Trending Topic
Ada Magnet Penyatu

13 Oct 2014


Pernahkah berada dalam situasi ini: Anda sedang berjalan dan akan melewati sebuah kolong jembatan layang. Anda melihat 3-4 orang yang berjalan di depan Anda mendongak ke atas. Dan tanpa Anda bisa menahannya, Anda pun ikut  mendongak ke atas.
Atau dalam situasi ini: dalam sebuah rapat brainstorming, semua peserta rapat diminta untuk mengeluarkan ide-ide brilian mereka. Semua bicara. Namun, ketika atasan Anda angkat bicara, peserta rapat segera mengiyakan ide si bos. Mereka segera sepakat kalau ide itulah yang terbaik.
    Menurut psikolog Rima Olivia, hal itulah yang disebut konformitas. Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu menemukan hal ini. Namun, benarkah kita tak boleh menjadi berbeda?

Ada Magnet Penyatu

Pada tahun 1951, Salomon Asch menelurkan hasil penelitian mengenai konformitas, yaitu suatu jenis pengaruh sosial ketika seseorang mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. Penelitian itu melibatkan 5 mahasiswa yang diberi dua kartu. Kartu pertama bergambar satu garis dengan panjang tertentu, dan kartu kedua berisi 3 gambar garis dengan panjang yang berbeda-beda. Tugas responden adalah memilih garis mana di kartu kedua yang panjangnya sama dengan panjang garis di kartu pertama.
    Ternyata, ketika responden yang mendapati giliran pertama memilih garis tertentu dan itu keliru, responden berikutnya juga memilih garis yang sama. Dan pada responden kelima, meski ia tahu bahwa pilihan responden sebelumnya keliru, ia tetap memilih garis yang sama. Teori itu dikenal sebagai Asch paradigm.
    “Tanpa kita sadari, kita memang suka menyamakan diri dengan yang lain. Misalnya, saya duduk dengan topang dagu, maka teman lawan bicara saya juga akan demikian. Ini yang dinamakan unconscious collectiveness yang ada dalam diri  tiap orang,” tutur Rima. Intinya, dalam diri  tiap orang ada perasaan tidak nyaman kalau dia beda dengan orang lain, bahkan meski belum bertemu sekalipun.
    Ada yang berpendapat, teori Asch paradigm ini angkanya harusnya  makin kecil ketika era generasi bunga sedang berkembang di tahun ‘60-an. Saat itu, kaum hippies ini menabrak kemapanan (yang menjadi arus utama saat itu) dengan mantra: hidup ini adalah untuk bahagia, bukan untuk melakukan yang orang lain inginkan. Era flower generation memang sangat menghargai kebebasan individu dalam berekspresi.
    Namun, Rima menyebutkan, belum lama ini sebuah penelitian semacam yang dilakukan Salomon Asch yang tayang di sebuah documentary channel, ditemukan bahwa nilai konformitas masih cukup tinggi.  Dalam penelitian itu, responden juga diberikan pertanyaan tertentu, dan jawaban responden yang datang belakangan, cenderung sama dengan jawaban responden yang lebih dulu datang. Ketika peneliti menanyakan mengapa mereka menjawab begitu, jawabannya bahwa orang yang lebih dahulu datang itu dianggap lebih tahu. Ada juga yang menjawab, merasa tidak enak kalau berbeda dengan yang sudah ada.
    Mengapa konformitas itu selalu ada, menurut Rima, karena alam bawah sadar punya dorongan untuk saling memengaruhi. Bila kita kembali ke era generasi bunga misalnya, ketika orang melihat orang lain bebas berekspresi, maka dia juga merasa harus berlaku demikian. Mereka pun saling memengaruhi sehingga akhirnya terbentuk konformitas yang baru.
Saling memengaruhi   juga akan kian kuat dengan intensitas pertemuan yang sering. Rima kemudian memberi contoh apa yang sering ia temui saat memberikan training yang pesertanya tidak saling kenal sebelumnya. Peserta biasanya akan mulai membentuk kelompok-kelompok pada hari kedua training dan makin akrab dari hari ke hari. Dan anehnya, di hari terakhir, biasanya satu kelompok orang itu secara tidak sengaja (apalagi janjian) akan memakai baju yang setipe, entah warna atau modelnya yang mirip.
Hal ini, kalau dicek lagi lebih mendalam, orang-orang yang tergabung dalam satu kelompok itu memiliki satu atau dua kemiripan atau kesamaan yang menjadi magnet perekat. Misalnya, dulu pernah sekolah di mana, pernah tinggal di mana, dan lainnya.
Jika dilihat dari kacamata fisika kuantum, kita terdiri atas gelombang energi. Gelombang energi yang sama memang akan menyatu. Karena itu, secara alamiah,  makin lama orang menghabiskan waktu bersama dengan orang lain, maka mereka akan makin mirip.
Ketertarikan kita dengan orang-orang lain yang memiliki kesamaan kadangkala tidak terlihat secara kasatmata. Misalnya, seseorang dari luar terlihat kasar, tetapi mengapa bisa berteman dekat dengan seseorang yang penampilannya kalem dan lembut. “Pasti ada area tertentu di mana mereka saling melengkapi,” kata Rima. Misalnya, si lembut itu ternyata dibesarkan oleh seorang ibu yang sangat dominan. Hal inilah yang bisa menyatukan mereka. (YOSEPTIN PRATIWI)


 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?