Trending Topic
Antara Peluang dan Tantangan

13 Nov 2013

Wanita memiliki kepedulian yang cukup baik terhadap keadaan sosial dan memiliki agenda setting. Menurut Eva Kusuma Sundari, anggota legislatif dari partai PDI-P yang sudah 2 periode ini menjaid anggota parlemen.

“Menjadi politikus itu harus memiliki tujuan, sehingga keberadaannya di DPR memiliki arti dan memiliki sesuatu yang harus diperjuangkan. Jadi dia bisa berkata bahwa karena keberadaan dirinyalah satu pasal atau bahkan satu undang-undang bisa lolos dan disahkan,” ungkap Eva. Di tahun 2004 inilah lahir Undang-Undang Tenaga Kerja Migran dan Undang-Undang Anti Trafficking, dua masalah yang berlaku umum tapi korban terbanyak adalah wanita.

Tahun 2009, biarpun jumlah wanita di DPR lebih banyak, yaitu 18%, nyatanya tidak semua dari mereka memiliki kepedulian dan agenda setting. “Mereka hanya bangga bisa menjadi anggota DPR, tanpa memiliki tujuan untuk apa mereka berada di parlemen,” imbuh Eva. 

Ani Soetjipto, peneliti gender dan sosial dari Universitas Indonesia, berpendapat bahwa salah satu tanda tidak terlalu berdayanya para wanita di parlemen tahun 2009 adalah dengan tidak berhasil diratifikasinya beberapa regulasi penting, seperti Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender, amandemen Undang-Undang Perkawinan, dan revisi Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPLNI).

Padahal, dengan adanya wanita di parlemen, diharapkan ada yang memperjuangkan isu-isu yang terkait dengan anak dan wanita, yang selama ini tidak terpikirkan oleh pria. Regulasi yang jelas dan dilaksanakan dengan baik  nantinya akan membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan, Eva berpendapat, jika negara ini ingin menghasilkan undang-undang yang ramah gender, maka wanita sendirilah yang harus memperjuangkannya di parlemen.

Secara kuantitas, jumlah wanita di legislatif boleh saja mengalami peningkatan. Namun, banyak pihak menyoroti, secara kualitas malah seperti terjadi penurunan. Pihak-pihak yang semula tidak terlalu setuju dengan adanya kuota wanita di parlemen, makin berkomentar sinis. Misalnya, suara-suara yang mengatakan, wanita belum siap berada di parlemen, wanita hanya pemanis, atau, untuk mewakili kepentingan wanita tidak harus ada wakil wanita, laki-laki juga bisa, dan komentar lainnya.

Eva berpendapat, kenyataannya,  para pria masih segan untuk memberikan tempat yang strategis kepada kolega wanita, dengan alasan belum berpengalaman. “Buktinya, tidak ada satu pun anggota wanita di pansus penanganan bencana, padahal pansus tersebut berada di komisi 8 yang anggota wanitanya cukup banyak. Dalam penanganan bencana, banyak yang terkait dengan wanita dan anak, seperti kebutuhan bantuan makanan bayi, pembalut wanita, toilet yang layak, dan masih banyak lagi,” papar Eva.

Eva pun menegaskan, tidak adil rasanya jika masalah wanita legislatif yang terpilih dianggap tidak mampu, lalu menggoyahkan kuota 30% jumlah wanita di parlemen. “Anggota DPR pria pun  banyak yang tidak kompeten, tapi mereka tidak menjadi sorotan. Jumlah yang banyak dan keberadaan mereka yang sudah biasa di DPR membuat orang-orang menjadi 'maklum' dengan situasi ini. Jika ada yang mengatakan bahwa wanita di DPR kerjanya hanya jualan barang ketika rapat, anggota dewan pria juga ada, kok, yang nyambi berdagang,” ujar Eva, sambil tertawa.

Data terbaru dari KPU, total wanita caleg pada Pemilu 2014 mencapai  2.434 orang (37,01%) dan caleg pria 4.142 orang (63,09%). Namun demikian, jumlah responden yang akan mempertimbangkan untuk memilih wanita caleg di 2014 nanti, angkanya relatif berimbang dengan responden yang menyatakan tidak akan memilih calon wanita, sekitar 41% (survei terhadap 1799 responden berusia 17 tahun ke atas). Itu artinya, tak sedikit para wanita sendiri yang masih enggan untuk menjagokan wanita caleg.

Satu dekade kuota wanita, menurut Ani, tantangan yang dihadapi wanita, bukan hanya menjadikan kualitas representasi yang mengejar jumlah saja, tapi juga harus bersifat substantif (wanita yang berkualitas, bermutu dan kompeten).
Untuk mencapai tujuan itu, menurut Ani, yang harus dibenahi adalah mekanisme rekruitmen partai politik. “Harus dibangun sistem yang terpadu, mulai dari rekrutmen kader,  pendidikan, peningkatan kapasitas secara internal, sampai pada nominasi dan promosi kader tersebut di jabatan politik,” tutur Ani.

Saat ini banyak kader wanita direkrut secara instan menjelang kampanye pemilu. Mereka yang minim pengalaman politik, tidak punya basis dan tidak punya kompetensi yang baik, akhirnya bisa terpilih jadi pejabat publik. Kualitas caleg yang maju ke DPR akan sangat ditentukan oleh usaha partai politik dalam melakukan pendidikan bagi kader-kadernya. Jika pendidikan dan pengkaderan tidak berhasil dilaksanakan dengan baik, menurut Eva, yang terjadi adalah munculnya caleg-caleg yang patut dipertanyakan kualitasnya.

Pengkaderan yang tidak serius inilah yang menyebabkan banyak partai memilih merekrut artis atau pesohor menjadi caleg, sebagai jalan pintas untuk menang, tanpa melihat bagaimana visi dan tingkat kepedulian sosial mereka. Kader yang sesungguhnya malah tidak dimunculkan karena  dianggap tidak dikenal di masyarakat. Padahal, kalau mau serius, partai memiliki waktu selama 5 tahun untuk mempersiapkan pengkaderan caleg sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat.



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?