Trending Topic
Masalah Tenaga Kerja

18 Oct 2013


Anda tentu masih ingat berita menyedihkan dari industri garmen beberapa waktu lalu. Sebuah pabrik garmen di Bangladesh runtuh dan menimbun para pekerjanya. Tak kurang dari 1.129 pekerja tewas. Semua itu lantaran tekanan kerja yangs erba cepat. Bayangkan saja jika da 1000 pekerja saja dalam satu gedung yang menggunakan mesin jahit. Getaran terus menerus yang dihasilkan bisa saja meruntuhkan bangunan yang kondisinya tak terawat tersebut.

Jika dirunut lagi, masalah seperti ini sudah ada sejak abad ke-19. Tepatnya ketika pabrik garmen makin banyak berdiri. Banyak pabrik nakal yang menyerap tenaga kerja hanya untuk memeras keringat pekerjanya, sehingga timbul istilah sweat shop.

Sweat shop adalah kondisi kerja yang melanggar HAM dan kebijakan publik karena pekerjanya diperas habis-habisan. Sweat shop juga erat kaitannya dengan human trafficking, seperti  mempekerjakan anak-anak di bawah umur dengan upah kecil.

Menurut Mohamad Anis Agung Nugroho dari ILO, menjelaskan masalah sweat shop ini menjadi momok bagi banyak brand. Pasalnya, ketika pabrik yang mengerjakan produk mereka ditemukan nakal dan memeras tenaga karyawannya, maka image brand bersangkutan turut dipertaruhkan.

Hal tersebut dibenarkan Olivia Krishanty, buyer relations consultant. Menurutnya, bagi brand internasional masalah social responsibility terutama yang berhubungan dengan tenaga kerja itu dianggap penting karena tak hanya menjadi sorotan konsumen luar negeri yang kritis, juga mempengaruhi nillai saham perusahaan bersangkutan.

"Itulah sebabnya, brand membuat code of conduct dengan pabrik yang memproduksi barang mereka dan melakukan pengawasan berkala dan jika terjadi masalah dapat diselesaikan," kata Olivia.

Code of conduct tersebut, dijelaskan oleh Anis mengatur banyak hal mulaid ari keselamatan kerja, upah minimum, jam kerja, dan kesehatan yang diatur berdasarkan Konvensi Internasional ILO dan hukum nasional yang berlaku di lokasi pabrik itu berada.

Apa yang terjadi di Bangladesh, menurut Melinda memang risiko besar bagi semua pekerja garmen jika lokasi kerja tidak memenuhi syarat. Takheran, jika di tempat ia kerja kini, masalah keselamatan kerja diatur dengan baik.

Contohnya, untuk 100 pekerja tersedia 1 buah kotak P3K, ada 1 tempat tidur di klinik kesehatan untuk 100 pekerja, tabung pemadam kebakaran, sert ajalur evakuasi. Berdasarkan data internasional, Bangladesh menjadi negara dengan kondisi kerja yang paling mengenaskan. Padahal industri garmen di negara ini memberikan pemasukan mencapai 80% dari total eksport mereka. Setidaknya terdapat 4000 pabrik yang memperkerjakan 2 juta pekerja, kebanyakan adalah wanita. Pabrik garmen itu pun menyuplai brand retail besar.

Mata dunia pun kembali tertuju pada pakaian seharga ratusan ribu yang mereka hasilkan. Memang, jika dibandingkan dengan 'barang mewah' yang mereka buat tiap hari, kehidupan para buruh ini jauh dari kata sejahtera.Seorang buruh pabrik di Bangladesh  misalnya, menerima upah 21 sen/jam atau setara dengan Rp. 2100, sehingga menempatkan Bangladesh sebagai negara dengan upah terendah.

Coba bandingkan dengan sehelai T-Shirt seharga Rp. 500.000 hasil kerja mereka yang dijual di toko. Padahal , dari temuan ILO (International Labour Organization) rata-rata pekerja pabrik garmen adalah penopang hidup keluarganya. Tak Heran jika hal ini menjadi perbincangan dari waktu ke waktu tentang kondisi kerja yang melanggar HAM.

Di Indonesia, menurut Anis, masalah tenaga kerja di pabrik garmen memang tidak separah kondisi di Bangladesh. Misalnya soal UMR, di sini telah diatur oleh pemerintah sehingga setiap harus mengikuti ketentuan ini.

“Dari temuan Betterwork, masalah umum yang dikeluhkan para pekerja lebih terkait pada masalah kesehatan. Kondisi pabrik yang panas tak jarang dilaporkan oleh para pekerja sebagai keluhan terbesar mereka,” kata Anis.

Soal lembur dan kerja di hari Minggu juga menjadi keluhan para pekerja. Melinda menggambarkan, dalam satu minggu pekerja harus memenuhi waktu kerja minimal 40 jam. Sehari bisa bekerja 8 jam tanpa shift (dari pagi sampai sore). Tapi jika lembur, bisa mencapai 60jam/seminggu. "Walaupun memang diatur bahwa kerja maksimal 60 jam dalam seminggu. Tidak boleh lebih dari itu,"katanya.

Tak dipungkiri, sebagian besar dari tenaga kerja di pabrik garmen adalah wanita. Sehingga, masalah pelecehan seksual pun menjadi isu yang cukup santer. Pelecehan seksual dalam hal ini bisa menyangkut perkataan yang disampaikan dengan bahasa yang vulgar. “Kebanyakan wanita pekerja ini mengaku mendapatkan pelecehan seksual itu dari mandornya atau pengawasnya,” kata Anis. 




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?