Trending Topic
Potret TKW Indonesia

2 Aug 2011

Tragedi pemancungan Ruyati (54), tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi, pada Juni lalu, ‘menampar’ ratusan juta penduduk Indonesia. Wanita asal Bekasi ini berangkat tahun 2008 dengan membawa sejuta harapan dan keinginan mulia, ingin membahagiakan dan memberikan kehidupan yang lebih layak bagi keluarganya. Namun, dia akhirnya pulang tanpa nyawa.

Meski cerita pekerja migran Indonesia yang teraniaya banyak menghiasi surat kabar dan televisi, masih banyak warga negara Indonesia yang menaruh minat untuk ‘diekspor’ sebagai pekerja ke luar negeri.

Tahun 2009 saja BNP2TKI memberangkatkan sebanyak 693.340 pekerja migran ke Arab Saudi, Malaysia, Hong Kong, dan beberapa negara lain. Profesinya macam-macam. Namun, data BNP2TKI tahun 2008 menyebutkan, sekitar 64% TKI Indonesia bekerja di sektor informal, 78% adalah wanita, dan 98% TKW itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Motifnya sederhana: mencari pekerjaan dengan penghasilan yang layak untuk menghidupi diri sendiri dan juga keluarga, demi masa depan yang lebih baik.

Konsultan International Labour Organization (ILO) Indonesia, Early Dewi Nuriana, mengungkapkan, yang memicu migrasi buruh adalah kurangnya lapangan pekerjaan, tidak meratanya kesempatan kerja yang layak, dan perbedaan upah yang tinggi antara negara asal dengan negara tujuan.

“Di Indonesia, kebutuhan finansial adalah faktor penggerak utama di balik migrasi tenaga kerja,” jelasnya.

Sebagai ilustrasi, Survei PRT Migran 2007 menyebutkan, kebutuhan finansial bulanan mereka berkisar antara Rp1.115.000 - Rp2.460.000. Sedangkan PRT di Indonesia hanya berpenghasilan antara Rp200.000 - Rp1.000.000 per bulan.

Di negara-negara perantauan, para TKI mendapat kesempatan yang tidak mereka miliki di negerinya sendiri. Kesempatan untuk meraih mimpi, bahkan yang paling muluk sekalipun.

Seperti cerita Nuryati Solapari (31), yang sempat menjadi PRT di Arab Saudi selama 2 tahun. “Setelah dua tahun bekerja, saya memutuskan kembali ke Indonesia untuk mengejar cita-cita saya: kuliah lagi,” ujarnya, penuh haru. Berkat kegigihannya, ia kini berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang.

Cerita Farida (40) agak berbeda dengan Nuryati. Wanita ini sudah 12 tahun berpengalaman sebagai TKW. Tak ada cerita sedih dalam perjalanannya sebagai TKW. Tapi, siapa sangka, di tahun ke-13,  justru berakhir dengan tragis.

“Majikan wanita saya yang terakhir sering memukuli saya. Bahkan, telinga saya pernah dipukul menggunakan hak sepatu hingga gendang telinga saya pecah,” tuturnya, pedih. Atas kebaikan hati majikan prianya, Farida mendapat pengobatan di rumah sakit. “Ia juga membantu saya mendapatkan gaji, handphone, dan paspor saya yang ditahan. Setelah itu, saya pulang ke Indonesia,” ujar Farida, yang telinga kanannya kini sudah tuli.

Nasib kurang beruntung seperti itu juga dialami Sulastri (nama samaran, 50) yang pernah bekerja di Arab Saudi selama 4 tahun. Wanita malang asal Karawang ini tak hanya harus mengubur mimpi mulia memperbaiki perekonomian keluarga. Kini, masa pensiunnya pun suram, sesuram penglihatan kedua matanya yang tak lagi berfungsi. “Di tahun ketiga, saya dipukuli majikan hingga akhirnya buta seperti ini,” ujarnya, pilu.

Mengamati cerita TKI yang sukses dan mengenaskan memberikan gambaran bahwa kondisi mereka bagaikan dua sisi mata uang. Seperti yang dikatakan Dr. Adi Sasongko dari Kusuma Buana Foundation pada lokakarya mengenai pekerja migran yang diadakan ILO, Juli lalu. “Ada 2 hal yang paradoks, yakni ada TKI yang kembali dengan kesuksesan, ada juga yang mengalami tragedi. Sayangnya, tragedi itu terus berulang dari tahun ke tahun tanpa perbaikan yang signifikan,” tuturnya.

TKI mungkin hanya sebagian kecil dari ratusan juta warga negara Indonesia. Tapi, keberadaan dan perjuangan mereka di negeri yang asing memberi kontribusi besar bagi bangsa ini, yaitu devisa. Karena sesungguhnya, cita-cita mereka sangat sederhana: bekerja dan mendapat penghasilan yang layak bagi keluarga mereka. (f)





 


polling
Seberapa Korea Anda?

Hallyu wave atau gelombang Korea masih terus 'mengalir' di Indonesia. Penggemar KDrama, Kpop di Indonesia termasuk salah satu yang paling besar jumlahnya di dunia. Lalu seberapa Korea Anda?