Trending Topic
Antara Otoritas, Persuasi, dan Fanatisme

4 Nov 2014


Media sosial membuat arus informasi terasa seperti air bah yang menghantam  tiap menit,  tiap saat. Padahal, mundur ke 20-30 tahun lalu, masyarakat hanya bisa menerima 1-2 sumber informasi resmi dari media resmi dan pemerintah. Jadi, saat mendapatkan sebuah informasi yang berbeda sedikit saja, atau mendengar opini seseorang yang lain dari biasanya, rasanya luar biasa.
Ketika tingkat kepercayaan pada pemerintah mulai menurun, ada kecenderungan masyarakat untuk memberontak. Mereka kemudian mulai mencari-cari sumber informasi alternatif yang diharapkan lebih jujur dan tanpa agenda tersembunyi. Namun demikian, kebebasan informasi ini akhirnya bak pisau bermata dua. Di sinilah, kita cenderung lebih percaya pada informasi dari orang-orang yang kita anggap memiliki kredibilitas atau karisma tertentu. Secara tidak langsung, segelintir orang-orang ini kemudian menjadi pembentuk opini atau opinion leader.
Menurut Prof. Dr. Hamdi Muluk M.Si, Pakar Psikologi Politik, Ketua Program Doktor Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, pada dasarnya di dunia ini ada dua jenis influencer. Pertama adalah formal influencer, yaitu mereka yang memiliki jabatan secara profesional, legal, sosial, politik, agama, dan sebagainya. Karena punya jabatan tertentu, mereka bisa menentukan, menetapkan atau memutuskan sesuatu untuk orang banyak, jadi lebih dari sekadar persuasi.
“Kalau ia tidak memiliki karisma, seorang formal influencer bisa saja kehilangan pengaruh saat jabatannya dicopot,” kata Hamdi. Bahkan, mereka yang memiliki jabatan tinggi sekalipun, banyak yang justru tidak dipercaya oleh orang banyak karena dianggap tidak kompeten.
Kedua adalah informal influencer, yaitu mereka yang mungkin tidak punya otoritas apa pun, tapi memiliki kredibilitas di bidang tertentu dan karisma yang kuat, sehingga memiliki kemampuan persuasi dan menjadi referensi sosial bagi orang banyak. Bisa jadi mereka adalah tokoh masyarakat atau opinion leader yang memang terpandang, selebritas, figur publik, atau yang banyak bermunculan akhir-akhir ini: orang biasa yang tiba-tiba saja menjadi selebtwit.
“Informal influencer mendapatkan kekuatannya dari legitimasi sosial atau kepercayaan orang banyak. Kalau ia tidak pernah melakukan kesalahan yang membuat orang kehilangan kepercayaan, ia bisa menjadi influencer hingga sepanjang masa,” ujar Hamdi.
Mengapa ada banyak orang yang bisa terpengaruh oleh para influencer ini, tentu tergantung dari banyak aspek, seperti kepribadian, pengalaman, wawasan, selera, dan sebagainya. Tapi, berdasarkan teori kebutuhan Abraham Maslow, pada dasarnya seseorang mencari referensi sosial biasanya karena butuh identitas, pengakuan, dan afiliasi sosial untuk mencapai keseimbangan hidup.
Misalnya, meniru gaya fashion blogger supaya stylish, atau ikut acara lari urban supaya tergabung dalam kumpulan orang-orang sehat dan atletis, atau pergi ke restoran hip yang baru buka supaya dianggap gaul. Semua ini dilakukan untuk mencapai sebuah hidup yang ideal.
Hal ini sebetulnya lumrah saja, mengingat manusia adalah makhluk kognitif yang selama masih sehat akan terus menerima, mengolah, dan mengevaluasi informasi, pengetahuan dan perasaannya. Ketika seseorang terpengaruh orang lain, artinya ada kepercayaan, perilaku, selera, atau opini mereka yang relevan atau cocok.
Tergantung dari kemampuan kognitifnya pula, manusia memiliki kecenderungan untuk terpengaruh dalam tingkat yang berbeda-beda. Ada yang terpengaruh hanya sebatas pilihan produk rumah tangga, ada yang terpengaruh sampai ke pilihan presiden. Ada beberapa aspek yang menurut Hamdi menjadi penentu apakah seseorang mudah terpengaruh orang lain atau tidak.
Pertama, orang tersebut tidak mengidolakan atau tidak ada identifikasi dengan sang influencer. Misalnya, yang bukan penggemar Raditya Dika tidak akan terpengaruh dengan siapa pilihan presidennya. Atau, yang tidak senang traveling tidak akan tergoda untuk menghabiskan tabungan setelah mendengar cerita perjalanan Trinity keliling dunia. Seseorang yang antipati atau memang dari sananya tidak suka pada influencer tertentu juga tentu tidak akan mudah terpengaruh.
Kedua,  makin pandai dan kritis, seseorang juga akan  makin sulit untuk dipengaruhi orang lain. Dengan wawasan yang luas, seseorang bisa menilai sesuatu dari berbagai sisi, sehingga ia tidak memihak di salah satu posisi atau pandangan. Status sosial dan latar belakang pendidikan seseorang juga bisa menentukan apakah orang tersebut mudah terpengaruh atau tidak.
Ketiga, seseorang yang sudah telanjur fanatik terhadap orang lain yang idenya berseberangan dengan sang influencer. Di mata Hamdi, fanatisme ini umumnya mengalahkan otoritas dan kredibilitas. “Orang yang sudah fanatik biasanya sudah tidak peduli apakah idolanya itu sebetulnya kredibel atau tidak. Dengan kata lain, mereka sudah telanjur cinta buta,” ujarnya. (PRIMARITA S.SMITA)





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?