Undang-Undang No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Kedua produk hukum tersebut sama-sama mengatur pengelolaan sampah yang berisiko ini. Namun, untuk bisa menerapkannya di lapangan, aparat pemerintah membutuhkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai panduan.

Masalahnya, hingga tulisan ini dibuat, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk pengelolaan sampah spesifik masih dalam proses pengkajian di biro hukum. Sementara itu, RPP No. 85 tentang Pengelolaan Limbah B3 (RPP PLB3) masih menunggu proses pencatatan administrasi di lembaran negara. Absennya kedua PP ini menjadi alasan di balik diskontinuitas antara peraturan dan pelaksanaannya di lapangan.

Harusnya, dengan UU No.18/2008 konsumen tidak perlu repot memikirkan ke mana harus membuang sampah. Sebab, undang-undang ini mengatur program Extended Producer Responsibility (EPR) yang pelaksanaannya diatur dalam PP No. 81/2012, Pasal 13. Salah satu  aturannya, mewajibkan produsen untuk menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk didaur ulang.

“Tahun 2020 kami akan mewajibkan perusahaan untuk melakukan EPR. Sehingga, mereka mengelola sampah yang dihasilkan oleh produk mereka. Kami memberikan batas waktu ini agar mereka bisa mempersiapkan infrastrukturnya,” jelas Rasio Ridho Sani, mantan Deputi IV Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan B3, Limbah B3, dan Sampah, yang baru saja berganti jabatan sebagai Sekretaris Kementerian Lingkungan Hidup.

Naomi Jayalaksana


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?