Trending Topic
Kekuatan Sharing

16 Jul 2013


Penyelesaian masalah pelecehan dan kekerasan seksual memang tidak selalu berujung pada proses hukum. Apalagi saat pelaku sudah lama hilang. Namun, keadilan tak hanya harus diberikan kepada pelaku, tapi juga kepada korban. Mereka juga berhak mendapatkan closure supaya bisa berdamai dengan masa lalu dan mendapatkan kebahagiaan.
   
Bagi mereka yang memiliki masalah berat, Dr. Kristi Poerwandari, pendiri Yayasan Pulih, Kepala Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia memang menyarankan untuk berkonsultasi dengan psikolog atau konselor yang memang sudah terbiasa menghadapi kasus pelecehan atau kekerasan seksual. “Kadang-kadang, psikolog yang tak familiar dengan kasus ini juga masih memiliki bias-bias tertentu,” ungkapnya.
   
Dalam psikologi, pemulihan batin dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu suportif dan rekonstruktif. Yang biasa dilakukan dalam terapi suportif hanya sebatas mendengarkan, memvalidasi perasaan, memberi dukungan, dan menunjukkan empati. Sedangkan dalam terapi rekonstruktif, perasaan dan ingatan lama akan dibongkar-bongkar. Di sini, emosi yang keluar, seperti kemarahan dan kesedihan, harus diolah lagi oleh psikolog yang terlatih. “Jangan sampai, begitu pulang perasaannya justru malah tambah kacau-balau,” tukas Kristi.
   
Meski demikian, ia menegaskan bahwa dukungan juga bisa didapat dari keluarga, sahabat, atau anggota komunitas lainnya. Seperti yang dilakukan dalam support group Lentera Indonesia selama 2 tahun belakangan ini. Tiap dua minggu sekali, sekitar 5-6 wanita berkumpul dalam sesi sharing dan menemukan kekuatan di sana.

Menurut Wulan Danoekoesoemo, pendiri dan psikolog fasilitator Lentera, kebanyakan dari mereka adalah wanita kelas pekerja dan berpendidikan tinggi. “Mereka berasal dari keluarga menengah dan atas, dengan pergaulan sosial yang luas dan karier yang mapan,” ungkapnya. Wulan menolak untuk menyebut mereka korban. “Karena sesungguhnya mereka adalah survivors,” katanya.

Tadinya mereka tidak mengenal satu sama lain. Tapi, seiring berjalannya waktu, tumbuh rasa percaya di antara mereka. Kepercayaan memang isu yang sangat penting bagi para survivors pelecehan seksual. Banyak dari mereka yang kehilangan keyakinan terhadap orang lain. Mereka tak lagi mudah percaya pada siapa pun. “Dalam lingkungan yang kecil, rasa saling percaya ini kemudian berkembang menjadi energi positif yang menguatkan,” ujar Wulan.

Dari sekian banyak wanita yang datang dan pergi sejak Lentera berdiri tahun 2011, Wulan melihat bahwa para survivors ini mencari pertolongan karena mereka memiliki masalah dalam menjalankan peran dan fungsi sosial sehari-hari. Mereka juga menghadapi masalah dalam relasi mereka dengan orang lain, seperti orang tua, suami, anak, teman, atau rekan kerja.

Misalnya pelaku adalah ayah tirinya, bisa jadi ia memiliki masalah kepercayaan dengan ibunya. Wulan berkisah, pernah ada salah satu dari mereka yang sampai tidak lulus kuliah karena ternyata dosen pembimbingnya mirip dengan pelaku dulu.

Kebutuhan untuk berbagi memang ada. Tapi, sebelum bisa sampai ke sana, banyak dari mereka yang harus melewati proses batin yang panjang. Sebab, pengalaman buruk memang bisa saja dikubur dalam ingatan. Tapi, kalau ada pemicu atau trigger-nya, ingatan yang biasanya tak terpikirkan sehari-hari bisa muncul kembali dengan seketika. Reaksi dan emosi yang keluar saat ingatan itu keluarlah yang harus diolah.

“Rasa marah dan sedih itu sudah pasti ada. Tapi, survivors ini perlu mengingat bahwa kejadian di masa lalu itu hanya sebagian dari hidupnya. Kebahagiaan masih bisa dicari dari banyak aspek kehidupan lainnya,” tutur Kristi.
Wulan dan Kristi sepakat, berbicara dan berbagi memang bermanfaat baik untuk menuju kepulihan batin. Tapi, perlu diingat juga bahwa tidak semua orang memiliki kondisi emosional yang sama. Ada yang bisa bercerita panjang lebar, ada yang bisa meluapkan emosinya hanya dengan menangis.

Memang, sesi sharing yang dilakukan Wulan biasanya seperti acara kumpul-kumpul sahabat dengan banyak tawa dan tangis. Mereka bisa ngobrol tentang apa saja. Tidak mau ngomong, juga tidak apa-apa. “Terkadang keheningan itu kemewahan yang tidak mereka dapatkan di luar sana,” ujarnya.

Tanpa perlu bercerita, mereka bisa mendapatkan kekuatan dari cerita temannya. Pengalaman serupa yang dialami orang lain memang dapat membangkitkan rasa sakit, tapi bisa juga menenangkan. “Kita jadi tahu bahwa kita tak sendirian,” ungkap Wulan. Ia percaya bahwa hal terpenting dari sharing adalah kesempatan untuk jadi lebih berdaya dan memberdayakan orang lain. “Tanpa campur tangan psikolog fasilitator, mereka otomatis merangkul temannya yang menangis,” katanya.
   
Menceritakan masalah yang cukup berat memang harus dilakukan dengan orang yang tepat. Namun, ketika masalah ini menimpa teman atau keluarga terdekat, kita juga bisa menjadi sandaran yang baik, kok. Asal, kita memang ada di sana untuk mendengarkan dan membantu mencarikan solusi, bukannya menghakimi.

ntinya, Kristi menggaris bawahi, menunjukkan sikap suportif dapat dimulai dengan mendengarkan, lalu mengajukan pertanyaan yang sifatnya tidak evaluatif. “Jangan bertanya, ‘Kenapa kamu pergi sama dia, sih?’ Atau, ‘Kenapa kamu pergi malam-malam?’” katanya, memberi contoh. Sebab, ketika masalah ini terjadi pada teman sebaya, kita juga akan cenderung untuk melakukan penilaian atau bersikap judgmental. “Ini sama sekali tidak membantu,” ujar Kristi. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?