Trending Topic
Ketika Anak Menjadi Korban Pelecehan

28 Jul 2014

Sebagai orang tua, tentu kita akan merasa sedih, kecewa, dan marah bila mendapati anak kita menjadi korban. Secara fisik dan mental, anak pun akan hancur. Kita juga khawatir anak bisa menjadi pelaku yang sama ketika dewasa nanti.

Psikolog forensik Komisaris Besar Polisi Drs. Arif Nurcahyo, MA, mengatakan bahwa ketika si anak baru mengalami sekali kemudian segera mendapatkan pendampingan yang semestinya, tentunya ia bisa menjadi penyintas (survivor). Si anak bisa keluar dari situasi itu dan mungkin bisa membagikan pengalamannya.

Karena itulah, yang bisa kita lakukan adalah tetap tenang dan tidak panik karena hal ini justru akan membuat anak  makin takut. Mereka tidak mengerti kalau kejadian yang menimpa mereka itu adalah hal yang buruk.

Pendiri Yayasan Pulih, Dr. Kristi Purwandari, M.Hum, menceritakan pernah ada anak perempuan yang bercerita kepada ayahnya bahwa ia dilecehkan seorang teman ayahnya. Karena emosi, si ayah langsung mendatangi dan mencaci maki orang yang diadukan putrinya itu. Yang terjadi, orang itu tidak terima dan menyewa orang untuk mengeroyok ayah si korban.

“Memang si ayah bersikap begitu karena khawatir. Namun, akhirnya si anak justru merasa bersalah, dan akhirnya jadi takut bercerita kepada orang tuanya,” kata Kristi.

Lindungi anak dengan bertanya secara baik-baik dan sabar. Bangkitkan keberanian dengan melindunginya. Setelah anak tenang dan mau bercerita, yang mungkin akan terasa menyakitkan, segeralah berkoordinasi dengan psikolog atau guru. Jika Anda merasa ini sudah bersifat kriminal, Anda dipersilakan mengadu ke polisi.

Sedangkan Arif menyarankan untuk segera membawanya ke ranah hukum. Di kepolisian sudah ada Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA). Selain akan diproses secara hukum, di PPA juga ada informasi tentang LSM yang bisa memberikan pendampingan. Keluarga korban akan diberikan rekomendasi, LSM mana yang bisa mendampingi mereka selama proses ini, misalnya KPAI atau Yayasan Pulih.    

“Korban memang butuh pendampingan khusus. Cara pendekatan untuk tiap korban  berbeda. Pembuktiannya juga berbeda dengan kasus kejahatan lainnya, dan membutuhkan keahlian tersendiri untuk menginvestigasi,” Arif menegaskan.

Dalam mendampingi anak yang merasa bersalah karena menjadi korban kekerasan seksual, yang terutama harus dilakukan adalah membuat anak menerima apa yang terjadi atau acceptance. Menerima kenyataan akan mempermudah menguraikannya. “Biarkan anak menangis, namun jangan tinggalkan ia. Setelah itu, mari bersama membangkitkan motivasinya,” Arif menyarankan.  Tentu hal ini tidak mudah dilakukan.

Dalam kasus kekerasan seksual berupa pemerkosaan yang menyebabkan korbannya hamil, pelaku potensial yang dapat muncul justru ada dua orang, yaitu korban pemerkosaan dan anak yang dilahirkannya. “Korban akan melahirkan anak yang tidak diinginkan, sehingga pengasuhannya dilakukan setengah hati. Si anak pun bisa menjadi sumber kemarahan. Bisa jadi karena dianggap dilahirkan dalam kondisi yang kurang baik, maka pola pengasuhannya pun akan terpengaruh,” jelas Arif, prihatin.
 
Jika tidak diasuh oleh ibunya, ia bisa saja mendengar komentar, “Dasar anak haram!” Jadi, walaupun ia belum pernah mengalami kekerasan seksual secara langsung, pesan-pesan negatif seperti itu bisa berdampak pada diri si anak.  

Saat pendampingan adalah saat-saat paling krusial. Di sinilah anak akan didampingi secara penuh dan berusaha membuatnya bisa melupakan traumanya serta menghilangkan potensi diri sebagai pelaku nantinya. Anak akan diperiksa secara detail seperti apa karakteristiknya. Apakah ia pendiam atau pemberontak? Bagaimana dengan keluarganya? Apakah rukun atau fungsinya tidak berjalan?

“Setelah itu, perlahan-lahan kami akan membahas kejadian itu bersama si anak. Berusaha mengidentifikasi apa yang telah terjadi dan seberapa parah dampaknya,” cerita Kristi. Menurutnya,  tiap anak akan berbeda cara penanganannya. Ada yang bisa langsung diajak berbicara, ada juga yang bermain peran dengan boneka. Anak kecil tidak bisa bercerita secara detail. Makin kecil anak, pendamping harus  makin kreatif.

Saat itu juga akan diteliti apakah anak berbohong atau tidak. Yang pasti dalam menghilangkan trauma dibutuhkan intervensi dari pendamping dan dukungan dari orang-orang terdekat dan lingkungannya. “Terus terang,  makin sedikit orang yang mengetahui, dan ia mendapat dukungan penuh dari keluarga, penyembuhan akan jauh lebih mudah. Sayangnya, banyak orang tua yang tidak mampu menerima dengan baik,” ungkap Kristi.  

Namun, sebelum semua terjadi, lebih baik ciptakan hubungan yang baik antara anak dan orang tua. Dengan begini anak akan mudah bicara, jika terjadi sesuatu. Bila Anda ingin anak terbuka, jangan membentak. Akan berbeda bila Anda mengatakannya dengan nada penuh penghormatan untuk menjaga area privat. “Ini dijaga, ya. Kalau ada apa-apa, sama siapa pun, kamu ngomong. Kalau Bapak atau Ibu lupa, ingatkan.”

“Itu adalah pendidikan seks sejak dini, dengan bahasa yang mudah dimengerti. Anak akan menjadi lebih peduli, lebih percaya diri, dan yang jelas lebih terbuka. Tiap detail akan ia bicarakan dengan orang tuanya,” Arif menjelaskan. Karena, hanya anak yang bisa mengukur. Kalau tidak ada arahan sejak kecil, dia tidak akan mengerti, tidak tahu harus berbuat apa.

Inilah saatnya orang tua memiliki dua peran bagi anaknya. Pertama, peran sebagai pemegang otoritas, yang memberi arahan baik dan buruk. Dan yang kedua adalah sebagai teman. Dalam arti, anak tidak merasa berjarak untuk bercerita.
 

Argarini Devi
Foto: Fotosearch




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?