Trending Topic
Jika Harus ke Meja Hijau

17 Aug 2012

Budaya menyampaikan keluhan memang mulai merayap naik. Lalu apakah ini berarti konsumen sudah cukup puas dengan layanan komplain yang ada? Jawabannya ternyata tidak. Menurut survey, lebih dari 60% mengaku tidak percaya dengan sistem komplain di Indonesia. Karena, sering kali keluhan yang mereka sampikan tidak benar-benar ditanggapi. Konsumen seperti berhadapan dengan dinding tembok, dimana komplain yang ia sampaikan hanya akan memantul tanpa ada penyelesaian.
Tak berbeda dengan Devi, beberapa tahun lalu Zahri Alfa Fitrahin (33), juga mengaku kecewa dengan pelayanan sebuah perusahaan telekomunikasi besar di Indonesia. Pria yang bekerja sebagai project engineer ini melaporkan adanya pemotongan pulsa pada layanan Blackeberry yang ia gunakan, kepada layanan customer service perusahaan tersebut. Namun, hingga kini masalah itu belum ada penyelesaiannya. 

Menurut Zahri, tujuan ia komplain adalah agar perusahaan komunikasi tersebut lebih peduli dan menjalankan service level agreement (SLA) dengan baik. Perusahaan mereka, kan, bergerak di bidang jasa, seharusnya melayani keluhan customer dengan baik. “Toh, saya sudah melewati prosedur dalam menyampaikan komplain. Saya juga ingin memperjuangkan hak saya. Saya memang cuma dipotong Rp99 ribu. Tapi bayangkan jika ada 1 juta pelanggan yang bernasib sama, berapa banyak keuntungan mereka?” kata Zahri emosi. 

Melihat situasi ini, walaupun jalur komplain sekarang ini cenderung beragam, seperti layanan pelanggan, email, atau hotline, masih banyak terdapat sumbatan-sumbatan yang membuat komplain ‘lewat’ jalur resmi itu tidak efektif dilakukan. Akibatnya, masyarakat cenderung memilih berkicau di jalur tidak resmi, seperti dunia maya. 
Menurut survey, 70% responden mengaku pernah komplain di media sosial. Twitter menjadi pilihan 73% responden, sedangkan sisanya memilih Facebook, Blog, dan Kaskus. 

Tapi, apakah komplain lewat dunia maya dan media sosial itu langkah yang tepat? Tini berpendapat, mengeluh lewat dunia maya, sah-sah saja. Asalkan, konsumen benar-benar dilengkapi bukti kuat. Kasus yang dialami Prita Mulyasari, mungkin bisa jadi pembelajaran bagi kita. Hak konsumen menyampaikan keluhannya memang dilindungi UUPK, namun sejak adanya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), komplain di dunia maya bisa jadi pisau tajam yang berbalik menusuk Anda. Misalnya pasal 27 ayat 3, tentang pembuatan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik.

Menurut Taufik Basari, pengacara, selama ini tafsir atas implementasi dari aturan-aturan itu ada pada aparat penegak hukum. Namun sayangnya, aparat penegak hukum belum memiliki perspektif perlindungan konsumen dan HAM. 

“Padahal UU ITE itu untuk mengatur agar orang-orang tidak tertipu dengan berita-berita yang salah dan menyesatkan. Tapi karena UU ITE sendiri membuka peluang untuk penafsiran yang luas, pada akhirnya sering dipergunakan untuk mengkriminalisasi seseorang,” kata.

Untuk itu, BPKN, kini mengkaji ulang UU ITE agar tidak selalu merugikan konsumen dan membuat konsumen takut. “Yang saya sayangkan, undang-undang ITE telah membuat konsumen jadi takut komplain,” jelas Tini.
 
“Sebenarnya dalam beberapa hal, UUPK sudah cukup baik dalam melakukan perlindungan terhadap konsumen, misalnya dalam prosedur penyampaian komplain,” kata Taufik. 
Selain itu, dalam KUHP pasal 310 tentang pencemarana nama baik, ada ketentuan yang memberikan excuse bagi seseorang yang menyampaikan sesuatu dan dianggap merusak nama baik. Yaitu jika ia melakukannya sebagai pembelaan diri atau kepentingan publik. 
“Maka saat konsumen melakukan komplain, bisa dikatakan hal ini dalam rangka mengingatkan publik agar tidak mengalami peristiwa sama dengan yang dia alami,” ungkap Taufik. (f)

foto: dok corbis


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?