Trending Topic
Harus Tepat Sasaran

5 Apr 2014


Layaknya kampanye, petisi-petisi ini tentu membutuhkan strategi tertentu supaya pesannya bisa sampai ke banyak orang dan jumlah tanda tangan yang diperlukan bisa terkumpul. Dalam hal ini, pembuat petisi bertanggung jawab untuk menyebarkan petisinya dengan berbagai cara kampanye. Kalau isi petisinya bagus, pembaca bukan hanya menandatangani, tapi juga ikut menyebarkannya lewat ¬e-mail atau media sosial. Penyertaan gambar dan video pendek yang jelas dan menggugah juga bisa membuat orang lebih tergerak untuk mendukung petisi tersebut.
Efektif atau tidaknya petisi dipengaruhi beberapa hal. Usman Hamid, yang juga co-founder Change.org Indonesia, menuturkan pentingnya personal story dalam teks pengantar petisi, yang dapat dimengerti oleh banyak orang. “Cerita ini harus relevan dengan tujuan pembuat petisi dan harus dibuat dalam 200-350 kata supaya tidak membosankan. Sebab, perhatian orang di internet mudah sekali bergeser,” ujarnya.
Selain itu, sebuah petisi juga bisa memanfaatkan momen darurat untuk mendorong orang supaya lebih cepat bertindak. Misalnya, sebuah rapat besar yang akan memutuskan sesuatu, seminar yang membahas masalah, hari peringatan tertentu, dan sebagainya. Kalau tidak ada, momen itu bisa dibuat. Misalnya, saat petisi mencapai sejumlah pendukung, penggagas akan menyerahkannya pada target. “Ketika sebuah petisi memiliki deadline atau tenggat, orang akan terdorong untuk lebih cepat menyebarnya,” kata Usman.
Namun, sebelum mulai memikirkan hal-hal yang sifatnya teknis, mereka yang ingin membuat petisi perlu memikirkan beberapa hal terlebih dulu. Yang pertama, tuntutan yang diajukan harus realistis, spesifik, dan terarah. Usman memberi contoh, petisi untuk ‘perbaiki sistem pendidikan di kota X’ tidak akan terlalu efektif dibandingkan misalnya jika judul petisinya ‘tingkatkan gaji guru di kota X’ atau ‘buat program beasiswa untuk penduduk miskin kota X’.
Kedua, petisi juga harus menyasar target yang tepat. Artinya, petisi tersebut harus ditujukan untuk seseorang yang paling mungkin membuat perubahan yang diinginkan. “Sering kali petisi langsung ditujukan pada pengambil keputusan tertinggi, yaitu presiden. Padahal, mungkin lebih efektif bila ditujukan pada gubernur, wali kota, atau lurah. Target lain seperti pemilik atau petinggi perusahaan, atau figur publik, juga bisa dipertimbangkan,” ujarnya.
Berdasarkan pengalaman mereka membina para pembuat petisi di Change.org Indonesia, Arief dan Usman juga melihat bahwa pada umumnya orang perlu diyakinkan tentang kekuatan dirinya untuk membuat perubahan. “Dalam petisi, biasanya yang dominan adalah masalah. Makin berat penggagas petisi menjelaskan masalahnya, makin tipis pula harapan orang masalah itu akan terselesaikan. Padahal, dalam  tiap krisis pasti ada peluang. Jadi, pembuat petisi harus bisa meyakinkan bahwa  tiap ‘klik’ itu berarti,” tutur Usman.
Kadang-kadang, pembuat petisi begitu menginginkan tujuannya tercapai hingga menghalalkan segala cara. Misalnya, dengan memberikan informasi yang dibesar-besarkan atau keliru hingga sulit dipercaya. Menurut Usman, petisi yang baik sudah seharusnya jujur dan memiliki sumber data yang akurat dan spesifik. Misalnya, berapa banyak pohon yang ditebang, atau seberapa kecil gaji buruh setempat dibandingkan pembaca, dan sebagainya.(PRIMARITA.S.SMITA)




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?