Di sini memang berkaitan dengan adanya ‘malu’ yang menjadi tanggung jawab pribadi. Misalnya, ketika kita secara tidak sengaja memakai baju yang sama dengan seorang tamu lain di sebuah pesta, maka kita akan malu. “Aduh, orang-orang jadi ngetawain saya deh, malu banget,” begitu kata Anda.
“Siapa saya dalam kasus ini jelas identitasnya. Kalau di dunia online, karakteristik anonimitas dan kerumunan membuat ‘saya’ bisa saja jadi hater. Haji Lulung kan enggak akan tahu siapa saya, misalnya. Apalagi kalau kemudian banyak juga orang menjadi hater. Efeknya, saya melebur ke kelompok hater tersebut dan merasa biasa saja, tidak perlu malu,” jelas Rizka.
Hal ini akan kian parah ketika si hater tersebut mendapat reward dari kelompoknya. “Misalnya, karena dia yang pertama kali membuat posting-an negatif tentang orang itu, lalu banyak orang mem-follow dia dan menjadikannya sebagai leader. Sebenarnya, mereka ini mencari exposure saja,” jelas Abang Edwin Syarif Agustin, konsultan media sosial.
Rizka juga menambahkan, fenomena menjadi hater ini juga tidak lepas dari dinamika hubungan individu dengan kelompok. “Misalnya, begitu inovatifnya cara saya nyinyir, para hatters jadi salut kepada saya. Kata-kata saya di-copas, saya pun merasa terpuji. Hal ini menggambarkan bahwa berkomentar negatif atau menjadi hater itu bisa berfungsi sebagai hiburan bagi sebagian orang juga, makanya hater akan selalu ada,” jelasnya. (f)