Trending Topic
Brand Sebagai Pernyataan Diri

30 Sep 2013



Melenggang dengan tas Birkin keluaran Hermes, sepatu Louboutin yang menjulang, dengan jam tangan Frank Muller yang melingkar di pergelangan tangan? Sekarang ini, mengenakan barang-barang bermerek dalam keseharian bukan lagi konsumen artis atau sosialita saja. Benarkah hal ini sebagai bukti melonjaknya kelas menengah di Indonesia? Tapi, mengapa pula masih banyak beredar barang KW?

“Tas LV kamu hits banget, deh. Sepertinya belum keluar di Jakarta.”
“Oh, ini belinya di Paris. Limited edition, jadi harus inden dulu.”
   
Bagi Anda yang kurang begitu peduli pada barang-barang bermerek, percakapan di atas akan terdengar absurd dan membuat Anda tidak habis pikir. Apa, sih, yang membuat orang bela-belain berburu tas sampai ke negeri orang, bahkan sampai harus inden segala. Apalagi, ketika Anda tahu bahwa harga satu tas itu cukup untuk membayar down payment sebuah rumah baru!
   
Ada banyak alasan yang melatari seseorang untuk membeli barang bermerek supermahal. Seperti yang diungkapkan oleh Christine (32) dan Lenny (33). Meski sama-sama mengatakan membeli barang-barang tersebut untuk kepuasan pribadi,   keduanya mengakui ‘power’ yang dimiliki oleh sebuah tas atau sepasang sepatu keluaran brand terkenal internasional. 

“Harus diakui, barang-barang bermerek itu bisa membuat status sosial kita meningkat dan lebih mudah diterima di kalangan high class,” aku Christine, ibu rumah tangga yang tinggal di Surabaya. Makanya, koleksi mewah, seperti sepatu Chanel, tas LV, Prada, dan Balenciaga miliknya baru akan ‘keluar’ saat menghadiri undangan pesta di hotel besar, atau ketika bertemu dengan teman-teman sosialitanya.
   
Senada dengan Christine, Lenny mengatakan bahwa memakai barang ‘branded’ terkadang menjadi penting. “Sebab, sebagian kalangan masih menilai orang dari barang-barang bermerek yang kita pakai,” ujar pemilik toko di kawasan perdagangan Glodok, Jakarta, ini. Biasanya, wanita yang gemar mengoleksi dompet bermerek, seperti LV, Gucci, Balenciaga, dan Furla  akan memakainya saat bepergian di akhir pekan.
   
Ada suatu rasa yang berbeda ketika benda-benda mahal itu melekat di tubuh. Berjalan mengenakan sepatu hak tinggi Chanel atau Louboutin tidak sekadar membuat tungkai terlihat lebih jenjang dan seksi, tetapi  juga membuat pemakainya merasa seperti seorang bintang. “Rasanya seperti sedang berjalan di atas red carpet. Hak yang tinggi juga ikut mendongkrak kepercayaan diri,” ungkap Christine, tertawa.  
   
Begitu juga saat ia sedang membawa tas Prada Saffiano miliknya. “Saya tidak akan mencangklong atau menentengnya di bawah dengan asal-asalan, tapi dikepit di lengan bawah dengan bagian tas yang berlogo menghadap ke muka. Supaya mereknya terlihat,” kata wanita yang mengidolakan gaya dandan Victoria Beckham dan Nicole Kidman ini. 

Tidak bisa dipungkiri, ada hubungan yang kuat antara merek dengan pencitraan diri seseorang. Berawal dari tayangan iklan yang menampilkan selebritas dan tokoh-tokoh dunia, sebuah produk mengedukasi calon pembelinya bahwa mereka pun akan memiliki citra diri yang sama dan sejajar dengan orang-orang hebat itu ketika memakai produk dari merek yang sama. Kalau sudah begini, hitungan rasio dalam urusan beli-membeli akan kabur.

Pemilihan produk berdasarkan pertimbangan psikologis karena ingin prestisenya naik dengan membeli dan memakai barang-barang bermerek mewah dalam ilmu sosiologi perilaku konsumen dikenal dengan istilah conspicuous consumption.

”Mereka ini akan memilih barang yang mudah dikenali dan diidentifikasi oleh umum, seperti tas, jam tangan, pakaian, perhiasan, atau mobil,” lanjut Amalia E. Maulana, Ph.D, Brand Consultant & Ethnographer. Dalam hal ini pertimbangan rasional yang fokus pada kebutuhan akan fungsi terkalahkan oleh pertimbangan irasional yang lebih mengutamakan dorongan emosional.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?