Trending Topic
Belum Mapan Finansial

12 Nov 2014

Di Indonesia, pada umumnya ketika menginjak usia 23 tahun ke atas atau setelah lulus kuliah dan menikah, anak baru melepaskan diri dari orang tua mereka. Bandingkan dengan anak-anak di negara maju yang telah keluar dari rumah sejak usia 18-21 tahun. Tanpa diminta, mereka ingin melepaskan diri dari orang tuanya. Mereka merasa malu dan bisa jadi bahan olokan, jika masih menumpang di rumah orang tua mereka.    

Psikolog Sani B. Hermawan, Psi. mengatakan, hal ini terkait dengan nilai-nilai kemandirian yang ditanamkan orang tua sejak kecil. Dalam budaya Barat, umumnya nilai kemandirian lebih disosialisasikan (self perception independent) dan anak lebih punya kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.

“Sedangkan di negara-negara Asia, peran dan kontrol orang tua dalam menentukan hidup si anak masih terasa dominan sehingga anak cenderung lebih bergantung dan tak memiliki kemandirian yang diistilahkan sebagai self perception interpendent,” Sani menambahkan.   
 
Kultur kita memang berbeda. Di Barat, kemandirian mental dan keuangan justru ditekankan menjadi hal terpenting yang harus dicapai terlebih dahulu. Apabila gagal, mereka akan dapat konsekuensi sosial. Itu sebabnya, banyak yang sudah mandiri, tapi belum siap menikah. Sedangkan di budaya Indonesia, jika tak segera menikah justru akan mendapat tekanan sosial ketimbang tak mandiri,” jelas Sani. Hal inilah yang ikut menjadi pendorong pasangan kekasih di Indonesia yang sebenarnya belum siap secara mental dan keuangan, tapi sudah buru-buru menikah.

Atas dasar inilah, orang tua di Indonesia juga jadi mendukung si anak agar yang penting menikah dulu saja, dan meyakini rezeki nanti akan menyusul. Sekalipun itu artinya pasangan muda ini masih harus ditopang orang tua, hal itu dilakukan demi menghindari konsekuensi sosial.

Di sisi lain, ada banyak juga orang tua, dengan alasan sayang anak, jadi kebablasan terus membantu perekonomian rumah tangga anaknya yang membuat anak sulit mandiri. “Baru ketika ada masalah fungsional, ketika orang tua sudah benar-benar tak bisa lagi membiayai anak, mereka akhirnya benar-benar melepaskan si anak yang mau tak mau terpaksa harus mandiri,” jelas Sani.

Keputusan untuk tetap hidup seatap tak selalu berakar dari faktor kurangnya kemandirian. Terbentuknya extended family, atau dalam satu rumah tinggal lebih dari satu keluarga, merupakan hal yang wajar di Asia sehingga memberikan pilihan bagi seseorang untuk tinggal terpisah atau bersama orang tua. “Jadi, masih tinggal dengan orang tua tak selalu berarti si anak kurang mandiri, tapi itu merupakan sebuah pilihan  yang sudah lumrah,” cetus Sani. 

Si anak  pun merasa lebih nyaman berada di tengah keluarga. Itu sebabnya, meskipun sudah menikah, banyak juga yang ‘kembali’ ke rumah orang tua atau memilih tinggal berdekatan dengan orang tua. Rumah orang tua akan selalu dirindukan oleh anak karena ketergantungan emosional yang tinggi. Begitu pula sebaliknya.  

Lebih jauh Erna menjelaskan beberapa alasan yang menjadi pertimbangan seseorang saat memilih tetap hidup bersama orang tua mereka. Pertama adalah soal social support system yang masih kurang. Masalah penjagaan anak, misalnya. Tak mudah untuk mendapatkan pengasuh anak yang bisa dipercaya dan terbatasnya atau tak terjangkaunya biaya tempat penitipan anak. Karena itu, keluarga dekat lebih bisa dipercaya untuk menjaga sang buah hati. Apalagi, kebanyakan orang tua di Indonesia juga tak keberatan untuk mengasuh cucu-cucu mereka.   

Bagi orang Indonesia, cucu dianggap harta yang tak ternilai sebagai penerus keturunan, kebanggaan keluarga. Jadi, banyak juga orang tua yang tak rela membiarkan cucu mereka ditaruh di tempat penitipan anak (daycare). Sebagian ada yang masih memegang pandangan konvensional bahwa menitipkan anak di daycare seperti menelantarkannya. “Akhirnya mereka sendiri yang bersikeras untuk menjaga dan mengurusi cucu-cucunya,” kata Erna, seraya menerangkan bahwa ada simbiosis mutualisme di sini, yang satu merasa ditemani, yang lain merasa terbantu.   

Begitu juga  budaya untuk mengurus sendiri orang tua, masih tertancap kuat di Indonesia. Di sini, ada anggapan orang tua yang dititipkan di panti jompo sama saja ditelantarkan oleh anaknya. Lingkungan sosial pun bisa menghakiminya. Itu sebabnya, ketergantungan orang tua pada anak pun sama besarnya dengan ketergantungan anak pada orang tua mereka. Mau tak mau, entah orang tua yang pindah mengikuti si anak atau anak yang terpaksa tinggal di rumah orang tua, agar ada yang mengurusi orang tua yang telah sepuh ini.    

Selain budaya, faktor utama lainnya adalah soal finansial. “Banyak keluarga muda yang sebetulnya belum mapan secara keuangan. Mereka masih harus membayar cicilan mobil, asuransi, tabungan pendidikan, dan berbagai kebutuhan lain. Dan masih banyak juga yang belum mampu membeli rumah,” jelas Dr. Erna. Karena itu,  mereka terpaksa tinggal di rumah orang tua untuk sementara, sampai mereka akhirnya bisa mandiri secara finansial.    

Kondisi ini ternyata juga terjadi di Inggris. Berdasarkan data dari lembaga Housing & Homelessness Charity Shelter, diperkirakan hampir 2 juta pekerja berusia muda --antara 20-34 tahun-- masih tinggal di rumah orang tua mereka karena belum mampu membeli rumah sendiri atau menyewa tempat tinggal.
Jumlah ini terbilang fantastis karena berarti lebih dari separuh anak muda Inggris belum bisa mandiri secara finansial! Itu angka di sebuah negara maju di Eropa. Di Indonesia, meski belum ada data resmi, diperkirakan angkanya lebih tinggi. 

Bagaimana dengan para lajang? Menurut Sani, alasannya bisa didasari oleh rasa kesepian dan rasa nyaman karena ada yang mengurusi di rumah. Dan, masih banyak juga orang tua yang tak rela melepas anaknya yang masih lajang keluar sarang. “Umumnya didasari rasa cemas si anak akan melanggar larangan agama, seperti seks bebas atau kumpul kebo. Dengan masih tinggal bersama, orang tua merasa lebih tenang karena bisa mengontrol si anak,” jelas Sani.

Uniknya, anak bungsu atau anak tunggal cenderung lebih diharapkan untuk tinggal bersama orang tua mereka. “Biasanya, anak bungsu atau anak tunggal memang lebih memiliki kedekatan emosi dengan orang tua dan secara tak formal jadi mengemban ‘kewajiban’ untuk menemani mengurus orang tua setelah mereka beranjak tua,” ujar Dr. Erna.  

Itu sebabnya, ada ‘aturan’ dalam budaya Jawa yang menyarankan agar anak bungsu sebaiknya tidak menikah dengan anak bungsu. Maksudnya secara tak langsung karena kepentingan ini.

Reynette Fausto




 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?