Trending Topic
Akibat Pengetahuan Terbatas

24 Feb 2014


Kasus pornografi anak di berbagai daerah, tidak hanya di kota besar, jumlahnya cukup banyak. “Salah satu contohnya arisan pelajar di Situbondo,” kata Kak Seto merujuk pada berita yang muncul di awal Desember 2012 lalu. “Bayangkan, beberapa pelajar SMA usia 16-17 tahun, mengumpulkan Rp5.000 tiap bulan, dan yang namanya keluar saat dikocok, ia akan mendapatkan Rp75 ribu, dan menggunakannya untuk melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial,” cerita Seto Mulyadi, yang akrab dipanggil Kak Seto. 
 
Namun, ada satu hal penting lain yang menjadi faktor pendorong mengapa anak-anak bisa terlibat pornografi. Sexting. “Mereka biasa saling kirim pesan singkat yang memuat unsur seksual. Dan ini amat berbahaya,” ungkap Elly Risman, psikolog dari dan Ketua Yayasan Kita dan Buah Hati yang bergerak di bidang konsulting parenting.

Bahkan lebih berbahaya daripada melihat pornografi. Karena, dengan sexting, anak-anak membangun imajinasinya sendiri, seperti yang mereka inginkan.  Dari data yang diperoleh Yayasan Kita dan Buah Hati, sebagian besar anak mengaku awalnya tidak sengaja melihat konten pornografi. Sisanya, karena ingin tahu, iseng, dan dipengaruhi teman. Apalagi sebenarnya 49% dari mereka awalnya merasa jijik, tapi kemudian menjadi penasaran.

Di sinilah diperlukan peran orang tua. Sebetulnya, hal ini bisa terjadi karena tidak adanya komunikasi antara anak dan orang tua. Bisa saja karena mereka penasaran, atau sedang ada masalah, mereka ingin curhat. Namun, mereka merasa enggan untuk bicara dengan orang tuanya. Apalagi, seks masih menjadi topik yang tidak gampang untuk dibicarakan antara orang tua dan anak.

 “Harus diakui, selama ini orang tua dan guru hanya bersikap satu arah, seperti bos yang selalu menyuruh-nyuruh. Karena itu, mereka jadi segan bertanya atau mengadu, dan akhirnya mencoba mencari jawabannya sendiri di tempat lain yang bisa saja salah,” ungkap Kak Seto.
   
Ketidaktahuan mereka tentang seks juga memicu mereka terpapar lebih banyak pornografi. Tanpa ragu mereka menampilkan seksualitasnya secara berlebihan.  Menurut hasil survei KPAI terhadap 4.500 remaja berusia 12 – 17 tahun di 12 kota besar di Indonesia, 93% di antara mereka pernah berciuman dan 67% pernah berhubungan badan. Bahkan puluhan pelajar SMP di Bandung mengaku berprofesi sebagai PSK. Ironisnya, mereka bisa dibayar dengan pulsa selular.
   
“Mereka sudah tidak menghargai arti keperawanan. Bahkan sudah tidak peduli. Buktinya, mereka melakukannya berulang-ulang dan tanpa rasa bersalah. Bahkan jika sampai terjadi kehamilan, mereka dengan mudah melakukan aborsi,” ungkap Elly prihatin.
   
Kak Seto juga menambahkan, pelajaran agama yang seharusnya bisa menjadi pagar, kini hanya bersifat ritual. “Tidak ada keteladanan yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” kata Kak Seto.

Kita tidak bisa memungkiri, kondisi sosial kita belakangan sedikit banyak ikut berperan. Misalnya, berita-berita di televisi tentang penangkapan tersangka korupsi yang tertangkap tangan dengan pekerja seks, bagaimana pun akan ikut membentuk pola pikir bahwa hal-hal demikian itu adalah hal biasa.  
   
Senada dengan Kak Seto. Menurut Elly, orang tua masa kini memang harus lebih kritis. “Sering orang tua merasa telah memberikan yang terbaik bagi putra-putrinya. Tapi dalam hal apa? Sekolah pilihan, fasilitas melimpah, hingga liburan? Itu mungkin baik, tapi tidak cukup.” Tak hanya yang bersifat materi, banyak yang masih harus diberikan orang tua terhadap anak-anaknya, “Yaitu penanaman agama, nilai-nilai, etika, dan moral. Justru ini yang terpenting,” tegas Elly. Karena hal-hal ini yang akan menjadi kekuatan yang akan menjaga mereka sepanjang hidupnya. (f)



 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?