Trending Topic
Karena Pembiaran, Cerita Para Relawan Sampah

26 Oct 2015


Hal ini diungkapkan oleh Abdul Kodir (43), penggagas Komunitas Ciliwung, Condet, Jakarta. Menurutnya, lemahnya penegakan hukum dan pembiaran pada pelanggar aturan akan membuat masyarakat secara terus-menerus membuang sampah di sungai. Ia berharap, hukuman yang diberikan tidak harus dengan denda atau dengan kurungan badan, tetapi hukuman sosial, misalnya disuruh memungut sampah. Ini akan jauh lebih efektif.

“Regulasi perlindungan sungai sangat rapuh. Aksi penanaman pohon yang sering dilakukan akhir-akhir ini juga belum efektif mengatasi kerusakan sungai,” jelasnya.
Abdul menengarai konektivitas antara lembaga terkait yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sungai, tidak berjalan dengan baik. Semua bekerja, namun tidak bekerja secara bersama-sama. Justru, akhirnya lembaga terkait saling tuding-menuding.

“Yang menyedihkan, banyak tempat pembuangan sementara (TPS), berada di bantaran Sungai Ciliwung, yang justru membuat sampah-sampah tersebut akan terbuang dengan sendirinya ke sungai,” ungkapnya.

Selain sampah, mekanisme pengelolaan aliran sungai yang salah seperti pembangunan perumahan di ruang terbuka hijau (RTH) menyebabkan aliran sungai sempit dan hilangnya area resapan air.

Untuk itulah, anggota Komunitas Ciliwung tiap bulan melakukan aktivitas pemungutan sampah dan pengawasan pada aliran sungai.  Mereka juga memiliki program andalan: wisata sungai, di mana orang akan diajak menyusuri sungai, sehingga mereka dapat melihat secara langsung kerusakan yang terjadi pada salah satu sumber kehidupan manusia.

“Kami berharap makin banyak orang memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan sungai. Dimulai dari mengurangi konsumerisme dan penggunaan plastik yang berlebihan,” ujar Abdul.

Kesadaran untuk bersih-bersih gunung juga dimiliki oleh komunitas pencinta alam Wanadri. Tiap kali anggota Wanadri melakukan pendakian atau penjelajahan di hutan, mereka diwajibkan membersihkan area camp. Datang ke gunung bersih, pulang juga harus bersih. "Kami membekali diri dengan pengetahuan yang cukup tentang alam, seperti tidak memetik bunga, selalu membawa kantong untuk tempat sampah, hingga bagaimana cara buang air kecil dan besar ketika di gunung," ujar Shendy Noegraha, aktivis Wanadri, Bandung. 

Untuk meminimalkan adanya potensi sampah, mereka tidak membawa makanan instan yang dikemas dalam plastik atau kaleng. Ini bisa diganti dengan membawa makanan yang dibungkus daun pisang. "Contoh lain, sebelum mendaki, kopi sachet atau mi instan kering kami satukan dalam wadah, agar tidak membuang bungkusnya ketika di atas. Sedangkan untuk minuman, kami tidak sarankan menggunakan botol minum kemasan, tapi menggunakan botol yang bisa dipakai berulang kali," ujar Shendy. 

Harapan serupa juga diinginkan oleh Ratih. Ia melihat sendiri bagaimana susahnya mengubah mental masyarakat yang masih belum mau terlibat ketika melihat para relawan memungut sampah. “Jika dari mereka tergerak hatinya, maka akan timbul kesadaran untuk menjaga kebersihan kota, tempat tinggal mereka,” ungkapnya. (f)
 
Daria Rani Gumulya, Desiyusman Mendrofa






Topic

#sampah

 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?