Trending Topic
Efek Jangka Panjang Jajanan Tak Sehat

16 Apr 2014


Menurut dokter spesialis anak, dr. Arifianto SpA, jajanan tidak sehat itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Makin ke sini, jenisnya makin bervariasi. “Penggunaan bahan tambahan pangan dan bahan pengawet itu dianggap berbahaya apabila melebihi nilai ambang batas,” jelasnya.

Adapun ketentuan ambang batas aman di tiap negara bisa berbeda-beda. Di Eropa misalnya, penggunaan zat formaldehyde untuk di Uni Eropa masih diizinkan, tapi ada nilai maksimalnya. Namun, negara seperti Jerman, sama sekali tidak mengizinkan. Begitu juga zat seperti formalin dan boraks, ada batas maksimalnya. Sedangkan untuk pewarna, ketentuannya tidak menggunakan ukuran ambang batas, melainkan ada daftar beberapa warna yang sama sekali tidak boleh dipakai. 

Idealnya, menurut dr. Arifianto, produsen makanan (termasuk pedagang kecil) seharusnya mengantongi sertifikat hasil uji makanannya di laboratorium yang menunjukkan bahwa penggunaan bahan tambahan pangannya tidak melebihi ambang batas. Sehingga, makanan tersebut layak dikonsumsi.

Penggunaan bahan tambahan pangan yang melebihi ambang batas bisa menimbulkan efek jangka panjang yang berbahaya pada anak. Efek samping itu antara lain, genotoksisitas (kerusakan DNA yang menyebabkan kanker), merusak kesuburan dan reproduksi. “Itu efek jangka panjang, bisa bertahun-tahun. Kalaupun bisa terlihat langsung, biasanya jika dikonsumsi dalam jumlah sering dan besar,” jelas dokter yang juga menulis buku berjudul Orang Tua Cermat, Anak Sehat ini.

Menurut  Kepala BPOM, Dr. Ir. Roy Alexander Sparringa, M.App. SC, selain penggunaan bahan berbahaya, hal yang perlu dicermati juga adalah soal cara pengolahan dan tempat menjajakan jajanan, karena sering kali tidak memperhatikan kebersihan. Faktor kesadaran higienis dan sanitasi di negara ini masih sangat rendah.
Mengenai konsepsi gaya hidup sehat, dari hal yang sepele saja, seperti kesadaran soal cuci tangan. “Berapa banyak orang yang cuci tangan setelah dari toilet? Kalau perilaku mereka soal cuci tangan saja tidak benar, bagaimana mereka bisa dipercaya mengelola makanan? Itu berbahaya,” ujar Roy.

Dokter Arifianto membenarkan hal ini. Makanan mudah sekali terkontaminasi bakteri. Beberapa jenis bakteri itu antara lain salmonella, sigella, amoeba, campylobacter, cacing, dan escherichia coli (e-coli). Bakteri yang masuk ke saluran cerna, menurut dr. Arifianto, bisa menyebabkan keracunan makanan dan infeksi pada saluran cerna. “Penyakit yang paling sering ditemukan yang disebabkan oleh makanan yaitu muntah, diare, dan keracunan makanan,” tuturnya.  

Bakteri seperti salmonella typhi, seperti kita tahu, adalah penyebab penyakit tifus. Angka kejadian  penyakit tifus ini masih cukup tinggi. Menurut situs Centers for Disease Control and Prevention (CDC), angka penderita penyakit tifus di seluruh dunia sebanyak 21,5 kasus per tahunnya. Kejadian paling banyak ditemukan di negara-negara berkembang. 
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation/WHO) juga mencatat, diare mengancam nyawa dan berisiko menyebabkan kematian. Tiap tahunnya, penyakit ini mengakibatkan kematian 760.000 anak di dunia.

Di Indonesia, kejadian luar biasa karena pangan yang kerap terjadi adalah keracunan makanan. Menurut data BPOM, pada tahun 2008  jumlah korban keracunan pangan Indonesia mencapai 25.268 orang. Dari 80% kasus keracunan yang terjadi pada anak sekolah, 35%-nya dialami anak sekolah dasar.

Mengapa anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa? Jawabannya, karena lebih terkait ke berat badan. “Biasanya satuan untuk menunjukkan angka melebihi ambang batas itu menggunakan miligram per kilogram berat badan. Berat badan pada anak-anak lebih ringan daripada orang dewasa, sehingga lebih mudah terpapar,” jelas dr. Arifianto.
Lantas, adakah hubungannya antara jajanan tak sehat dengan kecerdasan kognitif anak? Mengenai hal ini, dr. Arifianto mengatakan, penelitian sahih yang punya tingkat evidence based medicine (EBM) tinggi belum ia temukan. “Umumnya, pendapat yang mengatakan asupan tak sehat memengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan kognitif anak, lebih ke arah teori. Anak jadi hiperaktif dan memiliki gangguan tumbuh kembang. Namun, hal ini masih terdapat pro dan kontra,” jelas dr. Arifianto, yang tidak mengelak, tingkat bahaya  jajan sembarangan ini tetap harus diwaspadai.

Mengenai ancaman jahatnya efek bahan berbahaya pada anak, pemerintah sudah menyadari hal itu. Komitmen itu pun sudah ada. Salah satu aksi yang patut diapresiasi sejak tahun lalu, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, dan BPOM telah mencanangkan kampanye Hari Bawa Bekal Nasional di sekolah-sekolah. Kampanye ini mengajak para orang tua untuk menyiapkan bekal yang bersih dan sehat. Juga, supaya anak-anak terhindar dari jajan sembarangan.

BPOM tidak bisa berjalan sendiri. Roy mengatakan, pihaknya mengimbau kerja sama pemda untuk ikut melakukan pengawasan dan membuat kebijakan untuk menertibkan para penjaja makanan. Bersama Disperindag melakukan mapping di SD wilayah masing-masing. Dan, dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk meningkatkan peran orang tua.

“Ini adalah entry point kita untuk mengubah karakter bangsa. Saya percaya, keberhasilan Indonesia akan lebih mudah masuk lewat pendidikan karakter di sekolah. Rasanya tidak berlebihan kalau kami menaruh perhatian besar terhadap ketahanan pangan dengan program ini,” jelas Roy, yang mengatakan, program ini tidak akan berhasil tanpa ada kemandirian komunitas sekolah.

Bagi sebagian orang, mungkin muncul pertanyaan, adakah penegakan hukum bagi mereka yang menggunakan bahan berbahaya? Roy menjawab, pihaknya lebih mengutamakan pencegahan melalui social enforcement, bukan law enforcement. “Kalau ada yang ketahuan menjual bahan berbahaya, nanti bisa diboikot sendiri oleh masyarakat. Kontrol dari masyarakat akan jauh lebih efektif. Untuk itu, titik berat kami lebih untuk meningkatkan peran serta dan kesadaran masyarakat.”
Memang, untuk menertibkan peredaran bahan berbahaya, pihak BPOM mengeluarkan keputusan peraturan bersama antara Mendagri dengan BPOM yang mengatur tentang koordinasi pengawasan. Namun, sanksi yang disebutkan hanya berupa sanksi administratif, seperti pencabutan usaha. 

Penegakan hukum bukannya tidak ada. Jika mengacu pada UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 136 mengatur ketentuan pidana. Penyalahgunaan bahan tambahan pangan di atas ambang batas hukumannya penjara 5 tahun dengan denda Rp10 miliar. Seharusnya, instrumen ini bisa digunakan untuk melindungi konsumen dari penggunaan bahan berbahaya bagi kesehatan.

FICKY YUSRINI


Baca Juga: Lacak Dosa Jajanan Favorit Kita



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?