Judhariksawan menyadari, ketika kita bicara soal selebritas, memang ada semacam pemaafan oleh masyarakat. “Ada stigma, artis memang begitu kerjaannya. Mereka hidup karena popularitasnya sehingga kalau ada yang begitu (mau acara pribadinya ditayangkan di televisi secara live -red), dan banyak orang yang menonton, ya, sudahlah, namanya juga artis,” kata Judhariksawan, yang mendapatkan persepsi masyarakat seperti ini dari berbagai diskusi publik. Padahal, derajat pelanggarannya itu sama dengan ketika di masa kampanye lalu kita menonton para pemilik stasiun televisi menggunakan televisinya untuk berkampanye!
Rasa permisif ini disebabkan karena masyarakat kita memang masih menggunakan televisi itu tidak semata-mata untuk mendapatkan pengetahuan. Televisi itu dipakai sekadar mengisi waktu dan mencari hiburan. “Mayoritas masih di sana, walaupun masyarakat yang peduli terhadap isi siaran itu sudah mulai tumbuh. Sekarang mulai muncul masyarakat yang kritis bahwa tayangan televisi itu harus bisa memberdayakan diri mereka,” kata Judhariksawan.
Hary menambahkan, meski pemirsa kita menyukai hal-hal yang menghibur, kita bicara untuk golongan pemirsa yang mana? Karena seharusnya kita juga bicara tentang konsumen yang kian lama kian cerdas, yang harus diakui adalah mereka yang dalam mengonsumsi televisi lebih punya pilihan. “Ketika mereka tidak suka dengan acara di televisi-televisi nasional yang begini, mereka punya televisi berbayar,” kata Hary.
Persoalannya, ada sebagian masyarakat yang tidak punya kemewahan itu, yang artinya, mereka tidak punya pilihan. Apakah betul mereka tidak bersuara? Tunggu dulu, mungkin mereka memang tidak tahu ke mana harus menyalurkan suara mereka. Kini, kalau kita perhatikan, masyarakat juga sudah berani bersuara. Di situs KPI misalnya, masyarakat banyak menyuarakan komplain untuk tayangan yang memang dianggap tidak bermanfaat dan meresahkan. “Nah, kalau televisi-televisi ini tidak pandai mencermati, pasti lama-kelamaan akan ditinggalkan. Berapa banyak yang senang ketika YKS dihentikan penayangannya?” tutur Hary.
Tapi, benarkah acara hiburan dengan topik selebritas ini memang harus benar-benar enyah dari layar televisi? Sementara, dari polling femina saja misalnya, responden merasa bisa melihat adat-istiadat dari rangkaian acara pernikahan Raffi-Gigi.
“Tidak demikian juga,” ujar Judhariksawan. Menurutnya, media butuh artis, artis juga butuh media. Karena itu, kedua belah pihak ini seharusnya sama-sama memahami regulasi bahwa ada hal-hal pribadi yang tidak penting untuk diketahui publik. Namun, lembaga penyiaran memang memiliki apologi atau pembelaan terhadap posisi, pandangan, atau sikapnya. Dalam soal Raffi-Gigi, yang mereka kedepankan adalah bahwa itu sebuah acara yang sarat budaya.
“Ok, ini sarat budaya, tetapi seandainya yang menikah bukan Raffi Ahmad, misalnya ada orang biasa yang menikah di satu daerah dengan menggunakan adat, mengapa enggak disiarkan secara live? Padahal, itu juga sama-sama acara budaya?” kata Judhariksawan. Dengan logika ini, tentu alasan yang didengung-dengungkan lembaga penyiaran bisa digugurkan.
Meski begitu, memang diakui, dari belasan jam acara Raffi atau hampir 6 jam proses persalinan Ashanty, ada hal-hal yang bersifat edukasi. Karena itu, yang penting di sini adalah bagaimana cara pengemasannya, bahwa acara itu bukan hanya mengejar sensasi semata, melainkan juga harus sarat edukasi dengan durasi yang di batas kewajaran. Misalnya, dibuat sebuah program dengan durasi antara 30 menit atau 1 jam (seperti tayangan infotainment pada umumnya, dengan materi yang sudah diedit). “Jadi, mereka tidak melakukannya secara live. Mereka harus mengambil dulu gambar, lalu dilakukan pengolahan,” saran Hary.
Hary memang sangat waswas dengan tayangan live, karena kita tidak bisa mengantisipasi dan mengontrol hal-hal yang akan terjadi selama kamera rolling. “Kalau kita bicara tentang pelanggaran etik, berkaca dari pengalaman dulu, Tukul di-semprit KPI, itu tayangan yang sifatnya live ketika ia mengundang seorang ibu yang makan kodok ke studio,” ia mengingatkan. Bahkan, baru-baru ini tayangan live di TV One yang menayangkan jenazah korban pesawat Air Asia juga mengundang cercaan publik.
Untuk itu, Judhariksawan menyarankan, kalaupun ingin live, seharusnya tidak diputar secara glundungan (ditayangkan terus-menerus). “Untuk sebuah momen seperti pernikahan, itu pasti ada rundown, misalnya mau akad jam berapa, temu pengantin jam berapa, dan lain sebagainya. Apa pentingnya buat masyarakat Indonesia menyaksikan Raffi Ahmad selama belasan jam,” ujarnya.
Lebih jauh, Liestiningsih menyarankan, memang benar televisi membutuhkan uang, pemasukan iklan, namun jangan sampai mengabaikan sisi edukasi dan informasi. Karena, kalau sudah begini, yang tampak adalah semacam kerakusan media untuk menghasilkan uang sebanyak mungkin hingga melanggar hak-hak publik.(YOSEPTIN PRATIWI)